http://www.webdirectory.com/Science/Agriculture/ Dialektika Pertanian Lahan Kering: 10/24/10

Apakah perladangan tebas bakar memang merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif atau justeru memberikan banyak manfaat lain yang tidak dapat diberikan oleh pola-pola lain yang lebih intensif?

Bookmark and Share

I W. Mudita

Seorang mahasiswa sebuah fakultas pertanian dengan sangat bersemangat berargumentasi dalam proposal penelitian skripsinya, bahwa produksi jagung di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan pemupukan lengkap secara berimbang untuk meningkatkan produksi. Untuk memperkuat argumentasinya, mahasiswa tersebut mengutip data BPS yang memang menunjukkan bahwa produksi jagung Provinsi NTT memang masih jauh di bawah produksi jagung Provinsi Jawa Timur maupun produksi jagung Provinsi Gorontalo. Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis mengingat jagung merupakan bahan pangan pokok penduduk Provinsi NTT, sedangkan di Provinsi Jawa Timur dan Gorontalo hanya sebagai bahan pakan ternak. Bukan hanya itu, jagung mempunyai sejarah yang panjang di Provinsi NTT, tetapi tidak demikian halnya di Provinsi Gorontalo. Dilihat dari perspektif ini maka tidaklah salah ketika kemudian Gubernur NTT mencanangkan program jagungisasi untuk mengembalikan kejayaan Provinsi NTT sebagai “gudang jagung”.


Jagung merupakan tanaman utama dalam pertanian lahan kering di Provinsi NTT, terutama di Timor Barat. Sebagai tanaman utama pertanian lahan kering, jagung dibudidayakan terutama dalam pola perladangan tebas bakar. Sebagai tanaman pada pola perladangan tebas bakar, jagung hampir tidak pernah ditanam secara monokultur, melainkan sebagian besar secara campuran dengan berbagai jenis tanaman lain. Di Timor Barat bahkan benih jagung dicapur pada saat menugal dan satu lubang tugal diisi sekaligus dengan benih jagung, kacang nasi, dan labu kuning sehingga muncul istilah cara menanam “salome”, satu lobang rame-rame. Akibatnya dengan mudah dapat diketahui, bahkan oleh orang yang tidak pernah kuliah di fakultas pertanian sekalipun, produksi jagung per satuan luas lahan (produktivitas) pasti akan rendah. Tetapi karena BPS menggunakan cara menyajikan data yang harus seragam secara nasional maka produksi jagung Provinsi NTT pun disajikan dengan cara yang sama dengan menyajikan data produksi jagung di provinsi-provinsi lainnya. Maka, seorang mahasiswa yang memang belum mampu untuk berpikir sejauh ini, dengan gampang menyimpulkan bahwa produksi jagung di Provinsi NTT rendah karena kurang dipupuk.

Berbeda halnya dengan mahasiswa, seorang gubernur tentu tidak boleh terjebak dalam pengambilan kesimpulan yang terlalu sederhana. Oleh karena itu, gubernur mengatakan pola pertanaman tebas bakar tidak produktif. Artinya, produksi jagung di Provinsi NTT rendah karena dibudidayakan dalam pola perladangan tebas bakar yang menggunakan jagung lokal dan tidak pernah dipupuk. Untuk itulah maka kemudian gubernur mencanangkan program “jagungisasi” untuk “memodernisasi” budidaya jagung di Provinsi NTT. Masyarakat dianjurkan untuk menanam jagung komposit dan hibrida unggul secara intensif dengan disertai pemupukan lengkap secara berimbang untuk mengejar ketinggalan produksi dari provinsi lain. Untuk mengurangi kehilangan hasil selama dalam penyimpanan maka silo pun di bangun di ibukota kabupaten. Sungguh sebuah program luar biasa yang menyentuh kepentingan sebagian besar masyarakat, tetapi apakah memang demikian?

Modernisasi produksi sebenarnya adalah paradigma revolusi hijau yang kini sudah mulai ditinggalkan. Paradigma revolusi hijau memandang proses produksi pertanian identik dengan proses produksi di pabrik-pabrik, yang produktivitasnya (output) dengan sendirinya akan meningkat bila kapasitas mesin dan masukannya (input) ditingkatkan. Kini, pada era pasca-revolusi hijau, orang sudah mulai meninggalkan cara berpikir seperti ini karena sesungguhnya pertanian tidak sesederhana sebuah pabrik. Kini semakin disadari bahwa proses produksi pertanian sesungguhnya lebih menyerupai sebuah ekosistem. Istilah ekosistem pertanian dan agro-ekosistem pun menjadi semakin banyak muncul dalam berbagai wacana, sebelum kemudian berkulminasi dalam wacana pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).

