tag:blogger.com,1999:blog-12248538361647593552024-03-14T15:05:35.048+08:00Dialektika Pertanian Lahan KeringMencoba memberi jawaban alternatif terhadap berbagai pertanyaan di seputar pertanian lahan kering...Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.comBlogger18125tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-79790073394100493362011-01-04T22:42:00.000+08:002011-01-05T18:19:26.023+08:00Apakah peningkatan produksi pangan saja dapat menjamin ketahanan pangan bagi masyarakat?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://divisionoflabour.com/archives/LesterEthanolTroughCartoon.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="275" src="http://divisionoflabour.com/archives/LesterEthanolTroughCartoon.JPG" width="400" /></a></div><b>Fred L. Benu</b><br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Pada awal 2008, empat negara sub-regional Asean terdiri dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,dan Filipina yang menamakan diri East Asean Growth Area telah membangun komitmen bersama untuk menjadikan kawasan sub regional ini sebagai wilayah produksi pangan yang unggul. Kesepakatan ini dibangun mengingat wilayah ini memiliki potensinya besar, banyak lahan yang subur, dan memiliki banyak pengetahuan di bidang pertanian. Indonesia memang memiliki potensi besar dalam kemampuan produksi pangan baik dengan memanfaatkan potensi lahan basah maupun lahan kering untuk memenuhi kebutuhan permintaan pangan domestik maupun kawasan Asia Tenggara. Tapi apakah potensi lahan dengan kemampuan produksi pangan yang memadai ini cukup untuk menjadi penyangga ketahanan pangan penduduk Indonesia yg saat ini berjumlah kurang lebih 237 juta jiwa?</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><span class="fullpost"><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Konsentrasi kebijakan pada subsistem produksi saja tidak menjadi jaminan strategis bagi ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Alih-alih memenuhi target pemasok pangan bagai kebutuhan pangan non-domestik. Untuk memenuhi permintaan pangan penduduk Indonesia saja kita mengalami kesulitan yang tidak kecil. Bahkan ditengah keberhasilan peningkatan kuantitas produksi pangan dalam dua tahun terakhir saja, kita masih didera dengan masalah kerawanan pangan di sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya wilahan yang didominasi oleh lahan kering. Pokok persoalan nya adalah kita kurang memiliki kebijakan yang strategis si sub-sistem distribusi dan konsumsi pangan nasional. Awalnya kita menduga bahwa dengan menggenjot produksi pangan secara besar-besaran, maka dengan sendirinya masalah kerawanan pangan nasional dapat teratasi. Memang betul bahwa persoalan kerawanan pangan dimulai dari simpul ketersediaan pangan sehingga pemerintah Indonesia memiliki kebijakan peningkatan produksi pangan. Tapi masalah kerawanan pangan tidak berhenti pada simpul ketersediaan pangan saja, melainkan terkait erat dengan simpul distribusi dan simpul konsumsi pangan. Oleh karena itu, jika sekian lama kebijakan strategis ketahanan pangan hanya ada pada subsistem produksi, maka saat ini dua sub-sistem lainnya (distribusi dan konsumsi) harus juga menjadi perhatian serius semua pihak.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Krisis ekonomi pernah mendera dunia dengan dua faktor pemicu yaitu masalah keuangan global dan masalah ketersediaan bahan bakar. Kita boleh memiliki ekspektasi bahwa faktor pemicu krisis ekonomi global berikutnya adalah masalah ketersediaan bahan pangan. Dan indikasi ke arah itu sudah ada seiring dengan terjadinya fenomena perubahan iklim global yang menyebabkan Amerika dan China mencoba menimbun stok pangan nasionalnya untuk jangka waktu sekitar 10 – 15 tahun. Berikut Rusia malah menutup keran export gandumnya juga untuk mengantisipasi penurunan stok pangan. Selanjutnya saat ini Jepang sedang gencar melobi Indonesia melalui Kementrian Pertanian agar bersedia menyiapkan lahan bagi produksi pangan nasionalnya. Semua nya ini indikasi awal bahwa dunia global sudah membaca kemungkinan krisis ekonomi global berikut akan dideterminasi oleh faktor ketersediaan pangan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Sistem Logistik dan Distribusi Pangan</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Kita harus memberikan kritik terhadap kebijakan logistik pangan nasional yang berdimensi jangka pendek dengan penanganan yang bersifat ad hock. Saat sejumlah negara di dunia (Amerika, Rusia dan China) sudah memiliki strategi cadangan stok pangan berjangka panjang (15 - 20 tahun) sebagai bagian dari strategi menghadapi merupahan iklim global, kita masih berkutat dengan persoalan stok pangan musiman.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Perdebatan kita masih terbatas pada kemampuan produksi domestik musimam dan kemampuan Bulog membeli gabah hasil produksi, serta volume impor pangan tahun berjalan. Itupun lebih banyak dalam urusan soal pangan pokok beras. Kita masih berada pada ruang antisipasi cadangan stok pangan nasional sekitar 1.5 Juta ton yang hanya mampu bertahan untuk antisipasi suplai pangan nasional sekitar 8-10 bulan</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Cadangan stok pangan jangka pendek seperti ini jelas tidak cukup strategis menghadapi gangguan produksi pangan domestik yang sering mendapat tekanan karena faktor bencana. Keterbatasan kemampuan pengadaan stok pangan berjangka panjang ini terkait dgn kapasitas Perum Bulog.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Salah satu pilihan strategis untuk mengamankan ketahanan pangan masyarakat adalah kebijakan yang tepat dari sisi logistik dan distribusi pangan. Bahwa kebijakan pangan nasional sekian lama lebih memberikan bobot pada sub-sistem produksi, dan pilihan ini membawa konsekwensi pada resiko kerawanan pangan di sejumlah wilayah Indonesia, sekalipun produksi pangan nasional terus mengalami kenaikan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Selanjutnya perlu pula dicatat bahwa hampir seluruh komoditi pangan adalah komoditi pemacu inflasi. Tapi kebijakan stabilitas harga pangan lebih ditujukkan bagi beras. Distribusi dan stabilisasi harga sejumlah komoditi pangan lahan kering seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, bahkan kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dll, memiliki kecenderungan harga yang bergerak secara bebas dgn pola distribusi yang kurang terpantau dengan baik. Semuanya ini akan berdampak pada rendahnya purchasing power masyarakat Indonesia terhadap pangan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Kebijakan di sub-sistem distribusi tidak saja bersangkut paut dengan ruang dalam arti distribusi pangan antar wilayah, tapi juga strategi distribusi menurut waktu . Sebagai misal distribusi komoditi pangan pada hari raya keagamaan berbeda menurut wilayah target. Harus ada perbedaan strategi prioritas distribusi pangan di Bagian Barat dan Timur Indonesia mengikuti perbedaan dominansi penyebaran dan dinamika konsumsi menurut waktu.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Keberhasilan penanganan sub-sistem distribusi pangan nasional juga sangat tergantung pada dukungan infrastruktur dasar, khususnya transportasi, pelabuhan, gudang, sarana bongkar muat peti kemas, dsb. Fasilitas bongkar muat untuk distribusi pangan nasional di pelabuhan terbesar Tanjung Priok saja masih menjadi keluhan banyak pihak, termasuk akses masuk dan keluar yang sangat tidak efisien sehingga mendeterminasi high cost economy. Dan kenaikan biaya ini biasanya akan ditransfer secara langsung dan sempurna ke tingkat harga pangan di pasar retail. Sebaliknya pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang mendeterminasi efisiensi di sub-sistem distribusi tidak akan langsung terefleksi di tingkat harga konsumen. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Kenyataan di atas mengindikasikan tentang kurangnya koordinasi yang integratif antara sub-sistem produksi, sub-sistem logistik dan distribusi, dan sub-sistem konsumsi. Departemen Pertanian hanya mengurus soal produksi pangan dan kurang koordinasi dgn Bulog sebagi institusi yang memiliki otoritas soal logistik dan distribusi pangan, apalagi tidak ada yang memiliki otoritas dalam urusan soal konsumsi pangan nasional.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Kementerian Pertanian sering melempar tanggung jawab ke Bolog dengan mengatakan bahwa Bulog tidak mampu membeli beras secara maksimal pada saat panen raya. Akibatnya Bulog kurang mampu mengengendalikan harga beras yang terus mengalami kenaikan sekalipun telah dilakukan operasi pasar. Sebaliknya Bulog berkilah bahwa justru Departemen pertanian yang tidak mampu meningkatkan kualitas gabah produksi petani yang memenuhi standard Impres 7/2009 tentang perberasan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Kita berharap agar revisi Inpres No. 7/2009 yang mengharuskan Bulog untuk menyerap seluruh gabah produksi petani dan program pengadaan alat pengeringan gabah untuk meningkatkan kwalitas dapat terealisir. Jika Bulog tidak diberdayakan dalam hal fasilitas pengolahan gabah yang bermasalah agar mampu meningkatkan nilai tambah dari sistem distribusi nasional, maka sulit rasanya bagi Bulog untuk menyeimbangkan fungsi pelayanan publik bagi akses pangan masyarakat dengan orientasi bisnis sebagai sebuah Perum.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Selain itu Bulog juga menggunakan pendekatan Operasi Pasar (OP) yang diserahkan kepada pedagang yang memiliki kontrak distribusi. Pendekatan distribusi seperti ini juga jelas rawan penyimpangan, karena justru persoalan Bulog selama ini ada pada aspek pengawasan. Kita menyadari bahwa terlalu berat tugas yang harus diemban oleh Bulog menyangkut distribusi pangan untuk wilayah Indonesia yang demikian luas. Tugas ini baru bisa efektif dijalankan jika ada kemitraan yang kuat dengan berbagai agen kepentingan lainnya, termasuk swasta pengelola, bahkan birokrat di tingkat bawah beserta masyarakat.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Tapi janganlah kemitraan yang sudah mulai dibangun antara Bulog dengan swasta penyalur ini mengabaikan aspek pengawasan secara efektif dari Bulog sebagai institusi yng memiliki kewenangan dalam urusan pendistribusian pangan. Sejauh catatan kami, sampai saat ini belum terbaca mekanisme standar pengawasan efektif (SOP) yang dijalankan oleh Bulog untuk mengantisipasi persoalan ini. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Rupanya persoalan nya bukan pada otoritas institusi tapi pada birokrat yang diserahi tugas untuk koordinasi dimaksud. Kita jelas memerlukan birokrat yang kuat dan tegas dengan visi yang luas tentang penanganan masalah pangan nasional sehingga mampu menjalankan tugas koordinasi yang lebih efektif. Dan tugas ini ada pada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Catatan tambahan lainnya adalah bahwa Bulog tidak dapat dipaksa untu menangani masalah logistik dan distribusi seluruh komoditi pangan bagi masyarakat. Sangat tidak mungkin Bulog diserahi tugas berat dengan wilayah pelayanan demikian luasnya. Oleh karena itu pemerintah harus berani menetapkan komoditi pangan apa saja yang dapat diserhakan kepada mekanisme pasar sebagai komoditi komersil, tetapi harus pula berani untuk menetapkan komoditi pangan apa saja (mis. beras dan jagung) yang mekanisme logistik dan distrubusinya diserahkan pada Bulog dengan penekanan pada fungsi pelayanan publik.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Karena alasan keterbatasan pula, maka pemerintah harus berkenan untuk mendorong proses desetralisasi urusan logistik dan distribusi pangan di tingkat daerah. Pemikiran ini muncul karena karakter produksi dan konsumsi pangan di setiap daerah sangat berbeda. Pangan bagi sebagian besar masyarakat NTT adalah soal jagung. Demikian pula Maluku adalah soal sagu, dan Papua adalah soal sagu dan ubi, dan produksi sejumlah komoditi ini lebih banyak mengandalakan potensi lahan kering yang ada . Persoalan pangan kita jelas berbeda antar daerah, tapi selama ini pendekatan strategis soal pangan bersifat sentralistisi (Jakarta) dan non-diversifikasi (beras). Dan harus diakui bahwa pendekatan kebijakan seperti ini yang turut menyebabkan terjadinya kelangkaan pangan di daerah baik karena pergeseran pola produksi maupun pola konsumsi ke komoditi tunggal beras. </span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://jv.blogger.googlepages.com/Eat-less-so-we-can-drive-our-cars.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="270" src="http://jv.blogger.googlepages.com/Eat-less-so-we-can-drive-our-cars.gif" width="400" /></a></div></div></span>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-62572651542430909932010-10-28T23:29:00.002+08:002011-01-14T19:22:59.270+08:00Apakah lahan kering adalah bencana atau sebenarnya justeru potensi yang seharusnya dioptimalkan untuk memitigasi bencana kekeringan?<div class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">I W. Mudita</span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Pada setiap menjelang akhir tahun, ketika musim kemarau sedang pada puncaknya, kekeringan biasanya menjadi berita utama media masa. Koran berlomba-loba memberitakan orang-orang yang kesulitan memperoleh air bersih atau bahkan yang kekurangan bahan pangan. Demikian juga dengan televisi, berlomba-loba menayangkan gambar tanaman yang layu meranggas, sungai-sungai yang airnya menyusut atau bahkan mengering, dan orang yang berjalan jauh hanya untuk memperoleh air bersih. Kekeringan pun, disadari atau tidak, telah berubah dari penderitaan sekian banyak orang menjadi komoditas untuk meningkatkan rating dan mendatangkan lebih banyak iklan.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><span class="fullpost"><br />
<div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Ketika media masa berlomba-lomba menjadikan kekeringan sebagai komoditas, banyak pihak justeru bingung, kekeringan itu sebenarnya apa dan mengapa sampai terjadi. Kebingunangan semacam itu tentu saja wajar apabila itu terjadi pada masyarakat kebanyakan. Yang kemudian menjadi ironis adalah apabila kemudian ada pihak-pihak yang seharusnya memahami permasalahan, entah karena pendidikannya atau karena jabatan publik yang diembannya, tetapi justeru ikut kebingungan dengan mengidentikkan lahan kering dengan bencana kekeringan. Misalnya saja, karena lahan di Provinsi NTT adalah lahan kering maka kekeringan dengan sendirinya harus menjadi bencana urutan paling atas. Padahal secara logika, mana yang sebenarnya lebih rentan bencana kekeringan, lahan kering atau justeru lahan basah? Mana yang lebih tahan kepanasan, orang yang dari tempat wisata Puncak di Jawa barat sana atau orang Kupang?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Di lahan kering, pertanian berkembang melalui proses adaptasi panjang sejak jaman nenek moyang. Adaptasi dilakukan antara lain melalui cara pembukaan dan penyiapan lahan, pemilihan tanaman yang dibudidayakan, pemilihan pola pertanaman, pemilihan cara menyimpan hasil, dan seterusnya. Pembukaan dan penyiapan lahan dengan cara tebas bakar yang dilakukan sangat luas di Provinsi NTT misalnya, tidak mungkin bisa dilakukan kalau saja lahan yang ada bukan lahan kering. Demikian juga dengan jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan, orang pasti akan memilih jenis tanaman lain yang lebih bernilai ekonomis daripada menanam jagung, kalau saja lahan yang ada bukan lahan kering. Dan melalui proses pemilihan yang telah dilakukan secara turun temurun itulah maka, dari setiap jenis tanaman yang lazim dibudidayakan di lahan kering, berkembang galur-galur yang justeru tahan terhadap kekeringan.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Pola pertanaman yang lazim dilakukan di lahan kering sebenarnya juga berkembang melalui proses adaptasi panjang yang sama. Di lahan kering orang biasanya membudidayakan berbagai jenis tanaman dalam satu bidang lahan garapan, entah itu dalam pola tumpangsari, tanam lorong, atau apapun namanya. Bahkan di Pulau Timor, orang biasa menanam secara campuran bukan hanya dalam satu bidang lahan melainkan juga dalam satu lubang tanam dengan cara memasukkan bersama-sama benih jagung, kacang nasi, dan labu. Semua ini dilakukan tentu bukannya tanpa maksud tertentu, melainkan untuk dapat bertahan dalam menghadapi bencana kekeringan. Ketika jagung mengalami gagal panen, misalnya saja, orang masih bisa datang ke ladang untuk mengambil ubi kayu atau talas yang tersimpan di sana, sehingga Dr. William Ruscoe, seorang pakar agronomi Amerika yang tinggal Kupang mengatakan, orang Timor bukan hanya mempunyai lumbung rumah bulat (‘ume kbubu’) di rumah, tetapi juga di ladang.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Semua ini memungkinkan, secara logika saja, lahan kering sebenarnya lebih tahan menghadapi bencana kekeringan daripada lahan basah. Sederhananya, pengalaman panjang (adaptasi ekologis dalam waktu sangat panjang) menjadikan lahan kering sebenarnya lebih tahanan menghadapi bencana kekeringan daripada lahan basah. Bayangkan saja misalnya, apa yang akan terjadi di lahan basah jika sampai hujan tidak turun selama hampir 9 bulan? Di manakah tanaman akan lebih banyak layu dan kemudian mati, apakah di lahan kering atau di lahan basah? Di mana pula hama dan penyakit tanaman lebih mudah berkembang, di lahan kering atau di lahan basah? Apakah ada orang di lahan basah yang mempunyai lumbung di ladang seperti misalnya orang Timor?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Sesungguhnya, bila saja kita mampu berpikir sedikit lebih kritis, kita seharusnya menempatkan lahan kering sebagai potensi dan bukannya mengidentikannya dengan bencana kekeringan. Bayangkan saja misalnya, apakah Provinsi NTT akan mempunyai cendana (<i>Santalum album</i>) kalau seandainya lahan di NTT bukan lahan kering? Apakah akan ada jeruk keprok soe kalau seandainya lahan di Pulau Timor bukan lahan kering? Bagaimana pula dengan lontar (<i>Borassus flabelifer</i>), apakah orang Rote akan mempunyai sasando kalau saja lahan di Pulau Rote bukan lahan kering yang memungkinkan lontar sedemikian dominan di sana sampai-sampai membuat, sebagaimana dikutip oleh Prof. James Fox dari Australian National University, orang Rote meminum daripada memakan makanannya?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Dahulu pada era Orde Baru, ketika pemerintahan masih sangat sentralistik, kita mengeluh bahwa kebijakan pembangunan pertanian diseragamkan oleh pemerintah pusat. Kini, ketika otonomi telah diserahkan ke daerah, apakah kita mampu mengembangkan kebijakan pembangunan pertanian yang benar-benar sesuai dengan potensi daerah? Kalau jawabannya ya maka mari, jangan lagi samakan lahan kering dengan bencana kekeringan, melainkan jadikan potensi yang perlu dikembangkan. Kalau jawabannya ya maka mari jangan justeru kita menyerempet-nyerempet bencana kekeringan dengan membudidayakan tanaman yang tidak “berpengalaman” (mampu beradaptasi) menghadapi kekeringan. Mari kita kembangkan pola pertanaman campuran agar orang-orang masih mempunyai lumbung di ladang ketika bencana kekeringan tiba.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Jagung komposit dan hibrida yang kini digalakkan melalui program “jagungisasi” pemerintah Provinsi NTT bukanlah tipe tanaman yang “berpengalaman” menghadapi kekeringan, sebagaimana halnya jagung lokal. Sebagai tanaman unggul, jagung ini memang mempunyai potensi produksi yang jauh lebih tinggi daripada produksi jagung lokal. Tetapi itu baru potensi, untuk menjadikannya sebuah realitas diperlukan banyak persyaratan agronomis: ditanam secara monokultur dengan jarak teratur untuk meminimalkan persaingan, dipupuk lengkap secara berimbang, diairi sesuai kebutuhan, dikendalikan gulmanya tepat waktu, dan seterusnya. Bayangkan saja, dengan persyaratan seperti ini, bagaimana bila tiba-tiba terjadi kekeringan, apakah potensi produksi yang tinggi akan dapat diwujudkan?