http://www.webdirectory.com/Science/Agriculture/ Dialektika Pertanian Lahan Kering: 10/22/10

Mengapa dalam pertanian lahan kering dibudidayakan berbagai jenis tanaman dan bukan dari kultivar yang unggul?

Bookmark and Share

I W. Mudita

Pertanian lahan kering mencakup berbagai sistem, mulai dari yang paling sederhana seperti perladangan tebas bakar, pelepasan dan penggembalaan ternak, tegalan, pekarangan, sampai ke yang lebih maju seperti perkebunan rakyat. Perladangan tebas bakar dicirikan oleh penggunaan api untuk melakukan pembukaan lahan setelah terlebih dahulu hutan atau belukar ditebang dengan menggunakan peralatan sederhana. Pelepasan dan penggembalaan ternak sama-sama dilakukan di padang rumput, tetapi keduanya berbeda dalam hal kehadiran penggembala. Tegalan merupakan budidaya tanaman semusim secara menetap, sedangkan pekarangan merupakan budidaya berbagai jenis tanaman di sekitar rumah. Perkebunan rakyat merupakan kegiatan budidaya tanaman perkebunan berskala kecil, baik tanaman setahun maupun tahunan. Pada semua sistem pertanian lahan kering ini, jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan pada umumnya beragam. Atau, kalaupun seragam dalam satu bidang, selalu dibudidayakan bidang lain untuk jenis tanaman yang berbeda. Mengapa hal ini dilakukan?


Seorang petani di Desa Ajaobaki, pedalaman Timor Barat, katakan saja namanya Bapak Agus, bertutur cukup menarik ketika kepadanya ditanyakan mengapa dia membudidayakan jeruk keprok bercampur dengan berbagai jenis tanaman lain, bukannya secara monokultur sebagaimana yang direkomendasikan pemerintah. Katanya, dahulu ketika masih muda, dia sering mengikuti orang-orang tua di kampungnya berburu di hutan. Ketika berada di hutan, dia selalu menyaksikan berbagai jenis tumbuhan tumbuh harmonis bersama-sama. Dia melanjutkan:
…di hutan, mata air tidak kering meskipun pada musim kemarau panjang. Ketika hujan, air permukaan mengalir jernih, tidak seperti di lahan pertanian yang berwarna cokelat karena menghanyutkan tanah. Di hutan setiap jenis tumbuhan saling berbagi dengan tumbuhan lain, di lahan pertanian kita memaksa satu jenis tanaman untuk menguasai semuanya. Tanaman pun menjadi manja sehingga bila suatu ketika kebutuhannya tidak terpenuhi, misalnya karena musim kering berkepanjangan, panen pun gagal. Saya tidak mau mengalami gagal panen, maka dari itu saya meniru alam … (wawancara lapangan).
Dan Bapak Agus masih terus bercerita panjang (Mudita, 2011). Tetapi untuk sementara, apa yang dikemukakan oleh Bapak Agus hanyalah satu di antara banyak alasan lainnya

Petani lahan kering menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai alasan. Menurut Immink & Alarcón (n.d.), alasan tersebut di antaranya adalah risiko gagal panen, harga hasil pertanian yang cenderung sangat fluktuatif, institusi pemasaran hasil-hasil pertanian yang tidak efisien dan lemah, dan kesulitan memperoleh uang tunai untuk membeli sarana dan prasarana pertanian. Alasan pertama jelas menyiratkan bahwa penganekaragaman jenis tanaman dilakukan sebagai semacam cara untuk memperkecil gagal panen. Hal ini dimungkinkan karena dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman, meskipun hasil tiap jenis tanaman tidak tinggi, bila salah satu mengalami gagal panen maka masih ada jenis tanaman yang dapat dipanen. Alasan pertama ini terumata menjadi sangat penting bagi petani subsisten (peasant). Kalaupun ada petani subsisten yang membudidayakan tanaman bernilai ekonomis (cash crops) semacam Bapak Agus di Desa Ajaobaki, yang bersangkutan tetap akan berusaha membudidayakan tanaman pangan. Buka hanya karena tahu bahwa risiko gagal panen tinggi bila hanya menanam satu jenis tanaman, Bapak Agus juga tahu bahwa harga jeruk keprok di tingkat petani sangat berfluktuasi, pemasaran jeruk keprok dikuasai oleh pedagang ijon, dan uang untuk membeli pupuk dan sarana produksi lainnya tidak mudah diperoleh di desa.