Lalu apakah sebenarnya pertanian berkelanjutan itu? Meminjam definisi Marten (1988), dan juga Conway (1987), keberlanjutan dalam pertanian berarti kemampuan untuk mempertahankan produktivitas pada taraf tertentu dalam jangka waktu panjang. Difinisi demikian sesuai dengan konsep bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, produksi yang dicapai sekarang tidak boleh sampai mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk dapat memperoleh produksi pada tingkat yang sama. Tantangannya kemudian adalah, bagaimana produktivitas dapat dipertahankan terus menerus dari generasi ke generasi? Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah. Meskipun demikian, harus disadari bahwa pertanian sesungguhnya dikendalikan oleh berbagai proses ekologis. Di dalam proses ekologis itu ada konsep faktor pembatas (limitting factor), ada konsep jejaring makanan (food web). Dengan adanya faktor pembatas dan jejaring makanan maka produksi tinggi sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan untuk dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Dengan kata lain, bila pertanian harus berkelanjutan maka produktivitas tinggi tidak boleh digunakan sebagai satu-satunya ukuran.

Penggunaan benih unggul, pupuk, pestisida, dan sarana produksi lainnya untuk mencapai produksi tinggi, tidak hanya akan bermasalah dengan faktor pembatas, tetapi juga akan berhadapan dengan berbagai kendala yang timbul dari jejaring makanan sendiri. Berbagai jenis organisme yang menggunakan tanaman sebagai bahan makanannya akan meningkat populasinya menjadi organisme pengganggu yang semakin merusak dan merugikan. Sebagai akibatnya, produksi pun akan terus berfluktuasi ke arah yang semakin rendah. Di sini muncul persoalan stabilitas, bahwa produktivitas tinggi akan menyebabkan stabilitas menjadi terus semakin berkurang. Selain itu juga akan timbul persoalan kemerataan karena untuk berproduksi tinggi tidak semua petani mampu membeli sarana produksi, kecuali bila pemerintah mempu terus memberikan subsidi (yang kenyataannya tidak selalu demikian). Petani pun akan semakin tergantung, bukan hanya pada para pengijon yang akan bermurah hati meminjamkan uang untuk membeli sarana produksi, tetapi pada konglomerasi internasional yang dari dahulu sudah membidik sektor pertanian sebagai wahana penjajahan era globalisasi. Maka, bila demikian, petani di negeri merdeka pun terpaksa harus kehilangan kedaulatan atas sumberdaya miliknya sendiri. Benih yang dahulu disiapkan sendiri kini harus dibeli karena benih unggul tidak boleh diproduksi sendiri.

Di sinilah kemudian perladangan tebas bakar mampu memberikan lebih. Perladangan tebas bakar memang tidak produktif, sebagaimana dikatakan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Tetapi dengan produksi yang tidak tinggi tersebut perladangan tebas bakar menyediakan asuransi terhadap gejolak stabilitas produksi. Dari pengalamannya sendiri dan pengalaman leluhur yang diwarisinya, petani perladangan tebas bakar memahami betul bahwa kekeringan, angin kencang, banjir, dan bahkan belalang kembara setiap saat dapat menyebabkan jagung mengalami gagal panen. Karena itu mereka menanam berbagai jenis tanaman lain bersama dengan jagung, meskipun sebagai konsekuensinya produksi jagung menjadi tidak tinggi. Mereka juga tahu betul bahwa benih, pupuk, pestisida, dan sarana produksi lainnya tidak akan dapat terus dibagikan secara gratis oleh pemerintah. Lebih dari itu, meraka tahu betul bahwa mereka melakukan perladangan tebas bakar lebih daripada sekedar untuk untuk memperoleh hasil. Di dalamnya bukan hanya ada ikatan dengan lahan dan tanaman yang dibudidayakan, tetapi juga ikatan dengan keluarga dan dengan tetangga sebagaimana diurai dengan gamblang oleh Marten (2001). Semua ini, bagi petani subsisten, tidak dapat disamakan dengan memperoleh produksi yang lebih tinggi.

Referensi:
Conway, G.R. (1987) The properties of agroecosystems. Agricultural Systems 24 (2), 95-117
Marten, G.G. (1986) Traditional Agriculture in Southeast Asia: A Human Ecology Perspective. Boulder, Colorado: Westview Press. Diakses dari: http://www.gerrymarten.com/traditional-agriculture/tableofcontents.html terakhir pada: 24 Oktober 2010.
Marten, G.G. (1988) Productivity, stability, sustainability, equitability and autonomy as properties for agroecosystem assessment. Agricultural Systems 26, 291-316. Diakses dari: http://www.gerrymarten.com/publicatons/agroecosystem-assessment.html terakhir pada: 24 Oktober 2010.
Marten, G.G. (2001) Human Ecology - Basic Concepts for Sustainable Development. Earthscan Publications. Diakses dari: http://www.gerrymarten.com/human-ecology/tableofcontents.html terakhir pada 24 Oktober 2010.

Tautan untuk Program Agroekologi:

Pengutipan:

Mudita. I W. (2010) Apakah perladangan tebas bakar memang merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif atau justeru memberikan banyak manfaat lain yang tidak dapat diberikan oleh pola-pola lain yang lebih intensif? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun saat diunduh).
Baca selengkapnya...

Cari Informasi