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Kalaupun tidak terjadi kekeringan dan potensi produksi tinggi berhasil diwujudkan, bukan berarti “jagungisasi” sudah jauh dari menyerempet-nyerempet bencana. Bukannya dengan sendirinya menjadi upaya untuk memitigasi bencana, tetapi juteru diintai oleh bencana lain, yaitu kumbang bubuk yang di Pulau Timor biasa disebut ‘fufuk’. Kumbang bubuk ini sebenarnya juga memakan jagung lokal, tetapi kalau ada jagung komposit dan hibrida maka ibaratnya orang yang lebih menyukai barang impor, dia akan memilih lebih memakan jagung komposit dan hibrida daripada jagung lokal. Jagung lokal akan menjadi semakin kurang disukai bila pada 3 bulan pertama disimpan dengan api terus menyala di bawahnya dalam rumah bulat, tetapi tidak demikian dengan jagung komposit dan jagung hibrida, ‘fufuk’ akan tetap menyantapnya sampai hanya tinggal remah-remahnya saja. Sayangnya lagi, jagung komposit dan hibrida ini diintroduksi tanpa disertai upaya perbaikan teknologi penyimpannya. Alih-alih memperbaiki teknologi penyimpanan di tingkat petani, pemerintah justeru membangun silo di ibukota kabupaten, yang tentunya jauh dari jangkauan petani.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Pada akhirnya, yang menjadikan lahan kering menjadi rentan terhadap bencana kekeringan bukanlah lahan kering itu sendiri. Sesungguhnya, secara intrinsik, lahan kering sebenarnya lebih tahan menghadapi bencana kekeringan karena telah “berpengalaman” melalui proses adaptasi ekologis yang panjang. Yang kemudian menjadikan lahan kering menjadi menyerempet-nyerempet bencana kekeringan adalah keserakahan kita untuk selalu memperoleh lebih banyak dari alam, bahkan bila perlu merampok alam, tanpa pernah memikirkan untuk menyisakan sedikit saja, apalagi memberi. Bila kita terus berperilaku demikian maka pada akhirnya lahan kering memang akan menjadi identik dengan bencana kekeringan.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Referensi:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Crippen International (1980a). <i>Timor Island water resources development study, Final Report Vol. 4: Climate.</i> Ottawa and Jakarta: Canadian International Development Agency and Directorate General of Water Resources Development, Ministry of Public Works.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Crippen International (1980b). <i>Timor Island water resources development study, Final Report, Vol. 9: Agricultural soils.</i> Ottawa and Jakarta: Canadian International Development Agency and Directorate General of Water Resources Development, Ministry of Public Works.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Fox, J. (1977) <i>Harvest of the palm: Ecological change in Eastern Indonesia.</i> Cambridge: Harvard University Press.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Pengutipan:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita, I W. (2010) Apakah lahan kering adalah bencana atau sebenarnya justeru potensi yang seharusnya dioptimalkan untuk memitigasi bencana kekeringan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: <a href="http://www.drylandagriculture.blogspot.com/">www.drylandagriculture.blogspot.com</a> pada (isi tanggal, bulan, tahun).</span></div></span><br />
<div align="center"><img src="http://www.climatetemp.info/graph/kupang-timor_files/image001.gif" width="659" height="557"><br><a href="http://www.climatetemp.info/indonesia/kupang-timor.html">Kupang, Timor Climate</a> graph contributed by climatetemp.info</div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-78905677962063148212010-10-26T16:43:00.000+08:002011-01-05T18:03:13.254+08:00Apa sebenarnya arti kata “kering” dalam pertanian lahan kering dan bagaimana kaitannya dengan bencana kekeringan?<div class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">I W. Mudita</span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Menanggapi <a href="http://www.pos-kupang.com/read/artikel/38289">hasil penelitian</a> Pusat </span><span style="color: black; font-family: "Georgia","serif";">Studi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menyimpulkan bahwa Provinsi NTT tidak termasuk daerah rawan bencana kekeringan, </span><a href="http://www.nttprov.go.id/ntt_09/index.php?hal=tampilberita&id=UMU3864"><span style="font-family: "Georgia","serif";">seorang dosen</span></a><span style="color: black; font-family: "Georgia","serif";"> Program Studi Agribisnis Universitas Nusa Cendana mengatakan, “Sebagian besar daerah NTT adalah lahan kering atau yang disebut dengan iklim semiarit [<i>sic!</i>]... Karena itu pemerintah harus segera bersikap. Sebab kondisi riil kita di NTT ini adalah daerah kering, 60 sampai 70 persen itu lahan kering”. Menyikapi tanggapan tersebut, seorang dosen Program Studi Agroteknologi universitas yang sama dengan bergurau mengatakan bahwa itu namanya tidak bisa bersyukur karena kalau sudah mengatakan bahwa NTT termasuk wilayah semi-ringkai (<i>semi-arid</i>) maka tidak seharusnya mengkategorikan kekeringan sebagai bencana.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><span class="fullpost"><br />
<div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Polemik di atas sebenarnya tidak perlu terjadi manakala dipahami apa yang dimaksud dengan kering dalam konteks iklim, dalam konteks pertanian, dan dalam konteks bencana. Di sini semuanya menggunakan kata kering, mungkin karena bahasa Indonesia tidak mempunyai kata yang tepat untuk membedakan makna kata-kata berbeda dalam bahasa Inggris, yaitu <i>arid</i>, <i>dry</i>, dan <i>drought</i>. Dalam konteks iklim, kata <i>arid</i> digunakan untuk menyatakan keadaan yang merujuk kepada suatu kontinuum </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">nisbah (<i>ratio</i>) rerata presipitasi tahunan (meliputi curah hujan, embun, salju) terhadap evapotranspirasi potensial tahunan (meliputi penguapan dari badan perairan terbuka dan penguapan dari mahluk hidup) sebagaimana telah diuraikan oleh Mudita (2010) (<a href="http://drylandagriculture.blogspot.com/2010/10/apa-sebenarnya-arti-kata-kering-dalam.html">dalam blog ini</a>). Kata bahasa Indonesia yang digunakan secara teknis sebagai padanan kata <i>arid</i> adalah ringkai sehingga <i>semi-arid</i> menjadi semi-ringkai.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Kata kering dalam pertanian lahan kering mempunyai makna yang tidak sama dengan kata <i>arid</i> dalam konteks iklim. Pertama, pertanian lahan kering tidak hanya dilakukan di wilayah yang secara iklim termasuk dalam kategori ringkai, tetapi juga di wilayah yang termasuk dalam kategori lembab (<i>humid</i>). Di pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan juga terdapat pertanian lahan kering, padahal wilayah di pulau-pulau tersebut sebagian besar termasuk dalam kategori zona lembab. Kedua, prasarana pengairan seperti embung, bendungan, bendung, dan waduk dapat dibangun untuk mengubah pertanian lahan kering menjadi pertanian lahan basah di wilayah dalam kategori ringkai. Misalnya, bendungan Benain di Kabupaten Belu telah mengubah pertanian di wilayah pesisir Belu Selatan menjadi pertanian lahan basah, meskipun dalam kategori zona keringkaian, wilayah tersebut termasuk semi-ringkai. Ketiga, pertanian tidak hanya menyangkut persoalan teknis (dalam hal ini iklim tercakup di dalamnya), tetapi juga sosial-ekonomi dan sosial-budaya sebagaimana telah diulas oleh Prof. Fred Benu (<a href="http://drylandagriculture.blogspot.com/2010/10/apakah-usahatani-lahan-kering-sama.html">dalam blog ini</a>). Dalam pertanian tidak hanya ada lahan, tanaman, dan ternak, tetapi harus ada manusia yang hidup saling berinteraksi antar sesamanya membentuk masyarakat yang diikat oleh nilai-nilai ekonomis, politis, dan budaya bersama. Dari sinilah maka perlu dibedakan antara petani dalam pengertian <i>farmer</i> dan petani dalam pengertian <i>peasant</i>.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Lalau bagaimana dengan bencana kekeringan? Rupanya istilah ini diindonesiakan dari kata dalam bahasa Inggris <i>drought</i>. Tentu saja ini tidak salah, hanya saja perlu dipahami, sebagaimana dengan gamblang diuraikan oleh </span><a href="http://earthobservatory.nasa.gov/Features/DroughtFacts/"><span style="font-family: "Georgia","serif";">NASA (2010)</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";">, bahwa istilah <i>drought</i> mempunyai makna yang berbeda-beda dalam konteks meteorologis, hidrologis, dan pertanian. Secara meteorologis, <i>drought</i> merupakan keadaan menyimpang dalam waktu lama terhadap keadaan presipitasi normal. Secara hidrologis <i>drought</i> bermakna defisiensi pasokan air permukaan dan air tanah dangkal, diukur dalam debit aliran air. Dalam konteks pertanian <i>drought</i> bermakna suatu keadaan di mana tanah mengalami keadaan lengas (<i>soil moisture</i>) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan jenis tanaman tertentu pada suatu musim tanam. <i>Drought</i> dalam konteks pertanian ini berada di antara <i>drought</i> dalam konteks meteorologis dan hidrologis.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Penggunaan istilah bencana kekeringan tentu akan tidak bermasalah bila saja telah ada kriteria maupun indikator yang jelas untuk mengukur keadaan yang dapat dikategorikan sebagai <i>drought</i>. Menurut </span><a href="http://earthobservatory.nasa.gov/Features/DroughtFacts/"><span style="font-family: "Georgia","serif";">NASA (2010)</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";">, kesulitannya justeru terletak di sini karena memang belum terdapat kesepakatan mengenai menyimpang seberapa lama dan seberapa jauh dari keadaan meteorologis, hidrologis, dan lengas tanah normal seperti apa, baru dapat dikatakan sebagai <i>drought</i>. Kembali kepada </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">hasil penelitian Pusat </span><span style="color: black; font-family: "Georgia","serif";">Studi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB), jika bencana kekeringan yang dimaksudkan adalah <i>drougt</i>, maka kemudian yang menjadi persoalan adalah kriteria dan indikator apa saja yang digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa Provinsi NTT tidak termasuk daerah bencana kekeringan (dalam hal ini bencana kekeringan tidak identik dengan daerah kering). Dan ini tidaklah mudah, sebagaimana coba diurai oleh seorang mahasiswa kandidat doktor, </span><a href="http://www.ehs.unu.edu/file/get/4197+drought+disaster+definition+criteria+indicators&cd=7&hl=en&ct=clnk&gl=id"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Sebastian</span><span style="font-family: "Georgia","serif";"> Jülich</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";">, bersama pembimbingnya, </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">Prof. Dr. Hans-Georg Bohle,</span><span style="color: black; font-family: "Georgia","serif";"> di Jurusan Geografi Universitas Bonn, Jerman.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="color: black; font-family: "Georgia","serif";">Manakala kemudian kriteria dan indikator yang digunakan tidak jelas maka mengidentikkan pertanian lahan kering dengan bahaya kekeringan itulah yang justeru berbahaya. Mengapa demikian? Pertama, lahan kering adalah karunia Tuhan Yang Mahaesa, yang patut disyukuri dan bukannya malah dikategorikan sebagai bencana. Dari generasi ke generasi petani lahan kering sudah mempolakan usahatani mereka untuk mengikuti pola musim hujan dan musim kemarau sehingga justeru hujan berkepanjangan sebagaimana yang terjadi di NTT pada tahun 2010 ini yang sama berpotensinya, atau bahkan lebih, untuk menjadi bencana. Kedua, mengartikan lahan kering secara salah seakan-akan identik dengan bencana kekeringan (<i>drought</i>) hanya untuk mengharapkan kucuran dana bantuan darurat bencana alam justeru menunjukkan mental untuk selalu meminta dibelaskasihani, mentalitas yang seharusnya mulai dikurangi pada saat otonomi telah diserahkan ke daerah. Ketiga, memaknai lahan kering sebagai identik dengan bencana kekeringan akan mengancam pengembangan pertanian lahan kering menjadi pertanian berkelanjutan (<a href="http://www.nal.usda.gov/afsic/pubs/terms/srb9902.shtml"><i>sustainable agriculture</i></a>). Dan ini justeru lebih berbahaya daripada bencana kekeringan itu sendiri.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Pemaknaan lahan kering sebagai identik dengan bencana kekeringan telah melahirkan program pembangunan pertanian yang sangat kental bernuansa revolusi hijau. Kebijakan dirumuskan melalui penalaran jalan pintas “tangan ke mulut”, sebagaimana diistilahkan oleh Prof. Fred Benu (dalam blog ini), bahwa kekeringan sebagai bencana akan dapat diatasi melalui intensifikasi pertanian dalam bentuk program “</span><a href="http://www.nttprov.go.id/ntt_09/download/Potensi%20Jagung%20di%20NTT.pdf"><span style="font-family: "Georgia","serif";">jagungisasi</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";">” untuk menjadikan Provinsi NTT sebagai “gudang jagung”. Tentu saja tidak ada yang keliru dengan program “jagungisasi” tersebut kalau saja dilakukan dengan menggunakan jagung lokal yang telah terbukti beradaptasi dengan kekeringan berkepanjangan (<i>drought</i>) melalui penyesuaian terhadap pola pertanaman tradisional yang telah ada. Program “jagungisasi” tersebut justeru akan memperburuk dampak bencana kekeringan bila dilakukan dengan menggunakan bibit unggul (tidak ada bedanya hibrida maupun komposit) secara monokultur dengan menguras air tanah untuk irigasi. Mengenai hal ini, paparan sudah disampaikan oleh Mudita (<a href="http://drylandagriculture.blogspot.com/2010/10/mengapa-dalam-pertanian-lahan-kering.html">dalam blog ini</a>). </span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Program “jagungisasi” tersebut tentu akan dapat menjadi bernuansa penanggulangan bencana kekeringan bila saja dibarengi dengan pengadaan peralatan penakar hujan dan pemanfaatan datanya untuk memperbaiki prakiraan cuaca. Mengenai hal ini sungguh </span><a href="http://www.pos-kupang.com/read/artikel/38785"><span style="font-family: "Georgia","serif";">sangat memprihatinkan</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";"> bila sampai ada bupati yang dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan pertanian di daerahnya tidak menggunakan </span><a href="http://image.pos-kupang.com/read/artikel/38676/sitemap.html"><span style="font-family: "Georgia","serif";">data klimatologi</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";"> setempat sebagai salah satu rujukan. Bagaimana mungkin, misalnya, <a href="http://www.nttprov.go.id/ntt_09/index.php?hal=tampilberita&id=UMU3864">pergeseran musim hujan</a> di Kabupaten Sumba Timur bisa diprakirakan dengan tepat bila data yang digunakan untuk melakukan prakiraan bersumber dari Stasiun Klimatologi Kelas II Lasiana yang notabene berada ratusan kilometer di luar wilayah. Rupanya, pada era otonomi daerah ini, yang bisa mekar beranak pianak hanyalah provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan yang katanya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan, stasiun penakar hujan, jangankan dimekarkan, justeru peralatannya banyak yang tidak berfungsi. Entah kepada siapa pelayanan harus diberikan kalau bukan kepada petani, yang dari segi jumlah penduduk, adalah nyata-nyata yang terbanyak di provinsi dan negeri ini.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Referensi:</span></b></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Jülich, S. (2010) Drought risk indicator for assessing rural households. </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">Presentasi PowerPoint. Diakses dari: </span><a href="http://www.ehs.unu.edu/file/get/4197+drought+%20disaster+definition+criteria+indicators&cd=7&hl=en&ct=clnk&gl=id"><span style="font-family: "Georgia","serif";">www.ehs.unu.edu/file/get/4197+drought+disaster+definition+criteria+indicators&cd=7&hl=en&ct=clnk&gl=id</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";"> pada 25 Oktober 2010.</span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">NASA (2010). Drought: The creeping disaster. Earth Observatory. Diakses dari: </span><a href="http://earthobservatory.nasa.gov/Features/DroughtFacts/"><span style="font-family: "Georgia","serif";">http://earthobservatory.nasa.gov/Features/DroughtFacts/</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";"> pada 25 Oktober 2010.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Pengutipan:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita, I W. (2010) </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Apa sebenarnya arti kata “kering” dalam pertanian lahan kering dan bagaimana kaitannya dengan bencana kekeringan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: </span><a href="http://drylandagriculture.blogspot.com/"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">http://drylandagriculture.blogspot.com</span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"> pada (isi tanggal, bulan, tahun)</span><span style="font-family: "Georgia","serif";"></span></div></span>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-79101450293117542232010-10-24T19:46:00.000+08:002011-01-05T18:04:06.923+08:00Apakah perladangan tebas bakar memang merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif atau justeru memberikan banyak manfaat lain yang tidak dapat diberikan oleh pola-pola lain yang lebih intensif?<div class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">I W. Mudita</span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Seorang mahasiswa sebuah fakultas pertanian dengan sangat bersemangat berargumentasi dalam proposal penelitian skripsinya, bahwa produksi jagung di <a href="http://www.nttprov.go.id/">Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)</a> masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan pemupukan lengkap secara berimbang untuk meningkatkan produksi. Untuk memperkuat argumentasinya, mahasiswa tersebut mengutip data BPS yang memang menunjukkan bahwa produksi jagung Provinsi NTT memang masih jauh di bawah produksi jagung Provinsi Jawa Timur maupun produksi jagung Provinsi Gorontalo. Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis mengingat jagung merupakan bahan pangan pokok penduduk Provinsi NTT, sedangkan di Provinsi Jawa Timur dan Gorontalo hanya sebagai bahan pakan ternak. Bukan hanya itu, jagung mempunyai sejarah yang panjang di Provinsi NTT, tetapi tidak demikian halnya di Provinsi Gorontalo. Dilihat dari perspektif ini maka tidaklah salah ketika kemudian Gubernur NTT mencanangkan program jagungisasi untuk mengembalikan kejayaan Provinsi NTT sebagai “gudang jagung”.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><span class="fullpost"><br />