Menyadari ini semua maka ketika pemerintah menggulirkan program intensifikasi jeruk keprok yang mengharuskan petani menanam jeruk keprok secara monokultur dan intensif maka Bapak Agus pun menolak untuk ikut. Akibatnya Bapak Agus tidak menerima pembagian bibit okulasi yang dibagikan secara cuma-cuma, tidak menerima bantuan sarana produksi, apalagi bantuan biaya produksi sebagaimana yang diterima petani lain di desanya. Tetapi ini semua tidak membuat Bapak Agus berpaling. Bagi Bapak Agus menanam jeruk keprok dari biji tetap lebih baik daripada menanam bibit okulasi yang menurutnya, “cepat menghasilkan tetapi juga cepat mati”. Bagi pemerintah, jeruk keprok hasil okulasi lebih unggul daripada jeruk keprok dari biji. Bukan hanya pemerintah yang menyatakan demikian, secara ilmiah pun memang demikian. Tanaman dari bibit okulasi dapat dijamin akan menghasilkan buah dengan kualitas standar, lebih cepat menghasilkan, dan menghasilkan lebih banyak dalam satuan luas lahan yang sama. Tetapi, bibit okulasi berisiko tinggi tertular penyakit sehingga, sebagaimana dikatakan Bapak Agus, cepat menghasilkan tetapi juga cepat mati.

Tanaman asal biji dan asal bibit okulasi memang bukan dari kultivar yang berbeda. Hanya saja, dalam hal ini tanaman asal bibit okulasi mempunyai keunggulan yang serupa dengan tanaman kultivar unggul (istilah kultivar yang berarti varietas budidaya digunakan di sini sesuai dengan ketentuan tatanama internasional, di Indonesia digunakan istilah varietas yang seharusnya hanya digunakan untuk satuan takson bukan dari hasil persilangan buatan). Contoh penggunaan kultivar unggul adalah program jagungisasi di Provinsi NTT yang mengharuskan petani menanam jagung kultivar komposit maupun hibrida unggul dengan tujuan menjadikan Provinsi NTT sebagai provinsi penghasil jagung terkemuka di Indonesia. Hasilnya, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian Mudita dkk. (2009), sejauh ini kultivar jagung unggul tersebut lebih banyak dikonsumsi fufuk, yaitu serangga hama dengan nama ilmiah Sitophilus zeamais dan S. oryzae, daripada mengenyangkan perut petani subsisten di pedalaman Timor Barat. Angan-angan menjadi provinsi penghasil jagung terkemuka tetap mengemuka dalam wacana, tetapi jauh di pelosok sana petani tetap menanam jagung lokal. Pemerintah memang selalu berwacana lantang soal usahatani berorientasi bisnis (agribusiness), tetapi petani di pelosok masih tetap harus berkutat menggapai ketahanan pangan (food security).

Referensi:
Immink, M.D.C., & Alarcón, J.A. (n.d.) Household food security and crop diversification among smallholder farmers in Guatemala: Can maize and bean save the day?  In: Food, Nutrition and Agriculture - 4 - Food Security. Albert, J.L. (ed.). Rome: Food and Agriculture Organization.
Mudita, I W., Surayasa, M.T., & Aspatria, U. (2009) Pengembangan Model Pengelolaan Ketahanan Hayati Penyimpanan Jagung Berbasis Masyarakat untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan di Wilayah Beriklim Kering. Laporan Final Program Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional. Kupang: Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana.
Mudita, I W. (2011). Bertani Selaras Alam untuk Menghindari CVPD. Citrus Biosecurity. Diakses dari: http://citrusbiosecurity.blogspot.com pada 22 Oktober 2010.

