http://www.webdirectory.com/Science/Agriculture/ Dialektika Pertanian Lahan Kering: Mengapa dalam pertanian lahan kering dibudidayakan berbagai jenis tanaman dan bukan dari kultivar yang unggul?

Mengapa dalam pertanian lahan kering dibudidayakan berbagai jenis tanaman dan bukan dari kultivar yang unggul?

Bookmark and Share

I W. Mudita

Pertanian lahan kering mencakup berbagai sistem, mulai dari yang paling sederhana seperti perladangan tebas bakar, pelepasan dan penggembalaan ternak, tegalan, pekarangan, sampai ke yang lebih maju seperti perkebunan rakyat. Perladangan tebas bakar dicirikan oleh penggunaan api untuk melakukan pembukaan lahan setelah terlebih dahulu hutan atau belukar ditebang dengan menggunakan peralatan sederhana. Pelepasan dan penggembalaan ternak sama-sama dilakukan di padang rumput, tetapi keduanya berbeda dalam hal kehadiran penggembala. Tegalan merupakan budidaya tanaman semusim secara menetap, sedangkan pekarangan merupakan budidaya berbagai jenis tanaman di sekitar rumah. Perkebunan rakyat merupakan kegiatan budidaya tanaman perkebunan berskala kecil, baik tanaman setahun maupun tahunan. Pada semua sistem pertanian lahan kering ini, jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan pada umumnya beragam. Atau, kalaupun seragam dalam satu bidang, selalu dibudidayakan bidang lain untuk jenis tanaman yang berbeda. Mengapa hal ini dilakukan?


Seorang petani di Desa Ajaobaki, pedalaman Timor Barat, katakan saja namanya Bapak Agus, bertutur cukup menarik ketika kepadanya ditanyakan mengapa dia membudidayakan jeruk keprok bercampur dengan berbagai jenis tanaman lain, bukannya secara monokultur sebagaimana yang direkomendasikan pemerintah. Katanya, dahulu ketika masih muda, dia sering mengikuti orang-orang tua di kampungnya berburu di hutan. Ketika berada di hutan, dia selalu menyaksikan berbagai jenis tumbuhan tumbuh harmonis bersama-sama. Dia melanjutkan:
…di hutan, mata air tidak kering meskipun pada musim kemarau panjang. Ketika hujan, air permukaan mengalir jernih, tidak seperti di lahan pertanian yang berwarna cokelat karena menghanyutkan tanah. Di hutan setiap jenis tumbuhan saling berbagi dengan tumbuhan lain, di lahan pertanian kita memaksa satu jenis tanaman untuk menguasai semuanya. Tanaman pun menjadi manja sehingga bila suatu ketika kebutuhannya tidak terpenuhi, misalnya karena musim kering berkepanjangan, panen pun gagal. Saya tidak mau mengalami gagal panen, maka dari itu saya meniru alam … (wawancara lapangan).
Dan Bapak Agus masih terus bercerita panjang (Mudita, 2011). Tetapi untuk sementara, apa yang dikemukakan oleh Bapak Agus hanyalah satu di antara banyak alasan lainnya

Petani lahan kering menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai alasan. Menurut Immink & Alarcón (n.d.), alasan tersebut di antaranya adalah risiko gagal panen, harga hasil pertanian yang cenderung sangat fluktuatif, institusi pemasaran hasil-hasil pertanian yang tidak efisien dan lemah, dan kesulitan memperoleh uang tunai untuk membeli sarana dan prasarana pertanian. Alasan pertama jelas menyiratkan bahwa penganekaragaman jenis tanaman dilakukan sebagai semacam cara untuk memperkecil gagal panen. Hal ini dimungkinkan karena dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman, meskipun hasil tiap jenis tanaman tidak tinggi, bila salah satu mengalami gagal panen maka masih ada jenis tanaman yang dapat dipanen. Alasan pertama ini terumata menjadi sangat penting bagi petani subsisten (peasant). Kalaupun ada petani subsisten yang membudidayakan tanaman bernilai ekonomis (cash crops) semacam Bapak Agus di Desa Ajaobaki, yang bersangkutan tetap akan berusaha membudidayakan tanaman pangan. Buka hanya karena tahu bahwa risiko gagal panen tinggi bila hanya menanam satu jenis tanaman, Bapak Agus juga tahu bahwa harga jeruk keprok di tingkat petani sangat berfluktuasi, pemasaran jeruk keprok dikuasai oleh pedagang ijon, dan uang untuk membeli pupuk dan sarana produksi lainnya tidak mudah diperoleh di desa.