<div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Jagung merupakan tanaman utama dalam pertanian lahan kering di Provinsi NTT, terutama di Timor Barat. Sebagai tanaman utama pertanian lahan kering, jagung dibudidayakan terutama dalam pola perladangan tebas bakar. Sebagai tanaman pada pola perladangan tebas bakar, jagung hampir tidak pernah ditanam secara monokultur, melainkan sebagian besar secara campuran dengan berbagai jenis tanaman lain. Di Timor Barat bahkan benih jagung dicapur pada saat menugal dan satu lubang tugal diisi sekaligus dengan benih jagung, kacang nasi, dan labu kuning sehingga muncul istilah cara menanam “salome”, satu lobang rame-rame. Akibatnya dengan mudah dapat diketahui, bahkan oleh orang yang tidak pernah kuliah di fakultas pertanian sekalipun, produksi jagung per satuan luas lahan (produktivitas) pasti akan rendah. Tetapi karena BPS menggunakan cara menyajikan data yang harus seragam secara nasional maka produksi jagung Provinsi NTT pun disajikan dengan cara yang sama dengan menyajikan data produksi jagung di provinsi-provinsi lainnya. Maka, seorang mahasiswa yang memang belum mampu untuk berpikir sejauh ini, dengan gampang menyimpulkan bahwa produksi jagung di Provinsi NTT rendah karena kurang dipupuk.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Berbeda halnya dengan mahasiswa, seorang gubernur tentu tidak boleh terjebak dalam pengambilan kesimpulan yang terlalu sederhana. Oleh karena itu, gubernur mengatakan pola pertanaman tebas bakar tidak produktif. Artinya, produksi jagung di Provinsi NTT rendah karena dibudidayakan dalam pola perladangan tebas bakar yang menggunakan jagung lokal dan tidak pernah dipupuk. Untuk itulah maka kemudian gubernur mencanangkan program “jagungisasi” untuk “memodernisasi” budidaya jagung di Provinsi NTT. Masyarakat dianjurkan untuk menanam jagung komposit dan hibrida unggul secara intensif dengan disertai pemupukan lengkap secara berimbang untuk mengejar ketinggalan produksi dari provinsi lain. Untuk mengurangi kehilangan hasil selama dalam penyimpanan maka silo pun di bangun di ibukota kabupaten. Sungguh sebuah program luar biasa yang menyentuh kepentingan sebagian besar masyarakat, tetapi apakah memang demikian?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Modernisasi produksi sebenarnya adalah paradigma revolusi hijau yang kini sudah mulai ditinggalkan. Paradigma revolusi hijau memandang proses produksi pertanian identik dengan proses produksi di pabrik-pabrik, yang produktivitasnya (<i>output</i>) dengan sendirinya akan meningkat bila kapasitas mesin dan masukannya (<i>input</i>) ditingkatkan. Kini, pada era pasca-revolusi hijau, orang sudah mulai meninggalkan cara berpikir seperti ini karena sesungguhnya pertanian tidak sesederhana sebuah pabrik. Kini semakin disadari bahwa proses produksi pertanian sesungguhnya lebih menyerupai sebuah ekosistem. Istilah ekosistem pertanian dan agro-ekosistem pun menjadi semakin banyak muncul dalam berbagai wacana, sebelum kemudian berkulminasi dalam wacana pertanian berkelanjutan (<i>sustainable agriculture</i>).</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Lalu apakah sebenarnya pertanian berkelanjutan itu? Meminjam definisi <a href="http://www.gerrymarten.com/publicatons/agroecosystem-Assessment.html">Marten (1988)</a>, dan juga <a href="http://econpapers.repec.org/article/eeeagisys/">Conway (1987)</a>, keberlanjutan dalam pertanian berarti kemampuan untuk mempertahankan produktivitas pada taraf tertentu dalam jangka waktu panjang. Difinisi demikian sesuai dengan konsep bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, produksi yang dicapai sekarang tidak boleh sampai mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk dapat memperoleh produksi pada tingkat yang sama. Tantangannya kemudian adalah, bagaimana produktivitas dapat dipertahankan terus menerus dari generasi ke generasi? Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah. Meskipun demikian, harus disadari bahwa pertanian sesungguhnya dikendalikan oleh berbagai proses ekologis. Di dalam proses ekologis itu ada konsep faktor pembatas (<i>limitting factor</i>), ada konsep jejaring makanan (<i>food web</i>). Dengan adanya faktor pembatas dan jejaring makanan maka produksi tinggi sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan untuk dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Dengan kata lain, bila pertanian harus berkelanjutan maka produktivitas tinggi tidak boleh digunakan sebagai satu-satunya ukuran.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Penggunaan benih unggul, pupuk, pestisida, dan sarana produksi lainnya untuk mencapai produksi tinggi, tidak hanya akan bermasalah dengan faktor pembatas, tetapi juga akan berhadapan dengan berbagai kendala yang timbul dari jejaring makanan sendiri. Berbagai jenis organisme yang menggunakan tanaman sebagai bahan makanannya akan meningkat populasinya menjadi organisme pengganggu yang semakin merusak dan merugikan. Sebagai akibatnya, produksi pun akan terus berfluktuasi ke arah yang semakin rendah. Di sini muncul persoalan stabilitas, bahwa produktivitas tinggi akan menyebabkan stabilitas menjadi terus semakin berkurang. Selain itu juga akan timbul persoalan kemerataan karena untuk berproduksi tinggi tidak semua petani mampu membeli sarana produksi, kecuali bila pemerintah mempu terus memberikan subsidi (yang kenyataannya tidak selalu demikian). Petani pun akan semakin tergantung, bukan hanya pada para pengijon yang akan bermurah hati meminjamkan uang untuk membeli sarana produksi, tetapi pada konglomerasi internasional yang dari dahulu sudah membidik sektor pertanian sebagai wahana penjajahan era globalisasi. Maka, bila demikian, petani di negeri merdeka pun terpaksa harus kehilangan kedaulatan atas sumberdaya miliknya sendiri. Benih yang dahulu disiapkan sendiri kini harus dibeli karena benih unggul tidak boleh diproduksi sendiri.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Di sinilah kemudian perladangan tebas bakar mampu memberikan lebih. Perladangan tebas bakar memang tidak produktif, sebagaimana dikatakan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Tetapi dengan produksi yang tidak tinggi tersebut perladangan tebas bakar menyediakan asuransi terhadap gejolak stabilitas produksi. Dari pengalamannya sendiri dan pengalaman leluhur yang diwarisinya, petani perladangan tebas bakar memahami betul bahwa kekeringan, angin kencang, banjir, dan bahkan belalang kembara setiap saat dapat menyebabkan jagung mengalami gagal panen. Karena itu mereka menanam berbagai jenis tanaman lain bersama dengan jagung, meskipun sebagai konsekuensinya produksi jagung menjadi tidak tinggi. Mereka juga tahu betul bahwa benih, pupuk, pestisida, dan sarana produksi lainnya tidak akan dapat terus dibagikan secara gratis oleh pemerintah. Lebih dari itu, meraka tahu betul bahwa mereka melakukan perladangan tebas bakar lebih daripada sekedar untuk untuk memperoleh hasil. Di dalamnya bukan hanya ada ikatan dengan lahan dan tanaman yang dibudidayakan, tetapi juga ikatan dengan keluarga dan dengan tetangga sebagaimana diurai dengan gamblang oleh <a href="http://www.gerrymarten.com/human-ecology/tableofcontents.html">Marten (2001)</a>. Semua ini, bagi petani subsisten, tidak dapat disamakan dengan memperoleh produksi yang lebih tinggi.</span></div><div class="MsoNormal"></div><br />
<div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Referensi:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Conway, G.R. (1987) The properties of agroecosystems. <i><a href="http://econpapers.repec.org/article/eeeagisys/">Agricultural Systems</a></i> 24 (2), 95-117 </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Marten, G.G. (1986) Traditional Agriculture in Southeast Asia: A Human Ecology Perspective. Boulder, Colorado: Westview Press. Diakses dari: </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.gerrymarten.com/traditional-agriculture/tableofcontents.html">http://www.gerrymarten.com/traditional-agriculture/tableofcontents.html</a> terakhir </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">pada: 24 Oktober 2010.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Marten, G.G. (1988) Productivity, stability, sustainability, equitability and autonomy as properties for agroecosystem assessment. <i>Agricultural Systems</i> 26, 291-316. Diakses dari: </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.gerrymarten.com/publicatons/agroecosystem-assessment.html">http://www.gerrymarten.com/publicatons/agroecosystem-assessment.html</a> terakhir </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">pada: 24 Oktober 2010.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Marten, G.G. (2001) Human Ecology - Basic Concepts for Sustainable Development. <a href="http://shop.earthscan.co.uk/ProductDetails/mcs/productID/245/groupID/7/categoryID/7/v/a74cc949-e737-415c-8381-a18ca26f90a6" target="_blank">Earthscan Publications</a>. Diakses dari: <a href="http://www.gerrymarten.com/human-ecology/tableofcontents.html">http://www.gerrymarten.com/human-ecology/tableofcontents.html</a> terakhir pada 24 Oktober 2010.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Tautan untuk Program Agroekologi:</span></b></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.agroecology.wisc.edu/">Madison Agroecology Graduate Program, University of Wisconsin</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.cias.wisc.edu/">The Center for Integrated Agricultural Systems</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://agroeco.org/">Agroecology in Action</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://asap.sustainability.uiuc.edu/about">Agroecology/Sustainable Agriculture Program</a>, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/University_of_Illinois_at_Urbana-Champaign" title="University of Illinois at Urbana-Champaign">University of Illinois at Urbana-Champaign</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.agron.iastate.edu/academic/undergraduate/options/agro_ecol.aspx">Agroecology</a> at <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Iowa_State_University" title="Iowa State University">Iowa State University</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://agroecology.psu.edu/">Agroecology Program</a> at <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Penn_State" title="Penn State">Penn State</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.agroecos.fr/">European Master Agroecology</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.landfood.ubc.ca/agroecology/">Agroecology Program</a> at <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/The_University_of_British_Columbia" title="The University of British Columbia">The University of British Columbia</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://casfs.ucsc.edu/index.html">Center for Agroecology & Sustainable Food Systems, UC Santa Cruz</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.mstbrazil.org/?q=LAschoolofagroecology">Agroecology in Brazil</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.agroecologia.net/">Agroecology in Spain</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Agroecology_in_Latin_America" title="Agroecology in Latin America">Agroecology in Latin America</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Agroecology_in_Madagascar" title="Agroecology in Madagascar">Agroecology in Madagascar</a></span><span style="font-family: "Georgia","serif";"></span></div><div class="MsoNormal"></div><br />
<div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Pengutipan:</span></b></div><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita. I W. (2010) </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Apakah perladangan tebas bakar memang merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif atau justeru memberikan banyak manfaat lain yang tidak dapat diberikan oleh pola-pola lain yang lebih intensif?</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"> Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: </span><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://drylandagriculture.blogspot.com/"><span lang="EN-US">http://drylandagriculture.blogspot.com</span></a></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"> pada (isi tanggal, bulan, tahun saat diunduh).</span><br />
</div></span>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-25746921138190711792010-10-23T18:47:00.000+08:002011-01-05T18:04:45.276+08:00Bila perladangan tebas bakar merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif dan merusak lingkungan hidup, mengapa belum juga dapat dihentikan meskipun berbagai upaya telah dilakukan?<div class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"></span></b></div><div class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">I W. Mudita</span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Saat berkunjung ke Desa Kaen Baun, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), </span>Frans Lebu Raya, <span style="font-family: "Georgia","serif";">meminta petani untuk </span><a href="http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_content&task=view&id=318&Itemid=1"><span style="font-family: "Georgia","serif";">meninggalkan pola perladangan tebas bakar</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";"> karena selain tidak produktif juga merusak lingkungan. "Saya melihat masih banyak warga yang menerapkan pola bertani yang keliru itu, sebaiknya ditinggalkan”, pinta Gubernur. Frans Lebu Raya bukanlah gubernur yang pertama kali meminta agar perladangan tebas bakar ditinggalkan, gubernur-gubernur sebelumnya juga sudah melakukan itu. Tetapi kenyataannya, setiap bulan-bulan September-November, bentangan Pegunungan Fatuleu yang pada bulan-bulan sebelumnya tampak dari Kota Kupang kokoh menjulang di seberang teluk, seakan-akan begitu saja lenyap tertutup kabut asap. Tetapi kabut asap tebas bakar musim kemarau bukanlah hanya persoalan Provinsi NTT. Kabut asap tebas bakar dari provinsi-provinsi di Pulau Sumatera dan Kalimantan bahkan telah terekspor ke negara tetangga Malaysia dan Singapura.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><span class="fullpost"><br />
<div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Perladangan tebas bakar merupakan persoalan yang sesungguhnya tidak sederhana. Bagi kebanyakan petani subsisten, perladangan tebas bakar adalah harapan untuk bisa bertahan hidup. </span><span class="fullpost"><span style="font-family: "Georgia","serif";">"Kami harus bekerja seperti ini untuk bisa bertahan hidup. Tebas dan bakar kami lakukan tiap tahun. Sebagai petani di Timor kami sengsara, tapi lebih baik sengsara daripada mati kelaparan," ujar Yosef Kefi, seorang pria ubanan, sebagaimana dikutip dalam artikel </span></span><a href="http://jurnalis-ntt.blogspot.com/2008/06/tebas-bakar-bumi-timor-kian-merana.html"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Tebas Bakar, Bumi Timor Kian Merana</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";">. Ada banyak persoalan lain yang menjadi sebab mengapa petani subsisten sulit dapat diajak beranjak meninggalkan perladangan tebas bakar. Bagi petani subsisten di Timor Barat, dan juga petani-petani subsisten lainnya di berbagai tempat di pelosok Indonesia dan dunia, perladangan tebas bakar sudah menjadi tradisi yang diwarisi dan diwariskan secara turun temurun. Sebagai sebuah tradisi, sebagaimana halnya tradisi-tradisi lainnya, perladangan tebas bakar tentu tidak mudah untuk ditinggalkan, meskipun telah diminta oleh seorang gubernur. Lebih-lebih lagi bila permintaan itu disertai dengan “dakwaan yang dapat mengusik bawah sadar” bahwa perladangan tebas bakar yang adalah sebuah tradisi pemberi kehidupan, justeru dituding sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Perladangan sendiri merupakan terminologi yang dipahami berbeda-beda oleh berbagai pihak. Perladangan merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris shifting cultivation yang berarti kegiatan budidaya tanaman secara berpindah sehingga penambahan kata berpindah pada kata perladangan menjadi rancu. Tidak semua perladangan dilakukan dengan melibatkan api, tetapi karena peranan api sedemikian dominan maka perladangan menjadi identik dengan perladangan tebas bakar (<i>slash-and-burn shifting cultivation</i>). Perladangan tebas bakar disebun swidden cultivation bila yang ditebas dan dibakar adalah hutan belantara lebat sebagaimana yang dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Lebih daripada sekedar istilah, praktik perladangan tebas bakar memang sesungguhnya tidak sama di semua tempat. Ada berbagai tipologi perladangan tebas bakar yang tidak dapat begitu saja diseragamkan untuk didakwa sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Menurut Monk et al. (1997), setidak-tidaknya terdapat dua tipe perladangan, yaitu tipe berpindah rotasi dan tipe berpindah sembarang. Pada tipe yang pertama, pembukaan lahan dilakukan dengan mengikuti pola berotasi pada hutan sekunder yang, jauh pada tahun-tahun sebelumnya, telah pernah dibuka sebagai lokasi perladangan. Sebaliknya pada tipe bepindah sembarang, pembukaan lahan dilakukan pada kawasan hutan primer yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah dibuka sebagai lokasi perladangan.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Terlepas dari dampak buruk yang ditimbulkan dalam jangka panjang terhadap lingkungan, dalam jangka pendek perladangan tebas bakar memberikan beragam kemudahan, bahkan justeru keuntungan, bagi petani subsisten yang terisolasi bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara politik, ekonomi, dan informasi. Bagi petani peladang, sebagaimana telah dibahas oleh Mudita (2000a) dan Wilson & Mudita (2000), tebas bakar merupakan cara yang paling dapat dijangkau untuk membuka lahan dengan cepat, memperoleh abu yang diperlukan dapat menyuburkan tanaman, dan memperoleh cara paling efisien untuk mengendalikan gulma dan organisme pengganggu lainnya. Lebih daripada itu, sebagaimana dikemukakan oleh Ormeling (1955) lebih dari setengah abad yang lalu, sampai kini api yang menyala tinggi dengan percikan bunga api di kegelapan malam masih memberikan hiburan semacam pesta kembang api bagi masyarakat pedalaman yang jarang tersentuh hiburan. Jangankan bagi masyarakat petani di pedalaman, bahkan di kota sebesar Kota Kupang pun masih ada orang membakar padang hanya untuk mendapat beberapa ekor burung puyuh liar yang terparangkap asap dan api.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Ketika berbicara soal dampak buruk perladangan terhadap lingkungan hidup, orang hanya bisa mengambil kesimpulan dengan cara berpikir sangat linier. Orang lupa, bahwa ada banyak hal yang berkaitan erat dengan perladangan tebas bakar dan justeru berkontribusi lebih banyak terhadap dampak buruk yang terjadi. Ambil sebagai contoh pemeliharaan ternak sapi secara lepas di Timor Barat. Ternak sapi lepas tersebut hampir tidak pernah dituding sedemikian gencar sebagai perusak lingkungan sebagaimana halnya perladangan tebas bakar, padahal dalam banyak kasus, pembakaran juga dilakukan untuk memicu dan memacu pertumbuhan rumput (Mudita, 2000b). Padahal, pergerakan gerombolan puluhan ekor sapi tidak hanya menyebabkan berbagai jenis tumbuhan yang seharusnya mengembalikan kawasan perladangan menjadi hutan akan hancur terinjak-injak, melainkan pijakan kaki puluhan ekor sapi menjadikan tanah pada lahan berkelerengan tinggi menjadi mudah tererosi. Tetapi yang kemudian menjadikan sapi tidak dituduh sebagai perusak lingkungan adalah karena sapi menghasilkan uang jauh lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh satu hektar jagung dari perladangan tebas bakar. Dan ironisnya, ketika meminta masyarakat untuk berhenti mempraktikkan perladangan tebas bakar, Gubernur NTT justeru berniat menjadikan Provinsi NTT sebagai “gudang ternak”. Memang tidak semua ternak sapi dibiarkan lepas merumput di padang-padang rumput tak bertuan (<i>common access property</i>), tetapi orang-orang yang mampu berpikir jernih pasti tahu, bahwa penyebab terjadinya bencana untuk semua (<i>tragedy of the common</i>) di Timor Barat adalah juga sapi.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Hal yang kurang lebih sama juga terjadi dengan ekspor kabut asap ke negara tetangga Malaysia dan Singapura. Sesungguhnya yang berkontribusi lebih banyak terhadap ekspor kabut asap itu bukanlah petani subsisten, melainkan petani berdasi pemilik konglomerasi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Hanya saja, karena petani berdasi semacam itu berpendidikan tinggi dan memiliki uang, maka mereka dengan pintar “memberikan kesempatan kerja” kepada petani subsisten untuk melakukan tebas bakar. Dengan begitu, para petani berdasi itu bukan hanya berjasa mengatasi persoalan pengangguran, tetapi juga menyumbang devisa yang besar kepada negara. Karena para petani berdasi itu berpendidikan tinggi maka mereka pun tidak berhenti hanya sampai di situ, melainkan melobi para pembuat undang-undang supaya sangsi pidana terhadap pembakaran hutan dikenakan hanya kepada mereka yang tertangkap tangan melakukan pembakaran, bukan kepada yang mempekerjakan.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Referensi:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Monk, K.A., de Fretes, Y., & Reksodihardjo-Lilley, G. (1997). <i>The Ecology of Indonesia Series Vol. V: The ecology of Nusa Tenggara and Maluku</i>. Hong Kong: Periplus Editions.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita, I W.</span><span style="font-family: "Georgia","serif";"> 2000a. Fire and the management of agricultural systems in East Nusa Tenggara. In: J. Russell-Smith, G. Hill, S. Djoeroemana, and B. Myers. Pp. 62-64. ACIAR Proc. 91: Fire and Sustainable Agricultural dan Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia (ISBN: 1-86320-275-7)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita, I W.</span><span style="font-family: "Georgia","serif";">, 2000b. Pengelolaan api di Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Makalah dipresentasikan pada Diskusi Pengembangan Program Penelitian Pengelolaan Api Kerjasama ACIAR dan Pemda NTT, diselenggarakan di Kupang pada 7-10 Jun. 2000.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Ormeling, </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">F.J. 1955. <i>The Timor Problem: A geographical interpretation of an underdeveloped island</i>. Djakarta & Groningen: J.B. Wolters.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Wilson, C.G., & Mudita, I W. 2000. Fire and weeds: interactions and management implications. In: J. Russell-Smith, G. Hill, S. Djoeroemana, and B. Myers. Pp. 65-68. ACIAR Proc. 91: Fire and Sustainable Agricultural dan Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia (ISBN: 1-86320-275-7)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Pengutipan:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita. I W. (2010) </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Bila perladangan tebas bakar merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif dan merusak lingkungan hidup, mengapa belum juga dapat dihentikan meskipun berbagai upaya telah dilakukan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: </span><a href="http://drylandagriculture.blogspot.com/"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">http://drylandagriculture.blogspot.com</span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"> pada (isi tanggal, bulan, tahun saat diunduh).</span><br />