Pengutipan:
Mudita. I W. (2010) Mengapa dalam pertanian lahan kering dibudidayakan berbagai jenis tanaman dan bukan dari kultivar yang unggul? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun saat diunduh).
Baca selengkapnya...

Apakah usahatani lahan kering sama dengan pertanian lahan kering dan apakah keduanya perlu dibedakan?

Bookmark and Share

I W. Mudita

Pertanian lahan kering kini merupakan istilah yang sudah sangat umum digunakan, tetapi sebenarnya apakah pertanian lahan kering itu? Dengan merujuk kepada Roy & Arora (1973), Nelson & Nelson (1973), Moore (1977), Billy (1981) dan Landon (1984), Prof. Fred Benu (dalam blog ini) telah mengupas usahatani lahan kering (dryland farming) dari sisi faktor kekurangtersediaan air dan faktor kekurangtersediaan prasarana pengairan:
Sebenarnya istilah dryland farming lebih merujuk pada tipologi daerah dengan ciri iklim tertentu.  Jelasnya dryland farming mencakup usaha budidaya di daerah beriklim semi ringkai (semi arid) sampai daerah beriklim ringkat (arid).  Sedangkan istilah “unirrigated land” lebih ditujukan pada usaha budidaya pertanaman pada daerah dengan suplai air terbatas karena tidak memiliki jaringan irigasi.
Dari kutipan di atas tampak bahwa usahatani lahan kering diberikan pengertian yang sama dengan pertanian lahan kering. Apakah memang demikian?

Kedua istilah tersebut, usahatani lahan kering dan pertanian lahan kering, sama dalam hal sama-sama berkaitan dengan lahan kering. Mengutip United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD), World Resources Institute mendefinisikan lahan kering dalam kaitan dengan zona keringkaian (aridity zone). Zona keringkaian ditentukan berdasarkan nisbah (ratio) rerata presipitasi tahunan terhadap evapotranspirasi potensial tahunan. Presipitasi dapat berupa hujan, embun, atau salju. Evapotranspirasi potensial tahunan merupakan jumlah lengas yang, bila tersedia, akan hilang dari satu luasan lahan tertentu karena evaporasi dan transpirasi. Dengan menggunakan nisbah tersebut, dunia dipilah ke dalam enam zona keringkaian, yaitu ringkai berlebihan (hyper-arid), ringkai (arid), semi-ringkai (semi-arid), sub-lembab kering (dry sub-humid), lembab (humid), dan dingin (cold). Lahan kering, sebagaimana didefinisikan oleh World Resources Institute, mencakup lahan pada zona keringkaian yang berkisar dari zona ringkai sampai zona sub-lembab kering dengan kisaran nisbah 0,05–0,65 yang luasnya diperkirakan mencapai 53.558.000 km2. Wilayah dengan nisbah <0,05 termasuk zona ringkai berlebihan, dengan nisbah >0,65 termasuk zona lembab.



Lantas bagaimana dengan aspek ketersediaan prasarana pengairan? Lahan kering merupakan konsep yang bersifat makro, dalam hal ini berskala dunia. Dalam konteks global tersebut, aspek prasarana pengairan bersifat sangat mikro. Oleh karena itu, pengertian lahan kering ditinjau dari ketersediaan prasarana pengairan menjadi kurang relevan. Demikian juga dengan pengertian lahan kering sebagai lahan yang tidak tergenang air sepanjang tahun, juga menjadi kurang relevan karena dalam konteks budidaya pertanian genangan air dimungkinkan hanya dengan ketersediaan parasarana irigasi. Prasarana irigasi dibangun untuk dengan berbagai persyaratan sehingga memerlukan studi kelayakan. Dalam studi kelayakan tersebut termasuk studi kelayakan usahatani.