Menyadari ini semua maka ketika pemerintah menggulirkan program intensifikasi jeruk keprok yang mengharuskan petani menanam jeruk keprok secara monokultur dan intensif maka Bapak Agus pun menolak untuk ikut. Akibatnya Bapak Agus tidak menerima pembagian bibit okulasi yang dibagikan secara cuma-cuma, tidak menerima bantuan sarana produksi, apalagi bantuan biaya produksi sebagaimana yang diterima petani lain di desanya. Tetapi ini semua tidak membuat Bapak Agus berpaling. Bagi Bapak Agus menanam jeruk keprok dari biji tetap lebih baik daripada menanam bibit okulasi yang menurutnya, “cepat menghasilkan tetapi juga cepat mati”. Bagi pemerintah, jeruk keprok hasil okulasi lebih unggul daripada jeruk keprok dari biji. Bukan hanya pemerintah yang menyatakan demikian, secara ilmiah pun memang demikian. Tanaman dari bibit okulasi dapat dijamin akan menghasilkan buah dengan kualitas standar, lebih cepat menghasilkan, dan menghasilkan lebih banyak dalam satuan luas lahan yang sama. Tetapi, bibit okulasi berisiko tinggi tertular penyakit sehingga, sebagaimana dikatakan Bapak Agus, cepat menghasilkan tetapi juga cepat mati.

Tanaman asal biji dan asal bibit okulasi memang bukan dari kultivar yang berbeda. Hanya saja, dalam hal ini tanaman asal bibit okulasi mempunyai keunggulan yang serupa dengan tanaman kultivar unggul (istilah kultivar yang berarti varietas budidaya digunakan di sini sesuai dengan ketentuan tatanama internasional, di Indonesia digunakan istilah varietas yang seharusnya hanya digunakan untuk satuan takson bukan dari hasil persilangan buatan). Contoh penggunaan kultivar unggul adalah program jagungisasi di Provinsi NTT yang mengharuskan petani menanam jagung kultivar komposit maupun hibrida unggul dengan tujuan menjadikan Provinsi NTT sebagai provinsi penghasil jagung terkemuka di Indonesia. Hasilnya, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian Mudita dkk. (2009), sejauh ini kultivar jagung unggul tersebut lebih banyak dikonsumsi fufuk, yaitu serangga hama dengan nama ilmiah Sitophilus zeamais dan S. oryzae, daripada mengenyangkan perut petani subsisten di pedalaman Timor Barat. Angan-angan menjadi provinsi penghasil jagung terkemuka tetap mengemuka dalam wacana, tetapi jauh di pelosok sana petani tetap menanam jagung lokal. Pemerintah memang selalu berwacana lantang soal usahatani berorientasi bisnis (agribusiness), tetapi petani di pelosok masih tetap harus berkutat menggapai ketahanan pangan (food security).

Referensi:
Immink, M.D.C., & Alarcón, J.A. (n.d.) Household food security and crop diversification among smallholder farmers in Guatemala: Can maize and bean save the day?  In: Food, Nutrition and Agriculture - 4 - Food Security. Albert, J.L. (ed.). Rome: Food and Agriculture Organization.
Mudita, I W., Surayasa, M.T., & Aspatria, U. (2009) Pengembangan Model Pengelolaan Ketahanan Hayati Penyimpanan Jagung Berbasis Masyarakat untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan di Wilayah Beriklim Kering. Laporan Final Program Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional. Kupang: Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana.
Mudita, I W. (2011). Bertani Selaras Alam untuk Menghindari CVPD. Citrus Biosecurity. Diakses dari: http://citrusbiosecurity.blogspot.com pada 22 Oktober 2010.

Pengutipan:
Mudita. I W. (2010) Mengapa dalam pertanian lahan kering dibudidayakan berbagai jenis tanaman dan bukan dari kultivar yang unggul? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun saat diunduh).

Tidak ada komentar:

Cari Informasi