</div></span>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-58888162261968623102010-10-22T20:40:00.003+08:002011-01-05T19:52:34.212+08:00Mengapa dalam pertanian lahan kering dibudidayakan berbagai jenis tanaman dan bukan dari kultivar yang unggul?<div class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">I W. Mudita</span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Pertanian lahan kering mencakup berbagai sistem, mulai dari yang paling sederhana seperti perladangan tebas bakar, pelepasan dan penggembalaan ternak, tegalan, pekarangan, sampai ke yang lebih maju seperti perkebunan rakyat. Perladangan tebas bakar dicirikan oleh penggunaan api untuk melakukan pembukaan lahan setelah terlebih dahulu hutan atau belukar ditebang dengan menggunakan peralatan sederhana. Pelepasan dan penggembalaan ternak sama-sama dilakukan di padang rumput, tetapi keduanya berbeda dalam hal kehadiran penggembala. Tegalan merupakan budidaya tanaman semusim secara menetap, sedangkan pekarangan merupakan budidaya berbagai jenis tanaman di sekitar rumah. Perkebunan rakyat merupakan kegiatan budidaya tanaman perkebunan berskala kecil, baik tanaman setahun maupun tahunan. Pada semua sistem pertanian lahan kering ini, jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan pada umumnya beragam. Atau, kalaupun seragam dalam satu bidang, selalu dibudidayakan bidang lain untuk jenis tanaman yang berbeda. Mengapa hal ini dilakukan?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><span class="fullpost"> <br />
<div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Seorang petani di Desa Ajaobaki, pedalaman Timor Barat, katakan saja namanya Bapak Agus, bertutur cukup menarik ketika kepadanya ditanyakan mengapa dia membudidayakan jeruk keprok bercampur dengan berbagai jenis tanaman lain, bukannya secara monokultur sebagaimana yang direkomendasikan pemerintah. Katanya, dahulu ketika masih muda, dia sering mengikuti orang-orang tua di kampungnya berburu di hutan. Ketika berada di hutan, dia selalu menyaksikan berbagai jenis tumbuhan tumbuh harmonis bersama-sama. Dia melanjutkan:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt;"><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">…di hutan, mata air tidak kering meskipun pada musim kemarau panjang. Ketika hujan, air permukaan mengalir jernih, tidak seperti di lahan pertanian yang berwarna cokelat karena menghanyutkan tanah. Di hutan setiap jenis tumbuhan saling berbagi dengan tumbuhan lain, di lahan pertanian kita memaksa satu jenis tanaman untuk menguasai semuanya. Tanaman pun menjadi manja sehingga bila suatu ketika kebutuhannya tidak terpenuhi, misalnya karena musim kering berkepanjangan, panen pun gagal. Saya tidak mau mengalami gagal panen, maka dari itu saya meniru alam …</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"> (wawancara lapangan).</span></div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Dan Bapak Agus masih terus bercerita panjang (Mudita, 2011). Tetapi untuk sementara, apa yang dikemukakan oleh Bapak Agus hanyalah satu di antara banyak alasan lainnya</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Petani lahan kering menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai alasan. Menurut </span><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://www.fao.org/docrep/u8050t/u8050t06.htm">Immink & Alarcón (n.d.)</a>, alasan tersebut di antaranya adalah risiko gagal panen, harga hasil pertanian yang cenderung sangat fluktuatif, institusi pemasaran hasil-hasil pertanian yang tidak efisien dan lemah, dan kesulitan memperoleh uang tunai untuk membeli sarana dan prasarana pertanian. Alasan pertama jelas menyiratkan bahwa penganekaragaman jenis tanaman dilakukan sebagai semacam cara untuk memperkecil gagal panen. Hal ini dimungkinkan karena dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman, meskipun hasil tiap jenis tanaman tidak tinggi, bila salah satu mengalami gagal panen maka masih ada jenis tanaman yang dapat dipanen. Alasan pertama ini terumata menjadi sangat penting bagi petani subsisten (<i>peasant</i>). Kalaupun ada petani subsisten yang membudidayakan tanaman bernilai ekonomis (cash crops) semacam Bapak Agus di Desa Ajaobaki, yang bersangkutan tetap akan berusaha membudidayakan tanaman pangan. Buka hanya karena tahu bahwa risiko gagal panen tinggi bila hanya menanam satu jenis tanaman, Bapak Agus juga tahu bahwa harga jeruk keprok di tingkat petani sangat berfluktuasi, pemasaran jeruk keprok dikuasai oleh pedagang ijon, dan uang untuk membeli pupuk dan sarana produksi lainnya tidak mudah diperoleh di desa.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Menyadari ini semua maka ketika pemerintah menggulirkan program intensifikasi jeruk keprok yang mengharuskan petani menanam jeruk keprok secara monokultur dan intensif maka Bapak Agus pun menolak untuk ikut. Akibatnya Bapak Agus tidak menerima pembagian bibit okulasi yang dibagikan secara cuma-cuma, tidak menerima bantuan sarana produksi, apalagi bantuan biaya produksi sebagaimana yang diterima petani lain di desanya. Tetapi ini semua tidak membuat Bapak Agus berpaling. Bagi Bapak Agus menanam jeruk keprok dari biji tetap lebih baik daripada menanam bibit okulasi yang menurutnya, “cepat menghasilkan tetapi juga cepat mati”. Bagi pemerintah, jeruk keprok hasil okulasi lebih unggul daripada jeruk keprok dari biji. Bukan hanya pemerintah yang menyatakan demikian, secara ilmiah pun memang demikian. Tanaman dari bibit okulasi dapat dijamin akan menghasilkan buah dengan kualitas standar, lebih cepat menghasilkan, dan menghasilkan lebih banyak dalam satuan luas lahan yang sama. Tetapi, bibit okulasi berisiko tinggi tertular penyakit sehingga, sebagaimana dikatakan Bapak Agus, cepat menghasilkan tetapi juga cepat mati.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Tanaman asal biji dan asal bibit okulasi memang bukan dari kultivar yang berbeda. Hanya saja, dalam hal ini tanaman asal bibit okulasi mempunyai keunggulan yang serupa dengan tanaman kultivar unggul (istilah kultivar yang berarti varietas budidaya digunakan di sini sesuai dengan ketentuan tatanama internasional, di Indonesia digunakan istilah varietas yang seharusnya hanya digunakan untuk satuan takson bukan dari hasil persilangan buatan). Contoh penggunaan kultivar unggul adalah program jagungisasi di Provinsi NTT yang mengharuskan petani menanam jagung kultivar komposit maupun hibrida unggul dengan tujuan menjadikan Provinsi NTT sebagai provinsi penghasil jagung terkemuka di Indonesia. Hasilnya, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian Mudita dkk. (2009), sejauh ini kultivar jagung unggul tersebut lebih banyak dikonsumsi fufuk, yaitu serangga hama dengan nama ilmiah <i>Sitophilus zeamais</i> dan <i>S. oryzae</i>, daripada mengenyangkan perut petani subsisten di pedalaman Timor Barat. Angan-angan menjadi provinsi penghasil jagung terkemuka tetap mengemuka dalam wacana, tetapi jauh di pelosok sana petani tetap menanam jagung lokal. Pemerintah memang selalu berwacana lantang soal usahatani berorientasi bisnis (<i>agribusiness</i>), tetapi petani di pelosok masih tetap harus berkutat menggapai ketahanan pangan (<i>food security</i>).</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Referensi:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Immink, M.D.C., & Alarcón, J.A. </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">(n.d.) Household food security and crop diversification among smallholder farmers in Guatemala: Can maize and bean save the day? In: </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">Food, Nutrition and Agriculture - 4 - Food Security. </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">Albert, J.L. (ed.). Rome: Food and Agriculture Organization.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita, I W., Surayasa, M.T., & Aspatria, U. (2009) Pengembangan Model Pengelolaan Ketahanan Hayati Penyimpanan Jagung Berbasis Masyarakat untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan di Wilayah Beriklim Kering. Laporan Final Program Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional. Kupang: Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita, I W. (2011). Bertani Selaras Alam untuk Menghindari CVPD. Citrus Biosecurity. Diakses dari: <a href="http://citrusbiosecurity.blogspot.com/">http://citrusbiosecurity.blogspot.com</a> pada 22 Oktober 2010.</span><span style="font-family: "Georgia","serif";"></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Pengutipan:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita. I W. (2010) </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Mengapa dalam pertanian lahan kering dibudidayakan berbagai jenis tanaman dan bukan dari kultivar yang unggul? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: <a href="http://drylandagriculture.blogspot.com/">http://drylandagriculture.blogspot.com</a> pada (isi tanggal, bulan, tahun saat diunduh).</span></div></span>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-62615111045203471482010-10-22T14:51:00.001+08:002011-01-05T21:32:17.905+08:00Apakah usahatani lahan kering sama dengan pertanian lahan kering dan apakah keduanya perlu dibedakan?<div class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">I W. Mudita</span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Pertanian lahan kering kini merupakan istilah yang sudah sangat umum digunakan, tetapi sebenarnya apakah pertanian lahan kering itu? Dengan merujuk kepada </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">Roy & Arora (1973), Nelson & Nelson (1973), Moore (1977), Billy (1981) dan Landon (1984), </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Prof. Fred Benu (dalam blog ini) telah mengupas usahatani lahan kering (<i>dryland farming</i>) dari sisi faktor kekurangtersediaan air dan faktor kekurangtersediaan prasarana pengairan:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt;"><i><span style="font-family: "Georgia","serif";">Sebenarnya istilah </span></i><span style="font-family: "Georgia","serif";">dryland farming<i> lebih merujuk pada tipologi daerah dengan ciri iklim tertentu. Jelasnya </i>dryland farming<i> mencakup usaha budidaya di daerah beriklim semi ringkai </i>(semi arid<i>) sampai daerah beriklim ringkat (</i>arid<i>). Sedangkan istilah “</i>unirrigated land<i>” lebih ditujukan pada usaha budidaya pertanaman pada daerah dengan suplai air terbatas karena tidak memiliki jaringan irigasi.</i></span><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"></span></i></div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Dari kutipan di atas tampak bahwa usahatani lahan kering diberikan pengertian yang sama dengan pertanian lahan kering. Apakah memang demikian?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Kedua istilah tersebut, usahatani lahan kering dan pertanian lahan kering, sama dalam hal sama-sama berkaitan dengan lahan kering. Mengutip </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD), </span><a href="http://archive.wri.org/"><span style="font-family: "Georgia","serif";">World Resources Institute</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";"> mendefinisikan lahan kering dalam kaitan dengan zona keringkaian (<i>aridity zone</i>). Zona keringkaian ditentukan berdasarkan nisbah (ratio) rerata presipitasi tahunan terhadap evapotranspirasi potensial tahunan. Presipitasi dapat berupa hujan, embun, atau salju. Evapotranspirasi potensial tahunan merupakan jumlah lengas yang, bila tersedia, akan hilang dari satu luasan lahan tertentu karena evaporasi dan transpirasi. Dengan menggunakan nisbah tersebut, dunia dipilah ke dalam enam zona keringkaian, yaitu ringkai berlebihan (<i>hyper-arid</i>), ringkai (<i>arid</i>), semi-ringkai (<i>semi-arid</i>), sub-lembab kering (<i>dry sub-humid</i>), lembab (<i>humid</i>), dan dingin (<i>cold</i>). Lahan kering, sebagaimana didefinisikan oleh World Resources Institute, mencakup lahan pada zona keringkaian yang berkisar dari zona ringkai sampai zona sub-lembab kering dengan kisaran nisbah 0,05–0,65 yang luasnya diperkirakan mencapai </span><a href="http://images.wri.org/drylands_table01b.jpg"><span style="font-family: "Georgia","serif";">53.558.000 km<sup>2</sup></span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";">. Wilayah dengan nisbah <0,05 termasuk zona ringkai berlebihan, dengan nisbah >0,65 termasuk zona lembab. </span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Image link: <a href="http://images.wri.org/drylands_map01.gif">http://images.wri.org/drylands_map01.gif</a></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";"><a href="http://images.wri.org/drylands_map01_key.gif">http://images.wri.org/drylands_map01_key.gif</a></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Lantas bagaimana dengan </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">aspek ketersediaan prasarana pengairan? Lahan kering merupakan konsep yang bersifat makro, dalam hal ini berskala dunia. Dalam konteks global tersebut, aspek prasarana pengairan bersifat sangat mikro. Oleh karena itu, pengertian lahan kering ditinjau dari ketersediaan prasarana pengairan menjadi kurang relevan. Demikian juga dengan pengertian </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">lahan kering sebagai lahan yang tidak tergenang air sepanjang tahun, juga menjadi kurang relevan karena dalam konteks budidaya pertanian genangan air dimungkinkan hanya dengan ketersediaan parasarana irigasi. Prasarana irigasi dibangun untuk dengan berbagai persyaratan sehingga memerlukan studi kelayakan. Dalam studi kelayakan tersebut termasuk studi kelayakan usahatani.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Lalu, apakah usahatani sama dengan pertanian sehingga usahatani lahan kering tidak perlu dibedakan dari pertanian lahan kering? Menurut Hargreaves (1957), usahatani lahan kering merupakan pertanian tanpa pengairan di wilayah yang presipitasinya kurang. Pada pihak lain, Oram (1980) secara eksplisit membedakan pertanian lahan kering dari usahatani lahan kering sebagaimana dimaksudkan oleh Hargreaves (1957) tersebut. Menurut Oram (1980), pertanian lahan kering merupakan kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan dalam kondisi tekanan kekeringan sedang sampai berat selama sebagian besar masa tanam, sehingga memerlukan teknik-teknik budidaya khusus, jenis tanaman tertentu, dan sistem usahatani tertentu untuk memungkinkan produksi dapat dilakukan secara berkelanjutan. Dalam pengertian pertanian lahan kering yang diberikan oleh Oram (1980) jelas tersirat bahwa pertanian lahan kering lebih daripada sekedar usahatani lahan kering. Dengan kata lain, usahatani lahan kering (<i>dryland farming</i>) dapat dilakukan di wilayah lahan kering (<i>dryland</i>) maupun di wilayah lembab (<i>humid</i>). Tidak demikian dengan pertanian lahan kering, yang semata-mata merupakan cara hidup dengan mengolah lahan di wilayah dalam zona ringkai (arid) sampai sub-lembab kering (<i>dry sub-humid</i>).</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Usahatani lahan kering sebagai sub-sistem dari pertanian lahan kering akan menjadi lebih mudah dipahami bila pengertian usahatani sendiri dipahami terlebih dahulu. Terdapat banyak definisi usahatani, di antaranya adalah produksi tanaman dan/atau ternak secara menguntungkan (<i>profitable production of crops and animals</i>). Yang menjadi kata kunci dalam pengertian usahatani adalah produksi secara menguntungkan, yang berarti bahwa usahatani dilakukan dengan memperhitungkan untung rugi. Dalam hal ini untung rugi tidak selalu harus berarti uang, melainkan mempunyai dimensi yang jauh lebih luas. Dari istilah usahatani yang dalam bahasa Inggris disebut <i>farming</i> muncul istilah petani yang dalam bahasa Inggris disebut <i>farmer</i>. Selain kata <i>farmer</i>, dalam bahasa Inggris juga dikenal istilah <i>peasant</i>, yang terjemahan bahasa Indonesianya masih belum dibakukan. Untuk memberikan pengertian yang tepat mengenai istilah peasant, </span><a href="http://sofyansjaf.staff.ipb.ac.id/2010/06/13/batasan-definisi-petani-peasent/"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Sofjan Sjaf</span></a><span style="font-family: "Georgia","serif";">, seorang sosiolog dari IPB, mengulas istilah tersebut dengan menggunakan pendekatan </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">ideologi, geografis, ekonomi, dan sosial kebudayaan.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Pertanian melibatkan bukan hanya <i>farmer</i> (petani) tetapi juga <i>peasant</i> (petani subsisten). Dengan demikian maka usahatani lahan kering menjadi mempunyai pengertian yang tidak sama dengan pertanian lahan kering. Melalui usahatani lahan kering petani membudidayakan tanaman dan memelihara ternak untuk memperoleh produksi yang menguntungkan. Dalam pertanian lahan kering juga terdapat usahatani lahan kering, tetapi tidak berhenti sampai di situ. Di dalam pertanian lahan kering terdapat petani subsisten (<i>peasant</i>) yang melakukan budidaya tanaman dan ternak tanpa mempertimbangkan untung rugi. Kalau saja mempertimbangkan untung rugi, petani (<i>peasant</i>) di Pulau Timor tidak akan mungkin akan membakar begitu saja pohon kayu merah (<i>Pterocarpus indicus</i>) sekedar untuk membuka lahan untuk menanam jagung. Harga satu kubik kayu merah lebih dari Rp 2 juta, sedangkan produksi jagung dari lahan 1 hektar, bila dijual, nilainya tidak akan lebih dari harga 1 kubik kayu merah. Maka dari itu, Made Tusan Surayasa, seorang dosen Fakultas Pertanian Undana, mengomentari, “bagi petani lahan kering Timor, jagung adalah segalanya”.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Pembedaan pengertian pertanian lahan kering dari usahatani lahan kering akan memudahkan memahami banyak persoalan yang berkaitan dengan kedua istilah tersebut. Banyak pertanyaan seputar lahan kering yang telah dijawab oleh Prof Fred L. Benu akan menjadi lebih mudah dipahami bila dijawab dengan menggunakan pembedaan tersebut. Pertanyaan sederhana seputar pertanian lahan kering, akan dicoba dijawab dalam perspektif perbedaan antara pertanian lahan kering dan usahatani lahan kering, perbedaan antara petani subsisten (<i>peasant</i>) dan petani (<i>farmer</i>), perbedaan dalam dimensi politik, geografis, ekonomi, dan sosial budaya. Dengan memahami perbedaan ini juga diharapkan tidak lagi ada yang <a href="http://www.nttprov.go.id/ntt_09/index.php?hal=tampilberita&id=UMU3864">mengacaukan pengertian</a> kekeringan dalam konteks lahan (<i>dryland</i>) dan kekeringan dalam konteks bencana (<i>drought</i>) sebagaimana diuraikan melalui tulisan oleh Mudita (dalam blog ini).</span><span style="font-family: "Georgia","serif";"></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Referensi:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">World Resources Institute (2010). Definition of drylands. Diakses dari: <a href="http://archive.wri.org/newsroom/wrifeatures_text.cfm?ContentID=722">http://archive.wri.org/newsroom/wrifeatures_text.cfm?ContentID=722</a> pada 22 Oktober 2010.</span></div><h1 style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="color: black; font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; font-weight: normal;">Sjaf, S. (2010)</span><span style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; font-weight: normal;"> <a href="http://sofyansjaf.staff.ipb.ac.id/2010/06/13/batasan-definisi-petani-peasent/" title="Permanent Link: Batasan Definisi Petani (Peasent)">Batasan Definisi Petani (Peasent)</a>. <a href="http://sofyansjaf.staff.ipb.ac.id/">Sofyan Sjaf Online</a></span><span style="color: black; font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; font-weight: normal;">: Ilmu untuk Memuliakan Orang Kecil. Diakses dari: <a href="http://sofyansjaf.staff.ipb.%20ac.id/2010/06/13/batasan-definisi-petani-peasent/">http://sofyansjaf.staff.ipb. ac.id/2010/06/13/batasan-definisi-petani-peasent/</a> pada 22 Oktober 2010.</span></h1><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Pengutipan:</span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif";">Mudita, I W. (2010). </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">Apakah usahatani lahan kering sama dengan pertanian lahan kering dan mengapa keduanya perlu dibedakan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: <a href="http://drylandagriculture.blogspot.com/">http://drylandagriculture.blogspot.com</a> pada (tulis tanggal, bulan, tahun).</span><span style="font-family: "Georgia","serif";"></span></div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-83090001297970774542010-10-22T10:01:00.001+08:002010-10-25T16:44:29.134+08:00Mengapa sebagian besar petani lahan kering enggan menggunakan pupuk walaupun disadari bahwa penggunaan input pupuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian?<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"><br />