Lalu, apakah usahatani sama dengan pertanian sehingga usahatani lahan kering tidak perlu dibedakan dari pertanian lahan kering? Menurut Hargreaves (1957), usahatani lahan kering merupakan pertanian tanpa pengairan di wilayah yang presipitasinya kurang. Pada pihak lain, Oram (1980) secara eksplisit membedakan pertanian lahan kering dari usahatani lahan kering sebagaimana dimaksudkan oleh Hargreaves (1957) tersebut. Menurut Oram (1980), pertanian lahan kering merupakan kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan dalam kondisi tekanan kekeringan sedang sampai berat selama sebagian besar  masa tanam, sehingga memerlukan teknik-teknik budidaya khusus, jenis tanaman tertentu, dan sistem usahatani tertentu untuk memungkinkan produksi dapat dilakukan secara berkelanjutan. Dalam pengertian pertanian lahan kering yang diberikan oleh Oram (1980) jelas tersirat bahwa pertanian lahan kering lebih daripada sekedar usahatani lahan kering. Dengan kata lain, usahatani lahan kering (dryland farming) dapat dilakukan di wilayah lahan kering (dryland) maupun di wilayah lembab (humid). Tidak demikian dengan pertanian lahan kering, yang semata-mata merupakan cara hidup dengan mengolah lahan di wilayah dalam zona ringkai (arid) sampai sub-lembab kering (dry sub-humid).

Usahatani lahan kering sebagai sub-sistem dari pertanian lahan kering akan menjadi lebih mudah dipahami bila pengertian usahatani sendiri dipahami terlebih dahulu. Terdapat banyak definisi usahatani, di antaranya adalah produksi tanaman dan/atau ternak secara menguntungkan (profitable production of crops and animals). Yang menjadi kata kunci dalam pengertian usahatani adalah produksi secara menguntungkan, yang berarti bahwa usahatani dilakukan dengan memperhitungkan untung rugi. Dalam hal ini untung rugi tidak selalu harus berarti uang, melainkan mempunyai dimensi yang jauh lebih luas. Dari istilah usahatani yang dalam bahasa Inggris disebut farming muncul istilah petani yang dalam bahasa Inggris disebut farmer. Selain kata farmer, dalam bahasa Inggris juga dikenal istilah peasant, yang terjemahan bahasa Indonesianya masih belum dibakukan. Untuk memberikan pengertian yang tepat mengenai istilah peasant, Sofjan Sjaf, seorang sosiolog dari IPB, mengulas istilah tersebut dengan menggunakan pendekatan ideologi, geografis, ekonomi, dan sosial kebudayaan.

Pertanian melibatkan bukan hanya farmer (petani) tetapi juga peasant (petani subsisten). Dengan demikian maka usahatani lahan kering menjadi mempunyai pengertian yang tidak sama dengan pertanian lahan kering. Melalui usahatani lahan kering petani membudidayakan tanaman dan memelihara ternak untuk memperoleh produksi yang menguntungkan. Dalam pertanian lahan kering juga terdapat usahatani lahan kering, tetapi tidak berhenti sampai di situ. Di dalam pertanian lahan kering terdapat petani subsisten (peasant) yang melakukan budidaya tanaman dan ternak tanpa mempertimbangkan untung rugi. Kalau saja mempertimbangkan untung rugi, petani (peasant) di Pulau Timor tidak akan mungkin akan membakar begitu saja pohon kayu merah (Pterocarpus indicus) sekedar untuk membuka lahan untuk menanam jagung. Harga satu kubik kayu merah lebih dari Rp 2 juta, sedangkan produksi jagung dari lahan 1 hektar, bila dijual, nilainya tidak akan lebih dari harga 1 kubik kayu merah. Maka dari itu, Made Tusan Surayasa, seorang dosen Fakultas Pertanian Undana, mengomentari, “bagi petani lahan kering Timor, jagung adalah segalanya”.