</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Input pupuk identik dengan cara budidaya sektor pertanian modern. Pada saat yang sama sebagian besar petani lahan kering masih bercorak usahatani tradisional atau minimal baru mencapai semi modern. Walaupun anggapan tentang praktek budidaya modern harus berhadapan dengan realitas perilaku tradisional oleh kebanyakan petani lahan kering, namun paradigma prakter budidaya lahan kering saat ini telah sedikit mengalami pergeseran. Sejumlah petani lahan kering telah juga menggunakan input pupuk untuk meningkatkan produktivitas tanaman mereka. Namun dibanding dengan totalitas petani lahan kering, persentase ini masih sangat kecil. Kebanyakan para petani masih enggan menggunakan pupuk untuk meningkatkan produktivitas, karena disamping dihadapkan pada sejumlah masalah klasik seperti harga yang tidak terjangkau, kelangkaan suplai, para petani lahan kering juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa produktivitas tanaman yang ingin didorong melalui penggunaan pupuk harus pula berurusan dengan sejumlah input modern lainnya seperti pestisida, insecticida, suplai air yang memadai, dan sebagainya. Tidak mungkin dapat didorong produktivitas tanaman hanya dengan mengandalkan penggunaan input pupuk dengan mengabaikan input modern lainnya. Semua nya itu berkonsekwensi pada tingginya biaya operasional usahatani. Pada saat yang sama hampir sebagian besar petani lahan kering menghadap kendala akses terhadap sumber-sumber permodalan. Padahal jika petani lahan kering kita melakukan usahatani secara tradisional, mereka tidak perlu untuk berurusan dengan semua kenyataan di atas yang berkonsekwensi pada tingginya biaya usahatani. Mereka cukup melakukan penanaman bibit/benih lokal tradisional, selanjutnya perkembangan dan produksinya benar-benar diserahkan pada kemurahan alam. Kemurahan kesuburan, kemurahan curah hujan, kemurahan daya tahan terhadap serangan hama penyakit. Tidak ada konsekwensi biaya dalam usahatani, cukup konsekwensi gagal tanam dan/atau gagal panen yang harus dihadapi para petani lahan kering kita. Dan nampaknya kebanyakan petani lahan kering lebih memilih konsekwensi ke dua seiring dengan terbatasnya akses permodalan, rendahnya pengetahuan teknik budidaya dengan input modern, tidak adanya asuransi usahatani,dan sebagainya. Pilihan konsekwensi kedua tidak akan memaksakan petani lahan kering untuk berhutang pada siapa pun selain berhutang pada alam.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Inilah kenyataan yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian lahan kering. Kenyataan dimaksud selalu mengambil bentuk sebagai hambatan pembangunan pertanian lahan kering. Dan diperlukan peran aktif semua pihak yang berkepantingan dengan pembangunan pertanian, khususnya pemerintah dan petani sendiri guna mendongkrak produksi pertanian lahan kering dan peningkatan tingkat kesejahteraan umum di sektor pertanian lahan kering.</span></div><br />
<br />
Pengutipan:<br />
<span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Benu, F.L. (2011) Mengapa sebagian besar petani lahan kering enggan menggunakan pupuk walaupun disadari bahwa penggunaan input pupuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian? Dielaktika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun).</span><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></b>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-58453079961866918632010-10-22T09:55:00.001+08:002010-10-25T16:45:08.210+08:00Mengapa petani lahan kering tetap mengusahakan sejumlah komoditi lokal tradisional tanaman pangan (jagung dan ubi kayu) walaupun disadari bahwa ada sejumlah komoditi pangan lainya yang lebih prospektif memberikan keuntungan?<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"><br />
</span></b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Perlu dipahami bahwa pilihan bididaya tanaman pada lahan kering tidak semata pertimbangan aspek ekonomi semata. Aspek sosial budaya juga sangat dominan mendeterminasi ragaan usaha pertanian lahan kering, bahkan dalam banyak contoh aspek sosial budidaya ini lebih dominan mendeterminasi corak usaha pertanian lahan kering dibanding aspek ekonomi. Sebut saja orang Timor yang tetap saja mempertahankan komoditi jagung dan ubikayu pada lahan usaha mereka walaupun disadari bahwa komoditi ini khususnya varietas lokal tidak memiliki prospek ekonomi yang cukup baik. Orang Timor tetap mengusahakan komoditi jagung varietas lokal karena komoditi ini adalah komoditi pangan pokok bagi hampir semua petani lahan kering di Timor. Mereka tidak berpikir tentang bagaiman produksi jangung ini akan dijual, tapi mereka berpikir bagaimana produksi jagung dapat dipakai untuk konmsi keluarga mereka selama satu musim tanam. Jadi keamaan pangan (food security) yang menjadi kepentingan utama. Memang orang lain dapat saja mengatakan bahwa produksi jangung dapat dijual untu kemudian income yang diperoleh dari hasil penjualan dapat dipakai untuk membeli pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Tapi petani lahan kering kita tidak berpikir demikian. Mereka tidak mau mengambil risiko dua kali, yaitu risiko keberhasilan produksi dan risiko prospek harga. Cukup mereka menghadapi risiko keberhasian produksi saja dan itu semata diserahkan pada kemurahan alam. Dimensi berpikir mereka bersifat linear, yaitu deminsi “tangan ke mulut” atau mungkin sedikit lebih berorientasi pasar, maka dimensi yang digagas adalah “tangan – mulut – pasar”. Makasud nya mereka benar-benar mengutamakan food security dan kelebihan produksi baru dijual untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya. Mereka belum mampu untuk dipaksa berpikir dalam dimensi “tangan – pasar – mulut”. Pada saat pasar sekarang menuntut orang untuk ber-perspektif “produksi karena bisa dijual” dan tidak lagi “jual karena bisa diproduksi”, para petani lahan kering kita masih berperspektif “produksi karena bisa dimakan”. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Demikian pula cerita orang Papua yang selalu menanam ubi jalar pada lahan usaha mereka atau minimal membiarkan tanaman sagu tetap mendominasi lahan usaha yang ada. Tujuan nya tidak lain adalah orientasi keamanan pangan dimaksud. Mereka tidak mungkin mengganti tanaman ubi dan sagu yang ada di lahan usaha mereka dengan komoditi modern yang lebih memiliki prospek keuntungan, karena disamping kurangnya akses terhadap sumber permodalan maupun akses pasar, kedua komoditi dimaksud sudah menjadi bagian dari budaya mereka. Kedua komoditi dimaksud akan selalu mendominasi pesta budaya yang dilakukan oleh masyarakat papua sehingga tidak mungkin disubsitusi dengan komoditi modern lainnya. Nilai ekonomi yang ditawarkan oleh komoditi modern tidak dapat dibandingkan dengan nilai sosial budaya yang melekat pada kedua komoditi lokal tradisional dimaksud.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Itulah tantangan terbesar yang dihadapi dalam pembangunan lahan kering. Tantangan untuk menggiring perilaku petani lahan kering yang masih bercorak subsisten ke arah yang lebih modern. Mengubah perilaku petani lahan kering yang demikian tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan, tidak seperti biasanya kita berpikir secara linear. Dibutuhkan waktu yang sangat panjang karena bersangkut paut dengan proses kesadaran berpikir, dimulai dari tahapan sosialisasi, membangun pengetahuan, memahami, melakukan percobaan dan yang terakhir mengadopsi.</span></div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-47150756531851144712010-10-22T09:54:00.000+08:002010-10-25T16:46:06.794+08:00Mengapa ditemukan adanya fenomena petani lahan kering cenderung menghindar dari jenis usahatani lahan basah, walaupun terdapat sejumlah potensi pertanian lahan basah?<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"><br />
</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Usahatani adalah suatu pilihan hidup (way of life) bukan rasionalitas ekonomi semata. Jika hanya soal rasionalitas ekonomi, maka usahatani akan dihadapkan pada pilihan sumberdaya dengan berbagai manfaat ekonomi yang mungkin akan diperoleh. Tapi jika usahatani adalah suatu pilihan hidup, maka rasionalitas ekonomi hanya merupakan salah satu aspek yang menjadi dasar pertimbangan seorang petani lahan kering memilih jenis usahataninya diantara berbagai aspek yang menentukan hidup matinya seseorang. Petani harus pula mempertimbangan aspek sosial budaya, aspek teknis budidaya, aspek religius, aspek keamanan (food sequrity),dsb. Walaupun ada prioritas pertimbangan, namun semua aspek yang disebutkan di atas secara bersama-sama mendeterminasi seorang petani memilihi suatu jenis usahatani tertentu. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Cerita tentang bagaimana petani di beberapa lokasi di NTT (dataran Mbai di Flores dan Dataran Bena di Timor) yang walaupun memiliki sejumlah potensi lahan basah dengan suplai air yang cukup sepanjang tahun, tetapi karena alasan kultur masyarakat setempat yang tabu dengan air tergenang sehingga enggan memanfaatkan potensi lahan basah dimaksud adalah suatu contoh cerita menarik. Para petani lahan kering ini malah semaakin terdesak ke daerah kering marginal di pegunungan seiring dengan semakin dieksploitasi nya sumberdaya lahan dimaksud oleh kaum pendatang yang bisa memanfaatkan potensi sumberdaya dimaksud.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Demikian pula masyarakat di Merauke-Papua yang memiliki sumberdaya lahan dan air yang sangat besar potensinya untuk usahatani lahan basah, tapi tidak dimanfaatkan karena masyarakatnya tidak berbudaya usahatani lahan basah. Masyarakat memilih untuk hanya mengumpulkan makanan yng melimpah dari hutan dibanding harus bersusah payah mengerjakan lahan usaha yang ada. Kalaupun sebagian masyarakatnya sudah melakukan kegiatan budidaya tanaman, maka itupun dilakukan secara terbatas di sejumlah spot lahan kering untuk budidaya ubi njalar secara tradisional. Yang jelas masyarakat asli Merauke pasti akan semakin tidak memiliki akses untuk usahatani lahan basah ijka rencana pemerintah sejak awal 2010 untuk pengembangan kawasan pangan dalam skala luas atau food estate di Kabupaten Merauke tidak dirancang untuk melibatkan masyarakat didalamnya. Program food estate ini diperkirakan memerlukan investasi sekitar Rp50 triliun hingga Rp60 triliun dengan luas potensil sekitar 200.000 hektare dan tambahan produksi padi (beras) mencapai satu juta ton.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-1368506846622701712010-10-22T09:51:00.001+08:002010-10-25T16:47:00.013+08:00Mengapa kehadiran pasar di tingkat desa malah mendorong expansi produk perkotaan dan perilaku konsumtif masyarakat desa?<div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";"><br />
</span></b></div><div class="MsoListParagraph" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Teori ekonomi menyebutkan Pasar sebagai suatu institusi ekonomi dimana penjual dan pembeli bertemu untuk melakukan transaksi atau tukar-menukar barang dan jasa. Dalam kemajuan dunia komunikasi saat ini ditandai dengan adanya revolusi di bidang telekomunikasi, maka pasar tidak lagi harus mengambil bentuk fisik dimana dapat ditemukan bangunan fisik, kemudian kontak sisik (face to face) antara penjual dan pembeli. Konsep pasar sudah dapat dikembangkan dalam suatu dunia maya, dimana penjual dan pembeli tidak saling mengenal secara sosial, tidak pernah berjumpa secara fisik, tapi transaksi tetap berjalan pembeli menerima barang dan penjual menerima balas jasa.</span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">M</span><span style="font-family: "Georgia","serif";">ari kita mengikuti cerita menarik berikut tentang aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang petani maju (salah seorang kolega saya di Australia). Petani ini menempatkan dirinya sebagai salah satu dari pelaku </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">pasar modern</span><span style="font-family: "Georgia","serif";"> di mana batas ruang dan waktu semakin tidak jelas. Beliau seorang petani semangka (rock mellon) di Western Australia. Sebelum ia mengusahakan semangka, terlebih dahulu ia mengakses internet untuk mencari tahu proyeksi harga semangka yang paling tinggi. Kapan dan dimana (Negara bagian apa) akan terjadi? Selanjutnya ia mencari informasi dari akses internet yang sama tentang varietas semangka apa yang harus ia tanam dengan umur pemanenan relatif sama dengan saat harga semangka mencapai puncaknya. Setelah ia memastikan semua masalah teknis budidaya (juga dari internet) ia memesan benih semangka dari penangkar benih melalui internet sekaligus melakukan pembayaran dengan hanya mengisi ID kartu ATM nya di komputer yang sama. Pada saat itu pula ia pun menawarkan semangka yang akan diproduksikannya lengkap dengan jumlah, kualitas, ukuran, bahkan warna produk kepada calon pembeli di pasar yang telah diidentifikasinya semula. Semuanya itu dilakukan dalam hitungan waktu kurang dari </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">30</span><span style="font-family: "Georgia","serif";"> menit.</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Cerita di atas ternyata tidak berlaku pada sektor pertanian lahan kering hampir di seluruh Indonesia. Petani lahan kering hanya mengenai pasar sebagaimana bentuk fisik nya. Bahkan pasar dalam konsep masyarakat pertanian lahan kering, tidak saja merupakan suatu institusi ekonomi tapi juga institusi sosial. Pada sejumlah pasar para petani lahan kering hadir tidak saja untuk melakukan fungsi ekonomi pertukaran, tapi banyak juga fungsi sosial berlangsung. Dan fungsi sosial ini dalam banyak kasus sangat mendominasi dinamika institusi pasar dan sulit untuk diukur nilai ekonominya. Kita dapat mengidentifikasi bagaimana para petani lahan kering tradisional kita hadir di pasar mingguan tingkat desa atau kecamatan dengan hanya membawa sedikit hasil kebun mereka untuk dijual, tapi meluangkan waktu sampai selesainya waktu buka pasar, sambil ngobrol, merokok dan minum bersama dengan sejumlah pihak yang jarang dijumpai karena tinggalnya yang berjauhan maupun karena kesibukan masing-masing. Bahkan tidak jarang sejumlah permasalahan rumit ditingkat masyarakat lahan kering yang tidak dapat ditemukan jalan keluarnya ternyata dapat diselesaikan di pasar. Tidak dapat disangkal juga pasar malah dijadikan tempat untuk menemukan jodoh bagi para muda-mudi tani.</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Sadar atau tidak fungsi sosial dimaksud turut menekan dinamika fungsi ekonomi yang menjadi tujuan awal kehadiran sebuah pasar secara fisik di tingkat desa. Bersamaan dengan kehadiran pasar di tingkat desa ada pula sejumlah produk perkotaan yang masuk ke desa. Dan daya expansi produk perkotaan ini nampaknya lebih besar dari pada expansi produk perdesaan, karena <b>pertama</b>, produsen perkotaan hadir dengan satu orientasi ekonomi yaitu pertukaran barang dan jasa. Relatif tidak ada fungsi sosial yang diemban oleh produsen perkotaan, sehingga proses pertukaran produk perkotaan akan lebih efektif dan efisien. <b>Kedua</b>, Kehadiran pasar yang mendorong keterbukaan, tidak disertai dengan kesiapan masyarakat tani lahan kering untuk menghadapi persaingan yang semakin tinggi. Hal ini juga yang menyebabkan produk perdesaan harus kalah bersaing dengan produk perkotaan. Sebut saja jagung, padi, pisang, ubi kayu, dll yang harus kalah bersaing dengan sabun mandi, shampo, lipstick, hair cream, bedak, bahkan sampai hand phone dan barang elektronik lainnya. <b> Ketiga</b>, dorongan sikap konsumtif masyarakat perdesaan sebagai konsekwensi globalisasi. Masyarakat tani lahan kering perdesaan, sebagaimana juga masyarakat .....cenderung rentan terhadap invasi modernisasi produk masyarakat post modernisasi. Sikap ini pula pada akhirnya mendeterminasi pola hidup konsumtif dengan mengorbankan orientasi saving dan investasi untuk tujuan produktif expansi usaha.</span></div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-80397633610685191432010-10-22T09:49:00.001+08:002010-10-25T16:47:33.331+08:00Mengapa akhir akhir ini para petani lahan kering sering didera ancaman kekurangan pangan padahal sebelumnya fenomena ini jarang terjadi?<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"><br />
</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Pemberitaan tentang krisis pangan global mendominasi berita di sejumlah media masa nasional maupun international di akhir 2010 ini. Suatu isu yang kembali menghangat setelah pernah mencuat ke publik global sekitar dua tahun yang lalu. Kali ini pemicu ancaman kekurangan pangan tidak lagi karena kebijakan subsitusi komoditi pangan untuk tujuan biofuel, tapi karena keadaan iklim khususnya curah hujan global yang tidak menentu. Kedua faktor pemicu sebenarnya memiliki sumber masalah yang sama yaitu masalah pemanasan global (global warming).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Kita boleh membaca bahwa satu sumber masalah (global warming) mendeterminasi dua faktor pemicu untuk menghasilkan satu dampak besar ancaman suplai pangan global. Dan kenyataan ini boleh dipahami bahwa masalah pemanasalan global dapat saja mendeterminasi sejumlah faktor pemicu yang kemudian akan berdampak terhadap kelangsungan hidup umat manusia di jagad ini. Isu kelangkaan pangan hanya salah satu isu yang sedang menghantui umat manusia, tapi akan ada sejumlah isu lainnya yang akan muncul untuk mengganggu dominasi manusia terhadap makluk hidup lain di planet ini. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Ancaman kelangkaan suplai pangan sebenarnya bukan ancaman baru bagi manusia. Terhitung sejak Mathus mengeluarkan teorinya tentang pertambahan deret hitung (produksi pangan) dan deret ukur (pertumbuhan penduduk) pada tahun 1798, umat manusia sudah diperingati agar perlu mengantisipasi ketidak seimbangan antara suplai dan deman akan pangan. Cuma bedanya teori Malthus menelurkan faktor penentu kelangkaan suplai pangan adalah manusia, sehingga manusia memerlukan kearifan untuk mengelolanya. Dan terbukti bahwa manusia mampu untuk mengelola ancaman dimaksud dengan melakukan sejumlah rekayasa yang melipatgandakan produksi pangan dunia. Teori Malthus kemudian untuk sementara dianggap gugur. Pemerintah disejumlah negara, khususnya negara-negara maju mampu mematahkan teori Malthus melalui kebijakan produksi pangan yang tepat (termasuk Indonesia dengan program Intensifikasi dan Ekstensifikasi pertanian di akhir dekade 1970an). Keberhasilan pelipatgandaan produksi pangan pada tiga dekade terakhir tidak lepas dari adanya komitmen yang kuat dari pemerintah berbagai negara untuk meningkatkan produksi pangan disamping adanya daya tarik pasar komoditi pangan. Pangan adalah suatu komoditi primer sehingga suplai nya relatif akan selalu direspon oleh pasar (global). masalahnya akan muncul saat komoditi primer ini dipakai untuk tujuan sekunder bahkan tersier seperti yang terjadi dua tahun lalu dan memicu ancaman kelangkaan suplai pangan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Mari kita periksa ancaman kelangkaan suplai pangan saat ini. Sekali lagi pemicu kelangkaan pangan saat ini adalah masalah anomali iklim yang mendeterminasi kegagalan produksi pangan di sejumlah negara produsen pangan utama. Sebut saja Rusia mengalami kekeringan hebat sehingga mempengaruhi kemampuan produksi pangannya. Sampai-sampai pemerintah Rusi terpaksa menutup keran ekspornya guna mengantisipasi pemenuhan permintaan pangan dalam negerinya. Sebaliknya China malah mengalami bencana banjir yang mengagalkan produksi pangan tahun ini. Dengan jumlah penduduk yang demikian besarnya, terpaksa China harus menambah volume impor pangannya, juga untuk mengantisipasi permintaan dalam negerinya. Kebijakan yang di luar kelaziman kedua negara ini saja mampu mengganggu keseimbangan suplai dan demand pangan global. Jadinya semua negara, termasuk negara-negara kecil melakukan ancang-ancang kebijakan keamanan pangan yang sama. Suplai pangan global terganggu dan dampak nya inflasi dan ancaman krisis pangan global.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Pergeseran Dimensi Krisis</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Ada hal menarik dari isu krisis pangan kali ini. Faktor pemicunya bukan saja akibat tekanan penduduk dan juga buka saja karena masalah pemanasan global. Tapi malah terjadi kombinasi tekanan antara kedua faktor dimaksud dan memberikan tenanan baru dengan format yang lebih kompleks. Cara menggantisipasinya juga tidak bisa lagi berupa kebijakan berdimensi tunggal seperti kebijakan pelipatgandaan produksi pangan yang terjadi dalam tiga dasawarsa terakhir. Sudah diperlukan adanya pendekatan kebijakan yang lebih kompleks dengan mempertimbangan faktor tekanan penduduk dan anomali iklim akibat pemansan global. Ini baru kombinasi dua faktor dengan tekanan yang lebih berat. Dapat diibayangkan bagaimana rumitnya pemerintah berbagai negara di dunia harus melakukan format ulang kebijakan keamanan pangannya jika yang menjadi determinan faktornya adalah kombinasi dari tiga atau lebih faktor. Sebut saja bagaimana kalau ditambah dengan faktor krisis energi, faktor kelangkaan erable land, faktor munculnya sejumlah besar konsumen klas menengah dengan konsumsi tinggi, faktor peperangan (terorisme), dsb.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"> Saya percaya sejumlah negara di dunia sudah melakukan ancang-ancang antisipasi krisis pangan jilid berikut nya. Sejumlah negara Eropa dan Amerika sudah mengantisipasi nya dengan kebijakan biofuelnya, ditambah dengan upaya menimbun stok pangan dalam negerinya bahkan untuk beberapa tahun ke depan. China sudah lama menerapkan kebijakan satu anak dan sejauh ini tergolong berhasil. Disamping itu China saat ini juga dikenal sebagai salah satu negara lumbung pangan dunia. Israel telah lama menerapkan praktek pertanian dengan sistem pemanfaatan air yang sangat efisien bahkan pemanfaatan potensi air laut dan berhasil melakukan ekspor pangan. Lantas bagaimana dengan Indonesia?.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Ancangan Kebijakan</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Alih-alih mengantisipasi ancaman krisis pangan berdimensi kompleks dengan kebijakan yang tepat. Keberhasilan menekan pertambahan penduduk melalui program KB saat ini hanya meninggalkan cerita indah bagi gerenasi baru. Ikut-ikutan mengagas pemanfaatan energi alternatif sejauh ini belum ada cerita keberhasilan yang menarik untuk didengar. Yang terakhir, saat menghadapi ancaman krisis pangan global kali ini pemerintah Indonesia menanggapi nya dengan menyatakan bahwa Indonesia berada dalam keadaan aman dilihat dari cadangan pangan nasional. Walaupun keadaan aman dimaksud hanya mampu bertahan untuk paling lama 6 bulan ke depan dengan cadangan pangan sekitar 1.4 juta ton. Pertanyaannya adalah apa sampai di situ saja ancangan kebijakan pangan kita untuk mengantisipasi persoalan yang berdimensi jangka panjang? Atau kalau dibalik, maka pertanyaannya adalah bagaimana strategi keamanan pangan kita dalam menghadapi perubahan-perubahan di tingkat global, di saat banyak negara lainnya sudah jauh hari memiliki ancangan kebijakan keamanan pangan?. Kebijakan yang dikemukakan oleh pemerintah dalam menghadapi ancaman krisis pangan kali ini juga harus diakui tidak cukup strategis dalam jangka pendek.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Memang pemerintah sedang mengembangkan program extensifikasi tanaman pangan secara besar-besaran, khususnya di Merauke dan daerah potensil lainnya. Pengembangan kawasan pangan dalam skala luas atau food estate di Kabupaten Merauke, Papua diperkirakan memerlukan investasi sekitar Rp50 triliun hingga Rp60 triliun dengan luas potensil sekitar 200.000 hektare dan tambahan produksi padi (beras) mencapai satu juta ton Tapi sebagaimana dijelaskan di atas, ancangan kebijakan keamanan pangan tidak bisa hanya berdimensi tunggal, apa lagi itu ditangani secara sektoral. Kita memerlukan adanya suatu ancangan kebijakan yang lebih komprehensif guna mengatasi isu ancaman krisis pangan yang juga berdimensi jamak.</span></div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-29052452136684984322010-10-22T09:47:00.000+08:002010-10-25T16:48:38.164+08:00Mengapa pada masa ekonomi liberal saat ini muncul fenomena bahwa harga sejumlah produk pertanian “import” (bunga, kopi luwak) cendrung memiliki daya atraksi permintaan yang luar biasa sekalipun memiliki harga yang sangat tinggi dengan mutu relatif sama dengan komoditi lokal tradisional?<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"><br />
</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Ekonomi-politik liberal percaya pada kebebasan, bahwa manusia mampu menemukan apa yang baik, mampu berpikir bagi dirinya sendiri dan dalam proses mengejar kepentingan bagi dirinya sendiri akan membawa manfaat bagi orang lain. Kehidupan ekonomi Indonesia pada awalnya lebih banyak diatur oleh gelora sosialisme dan nasionalisme. Kemudian pada era 1980an terjadi perubahan kiblat ekonomi Indonesia. Kita semakin terintegrasi dengan perdagangan dunia yang asas-asasnya liberal. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Saya membaca kumpulan Esai nya Rizal Mallarangeng (Dari Langit, 2008). Dia mengatakan, negara-negara yang mulanya tertutup atau setengah tertutup, bahkan proteksional, saat ini cenderung membuka diri dan dengan mengintegrasikan diri ke dalam sistem perekonomian dunia saat ini, mereka mengalami kemajuan besar. Mulai dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan. Hongkong, Malaysia, Thiland, Singapura, adalah contoh konkrit bahwa dengan membuka diri mereka mengalami kemajuan yang sangat besar. Beliau mengatakan bahwa tanpa diperlukan teori yang canggih-canggih, akal sehat saja bisa menunjukkan bahwa kita menggunakan kebebasan (manusia) justru demi kesejahteraan manusia. Mallarangeng ber-proposisi bahwa Indonesia tidak banyak mengalami kemajuan ekonomi karena kita setengah hati menganut paham liberal. Mari kita debat apakah proposisi nya Rizal Mallarangeng benar.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Banyak ahli ekonomi yang berpendapat bahwa kesepakatan perdagangan bebas terlalu tergesa-gesa dilakukan pada saat negera berkembang belum siap untuk memulainya. Akibatnya yang terjadi justru arus balik ekspansi dagang negara maju yang tidak dapat dibendung. </span><span lang="FI" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Penurunan angka kemiskinan di negara berkembang pun semakin jauh dari kenyataan. Alih alih menurunkan angka kemiskinan, justru pemerintah negara berkembang semakin ”tertawan” oleh keterbatasan penganggaran yang disebabkan oleh penurunan pendapatan dari bea cukai yang sebenarnya sangat diperlukan untuk membiayai program-program penanggulangan kemiskinan. Timothy Wise, ekonom dari Tufts University-Genewa, memperkirakan bahwa pemerintah negara miskin akan kehilangan empat kali lipat pendapatan bea cukai mereka dibanding yang diperoleh dari peningkatan perdagangan atau dari potensi ekspor yang akan dihasilkan dari kesepakatan WTO. Demikian pula hasil kajian Sistem Riset dan Informasi Negara berkembang yang menyebutkan bahwa penghasilan negara miskin yang diperoleh dari kenaikan volume perdagangan dunia hanya akan mampu menutupi sekitar 25 % dari total kehilangan pendapatan dari bea masuk perdagangan sebesar 63 miliar dollar AS.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Saya berpendapat bahwa memang paham neo-liberal dengan ciri perdagangan bebas secara teori dapat mendekatkan kesejahteraan umum melalui upaya menciptakan kesejahteraan individu. Tapi teori ini baru bisa berlaku jika dipenuhinya sejumlah asumsi dasar seperti perfect competition, perfect information, dsb. Dalam banyak kasus asumsi dasar ini tidak terpenuhi, sehingga yang terjadi malah distorsi yang mendeterminasi ketimpangan dan kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan adanya campur tangan yang berimbang dari otoritas dalam hal ini pemerintah. Persoalannya campur tangan pemerintah yang tidak berimbang dan salah alamat malah memberikan hasil yang lebih buruk dari pada membiarkan pasar bekerja”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Jadi kita sebenarnya tidak perlu anti ideologi liberal yang menekankan pada prinsip perdagangan bebas. Tapi kita perlu bangun pemahaman bahwa dalam perdagangan bebas tidak bisa kita terapkan prinsip pertarungan bebas. Kita memerlukan otoritas yang mengatur agar pertarungan dagang berlangsung secara berimbang dan adil, walaupun keadilan dimaksud tidak harus diterjemahkan sama dan sebangun. Bahkan kita memerlukan adanya tindakan keberpihakan (affirmative) dari pemerintah terhadap pelaku ekonomi rakyat yang kecil dan marginal agar dapat bertarung secara berimbang dalam perdagangan bebas. Naibitt and Naisbitt (2010) dalam tulisan mereka tentang China,s Megatrends, mengatakan bahwa keberhasilan China dalam reformasi perekonomiannya yang mencengangkan buka terletak pada perubahan ideologi sosialis ke kapitalis. China tidak pernah mengubah ideologi politik sosialis nya. Jawaban keberhasilan reformasi ekonomi China bukan terletak pada ideologi tapi pada kinerja.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="FI" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Di awal dekade 90an terjadi lonjakan pertumbuhan ekonomi yang tidak terkira sebelumnya, dan banyak pihak menduga saat itu dunia memasuki era pertumbuhan ekonomi baru yang dicoraki oleh perekonomian yang semakin meng-global. Namun pada akhir dekade 90an ternyata pertumbuhan ekonomi yang begitu signifikan mengalami peluruhan (bust) karena resesi yang tidak terduga sebelumnya. Semuanya karena pertumbuhan ekonomi global semula sebenarnya hanya semacam ”gelembung ”</span><span lang="FI" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"> </span><span lang="FI" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">(bubble) sehingga terjadi semacam kamuflase pada tingkat global. Bubble economy karena kapitalisme terlalu mendominasi dinamika ekonomi global sehingga berkembang menjadi tidak terkontrol. Kaum kapitalis yang semula sangat mengandalkan orientasi rasionalitas individu untuk memperoleh profit membangun suatu ”<b>optimisme irasional</b>” dengan menaikan harga saham sejumlah perusahan yang tidak merefleksikan kinerja aktualnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Sejak teori ekonomi klasik dipelopori oleh Adam Smith, para penganut paham </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">neo-liberal</span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"> menaruh harapan akan peningkatan kesejahteraan umum dengan membiarkan induvidu melakukan rasionalisasi perolehan profit tanpa perlu adanya campur tangan untuk membatasinya</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"> (liberal)</span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">. Tentunya paham ini didahului oleh adanya asumsi tentang “perfect information” dan berkerjanya “invisible hand”. </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Saya berpendapat bahwa </span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">kaum </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">neo-liberal dan </span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">fundamentalis pasar sebenarnya keliru karena tidak terpenuhinya asumsi dasar </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">dimaksud. </span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Pengejaran kepentingan diri sendiri telah dipromosikan menjadi ikon kesejahteraan universal bukan saja pada tingkat individu pada teori pasar, tetapi juga menjadi ikon sosial</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">. Fundamentali pasar adalah ancaman terbesar bagi masyarakat global dibanding komunisme. </span><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">“Komunisme dan bahkan sosialisme sudah bangkrut tetapi fundamentalisme pasar sedang naik daun”</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"> (Soros, 2000)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Saya membayangkan adanya kesulitan bagi kaum awam, saat menguraikan tentang fenomena harga sebagai dampak neo-liberalisme. Oleh karena itu saya ingin menjelaskan tentang “buble economy” karena didorong oleh sikap <b>optimisme irasional</b> dengan memberikan ilustrasi tentang fenomena bunga “Gelombang Cinta”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Hampir setiap kita, khususnya para ibu tentunya mengetahui tentang bunga gelombang cinta. Masih ingatkah kita betapa tingginya harga sebuah bunga gelombang cinta saat pertama kali memasuki pasar bunga dan dikenal luas oleh publik. Harganya begitu melangit bahkan ada yang menjadi ratusan juta rupiah untuk ukuran sedang. Dan kita semua tidak mempunyai dasar rasionalisasi yang baik, mengapa harga bungan itu mbgitu melangit saat itu. Yang jelas karena permintaannya yang begitu tinggi disamping suplainya sangat terbatas menyebabkan hampir semua Ibu ingin memilikinya. Tapi saya menduga harga yang sangat tinggi saat itu juga tidak lepas dari faktor pembentukan opini yang menempatkan bunga dimaksud menjadi suatu barang mewah (luxury good). </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Sekarang harga bunga gelombang cinta dimaksud dengan ukuran, bentuk dan warna yang sama turun begitu drastis dari ratusan juta rupiah menjadi hanya belasan ribu rupiah. Kita lalu bertanya tanya apa lebihnya bunga dimaksud sehingga harganya beberapa waktu lalu begitu melangit? Apa lebihnya benda itu dibanding saat ini? Padahal barangnya tetap sama, manfaatnya juga sama, keindahannya juga tidak berubah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Cerita di atas memberikan ilustrasi tentang apa yang disebut sebagai “gelembung ekonomi (buble economy). Harga bunga yang tinggi saat itu hanya seperti gelembung harga saja. Tidak menggambarkan nilai sebenarnya dari benda dimaksud. Begitu gelembung harga itu pecah, baru orang menyadari bahwa bunga itu sebenarnya bunga biasa seperti bunga hias lainnya. Harganya tidak perlu tinggi. Tapi orang sudah terlanjur membelinya. Bila perlu saat itu kita meminjam uang (hutang) hanya untuk memilikinya. Sudah terlanjur rugi, tapi mau bilang apa hutang harus tetap dibayar. Kita baru sadari bahwa saat itu kita sangat tidak rasional dengan membangun optimisme bahwa ini barang mewah yang perlu dimiliki. Optimisme seperti ini yang saya sebut dengan optimisme irasional. Oleh karena itu kita percaya bahwa kalau harga suatu barang hanya diserahkan pada mekanisme pasar, maka kita semua bisa tertipu. Itu yang disebut sebagai bias pasar. Jadi kita memerlukan orang lain yang mengontrol mekanisme pasar bunga gelombang cinta agar harganya rasional. Dan dalam hal mengontrol pasar maka yang memiliki otoritas dalam hal ini adalah pemerintah</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Nah sekarang coba kalau pemahaman ini kita bawakan pada pasar barang dan jasa dunia yang menganut paham neo-liberal dengan prinsip perdagangan bebas. Tidak ada capur tangan pemerintah ataupun kalau ada harus seminim mungkin. Bagaimana kalau terjadi bias pasar seperti cerita di atas. Berapa banyak orang yang akan mengalami kerugian? Berapa banyak Bank yang ambruk karena para nasabah tidak mampu membayar bunga kredit? Selanjutnya berapa banyak orang di dunia yang akan terpuruk dalm kemiskinan? dsb. Dan fenomena yang sama itulah yang terjadi dengan krisis finansial tahun 2008 lalu dimulai di Amerika. Cuma barangnya bukan lagi bunga gelombang cinta tapi properti. Kehancuran sektor properti ini akhirnya menyebabkan ambruknya Bank-Bank besar di negara-negara maju sekaligus pengangguran dan kemiskinan tidak saja di Amerika tapi bahkan hampir di seluruh dunia. Inilah dampak buruk mekanisme ekonomi pasar bebas tanpa campur tangan otoritas pemerintah yang berimbang.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="FI" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Buah dari kemerosotan ekonomi pada era perdagangan bebas adalah kemiskinan yang melanda sejumlah negara periferi dari pusat kapitalismes yang dipelopori Amerika. George Soros (2006) mengatakan bahwa sistem kapitalisme saat ini terlalu banyak memberikan bobot pada motif profit dan persaingan, tapi gagal melindungi kepentingan umum. </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Inilah dampak buruk dari neo-liberalisme ekonomi yang menggiring pada radikalisme pasar tanpa dan tidak memberikan ruang sedikitpun bagi otoritas untuk melakukan intervensi. Sekali lagi kita masih memerlukan campur tangan pemerintah dalam mengatur mekanisme prdagangan bebas dalam sistem ekonomi-politik liberal. Tapi capur tangan pemerintah juga harus berimbang dan tidak boleh salah alamat agar hasilnya bisa lebih baik dari bekerjanya mekanisme pasar bebas. </span></div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-55676971754963588202010-10-22T09:44:00.000+08:002010-10-25T16:49:07.559+08:00Mengapa ternjadi fenomena “loncatan” tenaga kerja muda dari sektor pertanian berbasis lahan ke sektor informal perkotaan dalam 10 tahun terakhir?<div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";"><br />