Pembedaan pengertian pertanian lahan kering dari usahatani lahan kering akan memudahkan memahami banyak persoalan yang berkaitan dengan kedua istilah tersebut. Banyak pertanyaan seputar lahan kering yang telah dijawab oleh Prof Fred L. Benu akan menjadi lebih mudah dipahami bila dijawab dengan menggunakan pembedaan tersebut. Pertanyaan sederhana seputar pertanian lahan kering, akan dicoba dijawab dalam perspektif perbedaan antara pertanian lahan kering dan usahatani lahan kering, perbedaan antara petani subsisten (peasant) dan petani (farmer), perbedaan dalam dimensi politik, geografis, ekonomi, dan sosial budaya. Dengan memahami perbedaan ini juga diharapkan tidak lagi ada yang mengacaukan pengertian kekeringan dalam konteks lahan (dryland) dan kekeringan dalam konteks bencana (drought) sebagaimana diuraikan melalui tulisan oleh Mudita (dalam blog ini).

Referensi:
World Resources Institute (2010). Definition of drylands. Diakses dari: http://archive.wri.org/newsroom/wrifeatures_text.cfm?ContentID=722 pada 22 Oktober 2010.

Sjaf, S. (2010) Batasan Definisi Petani (Peasent). Sofyan Sjaf Online: Ilmu untuk Memuliakan Orang Kecil. Diakses dari: http://sofyansjaf.staff.ipb. ac.id/2010/06/13/batasan-definisi-petani-peasent/ pada 22 Oktober 2010.


Pengutipan:
Mudita, I W. (2010). Apakah usahatani lahan kering sama dengan pertanian lahan kering dan mengapa keduanya perlu dibedakan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (tulis tanggal, bulan, tahun).
Baca selengkapnya...

Mengapa sebagian besar petani lahan kering enggan menggunakan pupuk walaupun disadari bahwa penggunaan input pupuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Input pupuk identik dengan cara budidaya sektor pertanian modern. Pada saat yang sama sebagian besar petani lahan kering masih bercorak usahatani tradisional atau minimal baru mencapai semi modern.  Walaupun anggapan tentang praktek budidaya modern harus berhadapan dengan realitas perilaku tradisional oleh kebanyakan petani lahan kering, namun paradigma prakter budidaya lahan kering saat ini telah sedikit mengalami pergeseran. Sejumlah petani lahan kering telah juga menggunakan input pupuk untuk meningkatkan produktivitas tanaman mereka.  Namun dibanding dengan totalitas petani lahan kering, persentase ini masih sangat kecil.  Kebanyakan para petani masih enggan menggunakan pupuk untuk meningkatkan produktivitas, karena disamping dihadapkan pada sejumlah masalah klasik seperti harga yang tidak terjangkau, kelangkaan suplai, para petani lahan kering juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa produktivitas tanaman yang ingin didorong melalui penggunaan pupuk harus pula berurusan dengan sejumlah input modern lainnya seperti pestisida, insecticida, suplai air yang memadai, dan sebagainya.  Tidak mungkin dapat didorong produktivitas tanaman hanya dengan mengandalkan penggunaan input pupuk dengan mengabaikan input modern lainnya. Semua nya itu berkonsekwensi pada tingginya biaya operasional usahatani.  Pada saat yang sama hampir sebagian besar petani lahan kering menghadap kendala akses terhadap sumber-sumber permodalan. Padahal jika petani lahan kering kita melakukan usahatani secara tradisional, mereka tidak perlu untuk berurusan dengan semua kenyataan di atas yang berkonsekwensi pada tingginya biaya usahatani. Mereka cukup melakukan penanaman bibit/benih lokal tradisional, selanjutnya perkembangan dan produksinya benar-benar diserahkan pada kemurahan alam. Kemurahan kesuburan, kemurahan curah hujan, kemurahan daya tahan terhadap serangan hama penyakit. Tidak ada konsekwensi biaya dalam usahatani, cukup konsekwensi gagal tanam dan/atau gagal panen yang harus dihadapi para petani lahan kering kita.  Dan nampaknya kebanyakan petani lahan kering lebih memilih konsekwensi ke dua seiring dengan terbatasnya akses permodalan, rendahnya pengetahuan teknik budidaya dengan input modern, tidak adanya asuransi usahatani,dan sebagainya.  Pilihan konsekwensi kedua tidak akan memaksakan petani lahan kering untuk berhutang pada siapa pun selain berhutang pada alam.
Inilah kenyataan yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian lahan kering.  Kenyataan dimaksud selalu mengambil bentuk sebagai hambatan pembangunan pertanian lahan kering.  Dan diperlukan peran aktif semua pihak yang berkepantingan dengan pembangunan pertanian, khususnya pemerintah dan petani sendiri guna mendongkrak produksi pertanian lahan kering dan peningkatan tingkat kesejahteraan umum di sektor pertanian lahan kering.