</span></b></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Data publikasi BPS menunjukkan bahwa sektor primer pertanian mengalami pertumbuhan dengan laju yang konstant, bahkan berkecenderungan menurun dari tahun ke tahun. Hasil analisis produktivitas tenaga kerja yang diukur dari rasio PDRB sektor (harga konstant 1993) dengan jumlah tenaga kerja pada sektor yang bersangkutan menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian di bawah Rp. 1 juta, sedangkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertambangan hampir mencapai Rp.5 juta, dan sektor jasa-jasa kemasyarakatan hampir mencapai Rp. 8 juta. Jumlah daya tampung sektor pertanian juga cenderung semakin menurun dari tahun ke tahun.</span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Deskripsi data di atas secara keseluruhan menunjukkan bahwa kinerja sektor pertanian saat ini sudah semakin menurun. Dapat dikatakan bahwa jumlah rupiah yang digunakan sebagai input di sektor ini akan menghasilkan nilai tambah dengan margin kenaikan yang semakin lama semakin menurun. Sektor pertanian khususnya lahan (land based economy) telah mencapai fase pertumbuhan dengan kecepatan yang semakin menurun (decreasing rate of growth). Jelas bahwa sektor ini meragakan tingkat efisiensi penggunaan input khususnya input tenaga kerja yang rendah dibanding sektor-sektor lainnya. </span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Secara agregat dapat dikatakan bahwa tingkat kompetisi di sektor pertanian lahan ini sudah semakin tinggi, walaupun secara parsial masih ditemukan sebaran tenaga kerja yang tidak merata antar wilayah. Demikian tingginya tingkat kompetisi di sektor pertanian lahan ini menyebabkan sebagian tenaga kerja harus “terdepak” ke luar sektor ini yang ditandai dari semakin menurunnya besaran persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor ini dari waktu ke waktu. Secara struktur kita juga mengharapkan adanya penurunan jumlah tampungan tenaga kerja di sektor ini untuk kemudian diikuti oleh kenaikan proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor sekunder (industri). Penurunan proporsi tampung tenaga kerja oleh sektor pertanian diharapkan akan kembali memacu produktivitas per kaputa. Tapi sayangnya, pergerakan keluar sejumlah tenaga kerja dari sektor pertanian lahan ini bukan merupakan suatu hasil dari program perencanaan pengembangan tenaga kerja yang mantap dalam upaya mempersiapkan tenaga kerja yang siap memasuki sektor sekunder atau sektor tersier dengan skill yang memadai. Atau setidaknya dapat mempersiapkan tenaga kerja yang sebagian besar menumpuk di sektor pertanian lahan ini, untuk mampu memanfaatkan sumberdaya non-lahan lainnya seperti laut dan pesisir yang belum dikelola secara optimal, atau kegiatan off-farm yang belum banyak mendapat sentuhan kebijakan.</span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Jadi sebenarnya pergerakan keluar sejumlah tenaga kerja dari sektor pertanian lahan ke sektor sekunder dan/atau jasa khususnya di perkotaan hanya soal justifikasi persaingan pasar yang terjadi antar sektor, tanpa adanya campur tangan kebijakan pemerintah yang proporsional dan terarah. Akibatnya, keluarnya sejumlah tenaga kerja dari sektor pertanian lahan ini hanya meragakan suatu pergeseran situasi marginal dari sektor pertanian lahan ke sektor lainnya. Tapi kemiskinan tetap saja mengikuti mereka ke mana pun perginya. Karena pada prinsipnya mereka keluar dengan skill seadanya, sehingga tidak juga mampu untuk bersaing di sektor non-pertanian lahan, khususnya sektor industri yang membutuhkan kualifikasi skill yang tinggi.</span></div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-19872724980968033812010-10-22T09:42:00.001+08:002010-10-25T16:49:48.310+08:00Petani cukup memahami bahwa kebutuhan pangannya dapat dipenuhi dengan melakukan strategi pemasaran yang baik, tanpa harus menyimpan komoditi pangan nya untuk satu musim tanam. Tetapi mengapa hal tersebut tidak dilakukan?<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"><br />
</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Perlu disadari bahwa hampir sebagian besar petani lahan kering adalah petani subsisten. Pada semua tipe dan tingkatan perkembangan masyarakat, termasuk masyarakat tani yang subsisten, maka orientasi keamanan pangan menjadi prioritas dibanding orientasi ekonomi uang. Oleh karena itu petani lahan kering lebih memilih untuk menyimpan cadangan pangannya dengan cara paling aman menurut nya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarga nya selama satu tahun (satu musim tanam). Dihadapkan dengan kenyataan keterbatasan akses modal, keterbatasan akses asuransi, keterbatasan akses pasar, dsb., maka para petani jelas tidak berani mengambil risiko untuk menjuang cadangan pangannya sekalipun dengan opsi harga yang sangat tinggi. Terlalu mahal harga keamanan pangan selama satu tahun dibandingkan dengan jumlah uang yang ditawarkan. Jadi kalaupun para petani lahan kering harus menjual komoditi pangannya untuk tujuan memperoleh cash money bagi pemenuhan kebutuhan hidup lainnya, maka harus ada kompensasi keamanan pangan bagi dirinya beserta kleluarga.Para petani lahan kering lebih memilih untuk menjual komoditi lain selain komoditi pangan guna memperoleh cash money, dibanding harus menjual stok pangan nya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Demikianlah teori ekonomi modern memandang tentang kecilnya risiko yang diambil berbanding lurus dengan manfaat ekonomi yang akan diperoleh. Yang jelas petani tidak melakukan kalkulasi dengan dasar rasionalisasi ekonomi modern jika itu menyangkut hidup-mati diri dan keluarganya. Tapi perilaku savety first para petani lahan kering, tidak bisa diukur dengan dasar rasionalisasi ekonomi, karena hal ini terkait erat dengan nilai budaya yang menjadi orientasi para petani lahan kering. Secara kultur, tabu hukumnya bagi kebanyakan para petani lahan kering untuk menjual komoditi pangan pokokny. Apalagi risiko menjual komoditi pangan pokoknya harus dihadapkan dengan kerawanan pangan bagi diri dan keluarga selama satu musim. Biaya sosial nya terlalu mahal untuk ditanggung oleh seorang petani lahan kering. Kejadian seperti ini merupakan suatu situasi disorientasi kultural yang harus dicegah oleh kebanyakan masyarakat tani lahan kering.</span></div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-61150223531824337102010-10-22T09:39:00.000+08:002010-10-25T16:50:46.016+08:00Asumsi awal mengatakan bahwa kemiskinan pada daerah dengan tipe pertanian lahan kering disebabkan oleh keterisolasian wilayah. Tapi mengapa setelah dilakukan pembangunan infrastruktur untuk membuka isolasi wilayah termasuk jalan dan moda transportasi, ternyata tidak mampu mendongkrat kinerja pembangunan pertanian lahan kering?<div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal"><b><span style="font-family: "Georgia","serif";"><br />
</span></b><span style="font-family: "Georgia","serif";"></span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Transportasi merupakan salah satu mata rantai jaringan distribusi barang dan mobilitas penumpang yang berkembang sangat dinamis, serta berperan dalam mendukung, mendorong dan menunjang pembangunan (politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan). Pada saat yang sama bidang infrastruktur transportasi masih banyak bersifat non cost recovery yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.</span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Pengalaman pembangunan pertanian lahan kering yang didorong oleh ketersediaan infrastruktur untuk membuka isolasi wilayah dapat diikuti dari telahan pembangunan pertanian Bali, NTB dan NTT yang memiliki potensi lahan kering yang cukup luas. Saat masih menjadi satu kesatuan wilayah administratif Provinsi Sunda Kecil, ketiga wilayah memiliki infrastruktur jalan dan akses transportasi serta kondisi perekonomian wilayah yang relatif sama. Ketimpangan pembangunan ekonomi ketiga wilayah mulai muncul seiring dengan dibubarkannya Provinsi Sunda Kecil atas prakarsa NTT pada tanggal 11 September 1958 dengan UU no.64 Thn 1958 (Ben Mboi, Pers. Com, 2008). </span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Perekonomian Bali tumbuh melejit sendiri meninggalkan dua saudaranya. Data BPS (2007) menyebutkan bahwa pendapatan perkapita Bali saat ini mencapai Rp.11.18 juta/thn atau kurang lebih sama dengan rerata pendapatan perkapita nasional. Pada saat yang sama NTB memiliki pendapatan perkapita sekitar Rp.7.3 juta/thn sedangkan NTT terpuruk pada angka Rp. 3.8 Juta/thn. </span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Cerita tentang efek </span><span style="font-family: "Georgia","serif";">Triple-T Revolution</span><span style="font-family: "Georgia","serif";"> <span lang="IN">(Kontjoro jakti, 2004) yang mendeterminasi dinamika pembangunan suatu wilayah sangat jelas terjadi di Bali, khususnya transportasi dan travel yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengembangan sektor pariwisata sebagai andalan perekonomian daerah. Secara relatif kita boleh katakan bahwa dibanding dua wilayah lainnya, Bali sangat jauh meninggalkan NTB apalagi NTT dalam hal pengembangan sektor pariwisata sebagai andalan perekonomian daerah, bahkan mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya.</span></span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Walaupun pemicu pengembangan sektor pariwisata Bali sejatinya bukan disebabkan oleh telekomunikasi, transportasi dan travel (3-T), tetapi dalam perkembangan sektor pariwisata Bali yang dipicu oleh konstruksi budaya lokal, mendapat penguatan akselerasi (pemacu) dari kemajuan dan perkembangan 3-T yang sangat pesat, khususnya T-transportasi.</span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">mengapa saya berani katakan bahwa ketiga faktor-T dimaksud bukan sebagai pemicu perkembangan perekonomian Bali melalui sektor pariwisata daerahnya? Karena pada awalnya ketiga wilayah ini memiliki akses infrastruktur transportasi yang relatif tidak jauh berbeda saat ketiganya masih tergabung dalam satu Provinsi Sunda Kecil. Tapi setelah ketiganya dipisahkan ke dalam tiga wilayah administratif (1958), maka secara tidak sengaja Bali memilih pengembangan sektor pariwisata sebagai basis pengembangan perekonomian daerahnya dengan mengandalkan daya dorong kebudayaan daerah ditunjang oleh pesona alamnya. Dan ternyata pilihan Bali saat itu tidak salah, terbukti dari kemajuan ekonomi Bali yang melampaui kinerja pembangunan ekonomi kedua daerah lainnya bahkan melampaui daerah lainnya di Indonesia.</span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">NTB dan NTT bukannya sama sekali tidak melirik atau tidak memiliki ekspektasi tentang kekuatan daya dorong sektor pariwisata daerah. Tapi nampaknya pengembangan sektor pariwisata daerah tidak bersinergi secara konstruktif dengan pengembangan infrastruktur dasar khususnya transportasi di kedua wilayah ini. Atau minimal pengembangan infrastruktur transportasi, lambat mengalami integrasi yang kuat dengan pengembangan sektor pariwisata daerah seperti yang terjadi di NTB. Atau pengembangan infrastruktur dimaksud yang lebih diarahkan untuk diintegrasikan dengan pengembangan sektor non-pariwisata, khususnya sektor pertanian lahan kering seperti yang terjadi di NTT. </span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pilihan pengembangan infrastruktur transportasi yang diitegrasikan secara kuat dengan sektor pertanian daerah. Pilihan seperti itu memang sesuai dengan kenyataan basis ekonomi masing-masing daerah. Persoalannya adalah pembangunan infrastruktur dasar kurang bersinergi secara kuat dengan sektor pertanian itu sendiri, karena konstruksi sosial budaya masyarakat tani yang kurang akomodatif terhadap tuntutan perubahan.</span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Sebagai contoh, pada dekade 1970an sampai 1980an, keterisolasian wilayah menjadi faktor penyebab kemiskinan, khususnya di NTT. Oleh karena itu pada periode 1978 -1988, pemerintah melakukan investasi publik besar-besaran dengan pembangunan jalan dan pelabuhan sebagai upaya kuat membuka keterisolasian wilayah NTT yang terkenal cukup extrim baik dalam hal topografi maupun geologinya. </span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Sejumlah besar daerah terpencil di buka untuk akses masyarakat terhadap dinamika pembangunan ekonomi maupun sosial. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan anggaran pembangunan yang cukup besar bagi investasi publik di sektor infrastruktur transportasi, tapi pengamatan empirik menunjukkan bahwa hal tersebut tidak sebanding dengan nilai tambah ekonomi yang seharusnya dinikmati oleh masyarfakat perdesaan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan. Justru yang terjadi adalah eksploitasi sektor ekonomi perkotaan terhadap perekonomian desa melalui ekspansi pasar produk-produk perkotaan dan memicu perilaku konsumtif masyarakat perdesaan. </span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Seharusnya pembukaan isolasi wilayah melalui pembangunan infrstruktur transportasi dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh masyarakat tani perdesaan untuk akses pasar input sarana produksi dan terutama pemasaran produk pertanian lahan kering. Pada prinsipnya memang pembangunan infrastruktur transportasi telah memperlancar arus input sarana produksi dan pemasaran hasil pertanian, tetapi daya ekspansi dimaksud masih terlalu kecil dibanding ekspansi sektor perkotaan. Sehingga secara marginal sebenarnya desa dengan sektor ekonominya justru mengalami kooptasi oleh sektor ekonomi perkotaan. Fenomena ini disebabkan oleh karena masyarakat perdesaan khususnya di sektor pertanian lahan kering kurang siap menghadapi keterbukaan ekonomi wilayah melalui pembangunan infrastruktur jalan dan akses transportasi yang berkonsekwensi pada tingginya persaingan pasar. </span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Pembangunan infrastruktur jalan dan akses transportasi memang merupakan <b>syarat harus</b> (the first order condition) bagi dinamika ekonomi melalui pembangunan sektor pertanian suatu wilayah. Tapi pendekatan kebijakan ini saja tidaklah cukup. Masih diperlukan <b>syarat cukup</b> (the second order condition) berupa kebijakan penguatan sumberdaya manusia beserta potensi sumberdaya lahan kering yang dimiliki untuk siap menghadapi keterbukaan pasar dan persaingan yang tinggi. Konsistensi pendekatan seperti ini yang kurang dilakukan oleh pemerintah beserta seluruh pemangku kepentingan lainnya dalam mengkonstruksi suatu tatanan sosial-ekonomi masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan perubahan.</span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Berbeda halnya dengan Bali yang memilih sektor pariwisata daerah sebagai lokomotif pengembangan ekonominya. Tatanan sosial budaya masyarakat Bali dan potensi sumberdaya alamnya memang sangat akomodatif terhadap pengembangan sektor ini. Dengan kedua faktor pemicu ini, maka pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi di Bali tinggal berintegrasi secara konstruktif untuk memacu pengembangan sektor pariwisata daerah sebagai basis pengembangan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat nya.</span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">NTB memiliki cerita tersendiri. Semula NTB memilih pengembangan infrastruktur pertanian untuk pengembangan ekonomi wilayahnya. Namun sebagaimana ceritanya di NTT, sektor pertanian perdesaan, khususnya pertanian lahan kering juga tidak berkinerja cukup baik untuk mendongkrak perekonomian wilayahnya. Menyadari kenyataan ini NTB saat ini cenderung memacu pengembangan ekonomi wilayah melalui sektor pariwisatanya. Memang kelihatannya terlambat, tetapi minimal infrastruktur dan sarana transportasi NTB sudah dikembangkan untuk mendukung pengembangan sektor pariwisata daerah, khususnya NTB bagian Barat. Kebetulan wilayahnya yang berbatasan langsung dengan Bali dan sebagian tatanan sosial-budaya masyarakat NTB bagian Barat mendapat pengaruh kuat budaya Bali, menyebabkan daerah ini sangat dimungkinkan untuk mendapat imbas positif dinamika pengembangan sektor pariwisata Bali. Sebaliknya NTT sampai saat ini masih belum nampak strategi khusus pengembangan infrastruktur dasar yang dihubungkan secara kuat dengan sektor ekonomi basis yang telah mendapat penguatan di daerah.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-4251077653098748132010-10-22T09:35:00.001+08:002010-10-25T16:51:22.560+08:00Mengapa sektor pertanian lahan kering indentik dengan kemiskinan padahal terdapat sejumlah potensi yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan kesejahteraan?<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"><br />
</span></b></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Kita akan membahas faktor penyebab dari dua perspektif yaitu dari perspektif kedudukan petani lahan kering dalam peta persaingan global (faktor eksternal) dan dari perspektif konstruksi Sosial Budaya masyarakat tani lahan kering (faktor internal).</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"></span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">P</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">erspektif </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">K</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">edudukan </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">P</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">etani Lahan </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Ke</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">ring </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">dalam </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">P</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">eta </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">P</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">ersaingan Global</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="FI" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Dekade globalisasi ekonomi saat ini menempatkan sektor finansial khususnya capital memainkan suatu peranan kunci. Ada aliran modal yang sangat besar dari sejumlah besar negara-negara maju yang dipelopori oleh Amerika ke bebagai belahan dunia. Dan kaum kapitalis sepertinya menunjukkan suatu kemenangan besar . Bukan saja kapitalisme berhasil mengalahkan komunisme, tetapi juga kapitalisme versi Amerikan (yang didasari pada prinsip individu mencari rasionalisasi keuntungan) mengalahkan versi lain kapitalisme yang sebenarnya lebih lunak dan halus. Dunia memproklamirkan kemenangan kapitalisme, seiring dengan globalisasi menyebarkan kapitalisme gaya Amerika ke seluruh dunia (Joseph Stiglitz, 2003).