Pengutipan:
Benu, F.L. (2011) Mengapa sebagian besar petani lahan kering enggan menggunakan pupuk walaupun disadari bahwa penggunaan input pupuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian? Dielaktika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun).
Baca selengkapnya...

Mengapa petani lahan kering tetap mengusahakan sejumlah komoditi lokal tradisional tanaman pangan (jagung dan ubi kayu) walaupun disadari bahwa ada sejumlah komoditi pangan lainya yang lebih prospektif memberikan keuntungan?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Perlu dipahami bahwa pilihan bididaya tanaman pada lahan kering tidak semata pertimbangan aspek ekonomi semata. Aspek sosial budaya juga sangat dominan mendeterminasi ragaan usaha pertanian lahan kering, bahkan dalam banyak contoh aspek sosial budidaya ini lebih dominan mendeterminasi corak usaha pertanian lahan kering dibanding aspek ekonomi.  Sebut saja orang Timor yang tetap saja mempertahankan komoditi jagung dan ubikayu pada lahan usaha mereka walaupun disadari bahwa komoditi ini khususnya varietas lokal tidak memiliki prospek ekonomi yang cukup baik.  Orang Timor tetap mengusahakan komoditi jagung varietas lokal karena komoditi ini adalah komoditi pangan pokok bagi hampir semua petani lahan kering di Timor. Mereka tidak berpikir tentang bagaiman produksi jangung ini akan dijual, tapi mereka berpikir bagaimana produksi jagung dapat dipakai untuk konmsi keluarga mereka selama satu musim tanam.  Jadi keamaan pangan (food security) yang menjadi kepentingan utama.  Memang orang lain dapat saja mengatakan bahwa produksi jangung dapat dijual untu kemudian income yang diperoleh dari hasil penjualan dapat dipakai untuk membeli pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Tapi petani lahan kering kita tidak berpikir demikian. Mereka tidak mau mengambil risiko dua kali, yaitu risiko keberhasilan produksi dan risiko prospek harga.  Cukup mereka menghadapi risiko keberhasian produksi saja dan itu semata diserahkan pada kemurahan alam.  Dimensi berpikir mereka bersifat linear, yaitu deminsi “tangan ke mulut” atau mungkin sedikit lebih berorientasi pasar, maka dimensi yang digagas adalah “tangan – mulut – pasar”. Makasud nya mereka benar-benar mengutamakan food security dan kelebihan produksi baru dijual untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya.  Mereka belum mampu untuk dipaksa berpikir dalam dimensi “tangan – pasar – mulut”.  Pada saat pasar sekarang menuntut orang untuk ber-perspektif “produksi karena bisa dijual” dan tidak lagi “jual karena bisa diproduksi”, para petani lahan kering kita masih berperspektif “produksi karena bisa dimakan”.
Demikian pula cerita orang Papua yang selalu menanam ubi jalar pada lahan usaha mereka atau minimal membiarkan tanaman sagu tetap mendominasi lahan usaha yang ada.  Tujuan nya tidak lain adalah orientasi keamanan pangan dimaksud. Mereka tidak mungkin mengganti tanaman ubi dan sagu yang ada di lahan usaha mereka dengan komoditi modern yang lebih memiliki prospek keuntungan, karena disamping kurangnya akses terhadap sumber permodalan maupun akses pasar, kedua komoditi dimaksud sudah menjadi bagian dari budaya mereka. Kedua komoditi dimaksud akan selalu mendominasi pesta budaya yang dilakukan oleh masyarakat papua sehingga tidak mungkin disubsitusi dengan komoditi modern lainnya. Nilai ekonomi yang ditawarkan oleh komoditi modern tidak dapat dibandingkan dengan nilai sosial budaya yang melekat pada kedua komoditi lokal tradisional dimaksud.
Itulah tantangan terbesar yang dihadapi dalam pembangunan lahan kering. Tantangan untuk menggiring perilaku petani lahan kering yang masih bercorak subsisten ke arah yang lebih modern. Mengubah perilaku petani lahan kering yang demikian tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan, tidak seperti biasanya kita berpikir secara linear. Dibutuhkan waktu yang sangat panjang karena bersangkut paut dengan proses kesadaran berpikir, dimulai dari tahapan sosialisasi, membangun pengetahuan, memahami, melakukan percobaan dan yang terakhir mengadopsi.
Baca selengkapnya...

Mengapa ditemukan adanya fenomena petani lahan kering cenderung menghindar dari jenis usahatani lahan basah, walaupun terdapat sejumlah potensi pertanian lahan basah?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Usahatani adalah suatu pilihan hidup (way of life) bukan  rasionalitas ekonomi semata.  Jika hanya soal rasionalitas ekonomi, maka usahatani akan dihadapkan pada pilihan sumberdaya dengan berbagai manfaat ekonomi yang mungkin akan diperoleh.  Tapi jika usahatani adalah suatu pilihan hidup, maka rasionalitas ekonomi hanya merupakan salah satu aspek yang menjadi dasar pertimbangan seorang petani lahan kering memilih jenis usahataninya diantara berbagai aspek yang menentukan hidup matinya seseorang.  Petani harus pula mempertimbangan aspek sosial budaya, aspek teknis budidaya, aspek religius, aspek keamanan (food sequrity),dsb. Walaupun ada prioritas pertimbangan, namun semua aspek yang disebutkan di atas secara bersama-sama mendeterminasi seorang petani memilihi suatu jenis usahatani tertentu. 
Cerita tentang bagaimana petani di beberapa lokasi di NTT (dataran Mbai di Flores dan Dataran Bena di Timor)  yang walaupun memiliki sejumlah potensi lahan basah dengan suplai air yang cukup sepanjang  tahun, tetapi karena alasan kultur masyarakat setempat yang tabu dengan air tergenang sehingga enggan memanfaatkan potensi lahan basah dimaksud adalah suatu contoh cerita menarik.  Para petani lahan kering ini malah semaakin terdesak ke daerah kering marginal di pegunungan seiring dengan semakin dieksploitasi nya sumberdaya lahan dimaksud oleh kaum pendatang yang bisa memanfaatkan potensi sumberdaya dimaksud.
Demikian pula masyarakat di Merauke-Papua yang memiliki sumberdaya lahan dan air yang sangat besar potensinya untuk usahatani lahan  basah, tapi tidak dimanfaatkan karena masyarakatnya tidak berbudaya usahatani lahan basah.  Masyarakat memilih untuk hanya mengumpulkan makanan yng melimpah dari hutan dibanding harus bersusah payah mengerjakan lahan usaha yang ada. Kalaupun sebagian masyarakatnya sudah melakukan kegiatan budidaya tanaman, maka itupun dilakukan secara terbatas di sejumlah spot lahan kering untuk budidaya ubi njalar secara tradisional.  Yang jelas masyarakat asli Merauke pasti akan semakin tidak memiliki akses untuk usahatani lahan basah ijka rencana pemerintah sejak awal 2010 untuk pengembangan kawasan pangan dalam skala luas atau food estate di Kabupaten Merauke tidak dirancang untuk melibatkan masyarakat didalamnya. Program food estate ini  diperkirakan memerlukan investasi sekitar Rp50 triliun hingga Rp60 triliun dengan luas potensil sekitar 200.000 hektare dan tambahan produksi padi (beras) mencapai satu juta ton.
Baca selengkapnya...