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="FI" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Di awal dekade 90an terjadi lonjakan pertumbuhan ekonomi yang tidak terkira sebelumnya, dan banyak pihak menduga saat itu dunia memasuki era pertumbuhan ekonomi baru yang dicoraki oleh perekonomian yang semakin meng-global. Namun pada akhir dekade 90an ternyata pertumbuhan ekonomi yang begitu signifikan mengalami peluruhan (bust) karena resesi yang tidak terduga sebelumnya. </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Bahkan fenomena ini kembali terulang pada akhir 2008 dengan Amerika sebagai pemicu sekaligus sebagai korban yang paling menderita dan dampaknya masih terus dirasakan sampai sat ini. </span><span lang="FI" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Semuanya karena pertumbuhan ekonomi global semula sebenarnya hanya semacam ”gelembung ”(bubble) sehingga terjadi semacam kamuflase pada tingkat global. Bubble economy karena kapitalisme terlalu mendominasi dinamika ekonomi global sehingga berkembang menjadi tidak terkontrol. Kaum kapitalis yang semula sangat mengandalkan orientasi rasionalitas individu untuk memperoleh profit membangun suatu ”optimisme irasional” dengan menaikan harga saham sejumlah perusahan </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">(property) </span><span lang="FI" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">yang tidak merefleksikan kinerja aktualnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Saya mengutip pendapat J. Stiglitz (2003) yang mempertegas pernyataan di atas:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt;"><i><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">”...Dari kapitalisme Amerika yang digdaya di seluruh dunia menjadi kapitalisme Amerika yang melambangkan segala kebejatan ekonomi pasar. </span></i><i><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Dari globalisasi yang membawa manfaat tak terkira menjadi resesi pertama di era baru globalisasi. Dari ekonomi baru yang menjanjikan menjadi ekonomi baru yang malah membuahkan kerugian jauh lebih besar”</span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Salah satu ciri dari kegagalan pembangunan ekonomi sejumlah negara pada era globa</span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">lisasi ekonomi adalah kemiskinan</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">. Dan kemiskinan yang paling menonjol adalah kemiskinan yang diragakan oleh sejumlah negara yang paling sedikit mendapat manfaat dari dinamika perputaran kapital. Sebaliknya sejumlah negara maju sebut saja Amerika dan negara-negara eropa justru menerima manfaat besar dari tinggi nya perputaran kapital global. Bahkan demikian dinamisnya pergerakan kapital global ini menyebabkan beberaapa negara yang semula sangat mengidolakan manfaat kapital malah dilanda oleh “roda” kapitalisme. Amerika dan beberapa negara eropa justru mengalami goncangan ekonomi dengan dampak yang sangat besar akibat dilindas oleh roda kapitaklisme. Beberapa negara maju ini bahkan dihantui oleh ancaman pengangguran dan kemiskinan yang diaalami oleh warga negaranya akibat ambruknya sejumlah perusahan berskala besar. Warga negara disejumlah negara berkembang, termaasuk para petani lahan kering yang paling sedikit menerima manfaat pergerakan kapital, juga mengalami masalah pelik k</span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">emiskiinan</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">, </span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">karena kapitalisme “me</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">mbuat tembok pembatas</span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">“ </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">bagi mereka </span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">untuk mengeksploitasi sumberdaya </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">alam yang dimiliki</span><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">.</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">George Soros (2006) mengatakan bahwa</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">: </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">“</span></i><i><span lang="IT" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">sistem kapitalisme saat ini terlalu banyak memberikan bobot pada motif profit dan persaingan, tapi gagal melindungi kepentingan umum. Hasilnya berupa sistem perputaran raksasa yang menghisap modal ke lembaga-lembaga keuangan dan pasar di pusat kemudian memompanya ke luar, ke pinggiran</span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">”.</span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Paham kapitalisme juga mendeterminasi model penjajahan gaya baru, khususnya penjajahan hak cipta atau royalti yang harus ditanggung oleh masyarakat di negara-negara berkembang. Termasuk didalamnya penjajahan atas nama royalti yang harus dipikul oleh para petani lahan kering di Indonesia. </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"> </span><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Laksamana Sukardi (208) memberikan cerita </span><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">tentang</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt;"><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">”.....</span></i><i><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">bagaimana anak</span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">-</span></i><i><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">anak Indonesia yang senang memakan coklat Switzerland dipaksa harus membayar sejumlah Rupiah kepada </span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Switzerland karena </span></i><i><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Royalti</span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">”</span></i><i><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">.</span></i><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Padahal </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Zwitzerland sama sekali tidak mem</span><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">iliki perkebunan kakao dan mereka memperoleh coklat yang berasal dari </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">para petani lahan kering di </span><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Sulawesi Tenggara</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"> dan mungkin NTT. Para petani lahan kering yang memiliki akses terbatas terhadap pasar harus menerima kenyataan menerima harga rendah yang ditentukan oleh mekanisme pasar global. Sebaliknya para pengusaha industri coklat di negara maju justru menikmati keuntungan besar dari bisnis coklat nya hanya karena mereka dilindungi oleh aopa yang disebut dengan “royalti”.</span><span lang="SV" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"> </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh para petani lahan kering kita dalam mengikuti dinamika pasar global. Sekali lagi kemiskinan menjadi ancaman yang menhantui kehidupan para petani kita baik yang disebabkan oleh keadaan sumberdaya alam, keterbelakangan, keterbatasan akses, maupun mekanisme pasar global.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">P</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">erspektif </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">K</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">onstruksi Sosial Budaya </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">M</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">asyarakat </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">T</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">ani </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">L</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">ahan </span></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">K</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">ering</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Ada persoalan mendasar menyangkut budaya yang ‘mengurung’ para petani lahan kering. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi bagi para petani lahan kering baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar petani lahan kering masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Selalu ada saja jarak antara kesadaran berpikir dengan relaitas perilaku nusaha para petani lahan kering.</span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri para petani kita. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku petani yang berhubungan dengan cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu program pemberdayaan ekonomi petani lahan kering, harus pula diintegrasikan dengan pendekatanan rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering). Strategi ini diperlukan untuk merubah inner life pelaku ekonomi rakyat sekaligus untuk mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan perubahan. </span></div><div class="MsoBodyText" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Aspek konstruksi sosial budaya sangat kental mewarnai ragaan dunia usaha pertanian lahan kering. Konstruksi sosial-budaya masyarakat selalu menempatkan sektor pertanian lahan kering khususnya on-farm sebagai sektor yang inferior dibanding sektor-sektor lainnya? Masyarakat kita masih mengidentikan sektor pertanian lahan kering dengan kemiskinan. Mereka yang bekerja di sektor ini adalah orang-orang miskin. Para petani kita juga sadar, bahwa kenyataannya mereka miskin. </span></div><div align="left" class="ThesisNormal" style="line-height: normal; margin-top: 0cm; text-align: left; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Diperlukan adanya terobosan rekayasa sosial-budaya dalam menghadapi konstruksi sosial-budaya masyarakat yang tidak cukup kondusif dalam mendorong pengembangan sektor pertanian lahan kering. Program pemberdayaan kondisi ekonomi di sektor on-farm dalam rangka “menggiring” para generasi muda produktif untuk mengambil peran sebagai aktor utama, tidak bisa hanya melalui pendekatan ekonomi semata. Tapi perlu dimulai dari pendekatan rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk mengubah etos kerja masyarakat tani kita. Jika tidak, maka program-program pemberdayaan ekonomi di sektor pertanian on-farm hanya bersifat hit and run. Begitu program pemberdayaan selesai, maka para petani lahan kering kita juga kembali terpuruk dalam kemiskinan.</span><br />
<span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"></span><br />
<span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"></span><br />
<span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"></span><br />
<span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"><a name='more'></a></span></div>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1224853836164759355.post-18078335858542270892010-10-22T09:01:00.001+08:002010-10-26T16:44:18.209+08:00Mengapa harus disebut pertanian lahan kering, padahal aktivitas budidaya selalu bersentuhan dengan ketersediaan air?<div class="MsoListParagraph" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Fred L. Benu</span></b></div><div class="MsoListParagraph" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"><br />
</span></i></b><i><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;"></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Kenyataan bahwa aktivitas budidaya selalu bersentuhan dengan ketersediaan air adalah suatu kebenaran mutlak. Istilah “kering” di sini tidak dimaksudkan sebagai tidak dibutuhkannya air untuk jenis usaha pertanian lahan kering. Istilah “kering” lebih merujuk pada ketersediaaan sumber air secara terbatas baik karena kondisi cuaca, karena jenis dan struktur tanah, maupun karena ketidak mampuan manusia untuk menampung dalam jumlah yang cukup untuk jangka waktu yang panjang. Walaupun demikian ketersediaan sumberdaya air yang terbatas dimaksud masih dapat dimanfaatkan untuk tujuan produksi pertanian, dengan mengusahakan tanaman yang tidak membutuhkan supali air dalam jumlah yang banyak. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Banyak ahli menyamakan padanan kata pertanian lahan kering dengan istilah “dryland farming atau “un</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">-</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">irrigated land” dalam bahasa Inggris. Sebenarnya istilah dryland farming lebih merujuk pada tipologi daerah dengan ciri iklim tertentu. Jelasnya dryland farming mencakup usaha budidaya di daerah beriklim semi ringkai (semi arid) sampai daerah beriklim ringkat (arid). Sedangkan istilah “unirrigated land” lebih ditujukan pada usaha budidaya pertanaman pada daerah dengan supali air terbatas karena tidak memiliki jaringan irigasi (Roy anf Arora, 1973; Nelson and Nelson, 1973; Moore, 1977;Billy, 1981 and Landon, 1984).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Jadi sebenarnya kedua istilah bahasa inggris yang dipakai untuk dirujuk oleh istilah pertanian lahan kering menekankan pada suplai air yang terbatas, tapi istilah yang pertama menekankan pada keterbatasan air karena kondisi iklim sedangkan istilah kedua menekankan pada keterbatasan air karena ketiadaan infrastruktur irigasi. Tapi persoalan pokoknya sama yaitu kekurangan air yang dapat dipakai untuk usaha budidaya tanaman. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Isu yang perlu digagas dalam tipe pertanian lahan kering adalah soal keterbatasan suplai air, oleh karena itu diperlukan teknik budidaya yang mampu memanfaatkan keterbatasan suplai air dimaksud untuk tujuan produksi, baik dengan jalan memilih teknik pola tanam, jenis pertanaman dan/atau teknik pengelolaan air secara efektif dan efisien.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Sebagian lagi ahli menekankan istilahlahan kering sebagai lahan yang tidak tergenang air sepanjang tahun, jadi pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan pada lahan yang tidak tergenang air sepanjang periode pertanaman.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt;">Menjadi jelas bagi kita sekarang apa beda antara lahan kering yang dimaksudkan dalam buku ini, dengan makna kata “dry land” atau “unirrigated land”. Dalam konteks mikro dapat saja pertanian yang diusahakan pada daerah dengan tipologi semi arid sampai arid dikategorikan sebagai usaha budidaya lahan basah, karena lahan nya digenangi air. Sebaliknya usaha budidaya pertanian pada lahan yang beririgasi (irrigated land) dapat saja dikategorikan sebagai usaha budidaya lahan kering karena lahan usaha nya tidak tergenang. Tapi dalam konteks makro, semua usaha budidaya pertanaman pada daerah dengan tipologi semi arid sampai arid dikategorikan sebagai usaha pertanian lahan kering. Itu makanya lahan kering di Indonesia dibedaakan atas dua kategori, yaitu: (i) lahan kering beriklim kering yang banyak terdapat di kawasan Timur Indonesia, dan (ii) lahan kering beriklim basah yang banyak terdapat dikawasan barat Indonesia. Karena ciri pertanian lahan kering melekat pada jenis vegetasi yang tahan terhadap suplai air yang terbatas, maka wilayah pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia diklasidikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya (Bamualim, 2004)</span></div><div style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Dalam kaitan dengan ketersediaan dan suplai air yang terbatas dalam pertanian lahan kering, maka berikut ini adalah beberapa teknik dan praktek yang direkomendasikan untuk mencapai tujuan meningkatkan dan sekaligus menjaga stabilitas produksi tanaman pada pertanian lahan kering (Anonimous, 2010)</span></div><ol><li><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"></span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Perencanaan Tanaman: pilihan varietas tanaman untuk lahan kering adalah varietas dengan durasi budidaya yang pendek dengan daya toleransi kekeringan yang cukup dan berpotensi hasil yang tinggi dan dapat dipanen dalam suatu periode musim hujan serta mampu memanfaatkan sisa kelembaban tanah untuk kegiatan pertanaman pasca periode hujan (post-monsoon cropping).</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"></span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Perencanaan Cuaca: variasi dalam hasil dan output dari pertanian lahan kering disebabkan oleh pengamatan kondisi cuaca khususnya rurah hujan. Suatu aberrant cuaca dapat dikategorikan dalam tiga tipe yaitu:</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"> (a) d</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">atangnya musim hujan yang tertunda</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">, (b) g</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">ap panjang atau jedah curah hujan</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">, </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">dan</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";"> (c) b</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">erakhirnya musim hujan yang lebih awal dari waktu curah hujan normal</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif";">. </span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Petani harus membuat beberapa perubahan dalam jadwal pertanaman normal guna mengantisipasi gagal produksi.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"><span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Subsitusi tanaman: varitas tanaman tradisional yang tidak efisien dalam memanfaatkan kelembaban tanah, kurang responsif terhadap input produksi dan memiliki potensi produksi yang rendah sebaiknya disubsitusi dengan varietas tanaman yang lebih efisien.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"><span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Sistem pertanaman (cropping System):menaikan intensitas tanaman melalui praktek intercropping dan multiple cropping merupakan cara efisien pemanfaatan sumberdaya.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"></span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Cropping Systems: menambah intensitas pertanaman melalui praktek intercropping dan multiple cropping yang mendorong efisiensi penggunaan sumberdaya. Intensitas pertanaman akan dipengaruhi oleh lamanya periode pertanaman yang tergantung pada pola curah hujan dan kapastitas tanah mempertahankan kelembaban nya.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">6)<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Penggunaan pupuk: ketersediaan unsur hara yang terbatas pada lahan kering disebabkan oleh keterbatasan kelembaban tanah. Oleh karena itu, aplikasi pemupukan sebaiknya pada forrows di bawah benih. Penggunaan pupuk tidak saja membantu menyediakan unsur hara bagi tanaman tapi juga membantu dalam efisiensi penggunaan kelembaban tanah. Kombinasi pemupukan organik dan anorganik yang tepat akan membantu tanah mempertahankan kapasitas kelembaban.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"><span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Managemen Air Hujan: efisiensi pengelolaan air hujan dapat meningkatkan produksi tanaman lahan kering. Aplikai kompos dan pupuk kandang serta leguminosa akan meningkatkan unsur organik tanah dan dapat meningkatkan kapasitas penyimpanan air. Air hujan yang tidak dapat ditahan oleh tanah , akan mengalir keluar dalam bentuk erosi permukaan (suface runoff). Air yang berlimpah hasil runoff sebenarnya dapat dipanen dengan menampung nya dalam dugout ponds dan dapat dimanfaatkan bagi pertanaman pada saat terjadi kekurangan air.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"></span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Water shed management: water shed managemen adalah suatu pendekatan untuk optimalisasi penggunaan lahan, air dan vegetasi pada daerah kering. Jadi pendekatan ini mampu memberikan solusi kekeringan, moderate floods, mencegah erosi tanah, meningkatkan ketersediaan air dan increase fuel, fodde dan produksi pertanian secara berkesinambungan.</span></li>
<li><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"><span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";">Alternatif lahan usaha: hampir seluruh lahan kering sebenarnya tidak cocok untuk produksi tanaman pangan. Lahan kering lebih cocok untuk digunakan bagi pengelolaan padang rumput, tanaman keras, hortikultura lahan kering, sistem agro-forestry yang mencakup alley cropping. Seluruh sistem dimaksud yang memberikan alternatif produksi pertanian disebut sistem penggunaan lahan alternatif. Sistem dimaksud dapat membantu menyediakan alternatif pekerjaan di luar musim tanam (musim hujan), dan juga meminimalsisasi risiko, mencegah degradasi lahan serta memperbaiki keseimbangan ekosistem. Sistem pemanfaatan lahan secara alternatif berupa alley cropping, sistem agri-horticultural, dan sistem silvi-pastoral memungkinkan penggunaan sumberdaya secara lebih baik untuk mendorong stabilitas produksi dibanding sistem budidaya tanaman pangan lahan kering.</span></li>
</ol><br />
Pengutipan:<br />
<span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Benu, F.L. (2011) </span><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Mengapa harus disebut pertanian lahan kering, padahal aktivitas budidaya selalu bersentuhan dengan ketersediaan air</span></b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">?</span><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Dielaktika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun).</span><b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
</span></b><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif";"><br />
</span>Dialektika Lahan Keringhttp://www.blogger.com/profile/12819707445310143142noreply@blogger.com0