Mengapa kehadiran pasar di tingkat desa malah mendorong expansi produk perkotaan dan perilaku konsumtif masyarakat desa?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Teori ekonomi menyebutkan Pasar sebagai suatu institusi ekonomi dimana penjual dan pembeli bertemu untuk melakukan transaksi atau tukar-menukar barang dan jasa.  Dalam kemajuan dunia komunikasi saat ini ditandai dengan adanya revolusi di bidang telekomunikasi, maka pasar tidak lagi harus mengambil bentuk fisik dimana dapat ditemukan bangunan fisik, kemudian kontak sisik (face to face) antara penjual dan pembeli.  Konsep pasar sudah dapat dikembangkan dalam suatu dunia maya, dimana penjual dan pembeli tidak saling mengenal secara sosial, tidak pernah berjumpa secara fisik, tapi transaksi tetap berjalan pembeli menerima barang dan penjual menerima balas jasa.
Mari kita mengikuti cerita menarik berikut tentang aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang petani maju (salah seorang kolega saya di Australia).  Petani ini menempatkan dirinya sebagai salah satu dari pelaku pasar modern di mana batas ruang dan waktu semakin tidak jelas.  Beliau seorang petani semangka (rock mellon) di Western Australia.  Sebelum ia mengusahakan semangka, terlebih dahulu ia mengakses internet untuk mencari tahu proyeksi harga semangka yang paling tinggi.  Kapan dan dimana (Negara bagian apa) akan terjadi? Selanjutnya ia mencari informasi dari akses internet yang sama  tentang varietas semangka apa yang harus ia tanam dengan umur pemanenan relatif sama dengan saat harga semangka mencapai puncaknya.  Setelah ia memastikan semua masalah teknis budidaya (juga dari internet) ia memesan benih semangka dari penangkar benih melalui internet sekaligus melakukan pembayaran dengan hanya mengisi ID kartu ATM nya di komputer yang sama.  Pada saat itu pula ia pun menawarkan semangka yang akan diproduksikannya lengkap dengan jumlah, kualitas, ukuran, bahkan warna produk kepada calon pembeli di pasar yang telah diidentifikasinya semula. Semuanya itu dilakukan dalam hitungan waktu kurang dari 30 menit.
Cerita di atas ternyata tidak berlaku pada sektor pertanian lahan kering hampir di seluruh Indonesia. Petani lahan kering hanya mengenai pasar sebagaimana bentuk fisik nya.  Bahkan pasar dalam konsep masyarakat pertanian lahan kering, tidak saja merupakan suatu institusi ekonomi tapi juga institusi sosial.  Pada sejumlah pasar para petani lahan kering hadir tidak saja untuk melakukan fungsi ekonomi pertukaran, tapi banyak juga fungsi sosial berlangsung.  Dan fungsi sosial ini dalam banyak kasus sangat mendominasi dinamika institusi pasar dan sulit untuk diukur nilai ekonominya. Kita dapat mengidentifikasi bagaimana para petani lahan kering tradisional kita hadir di pasar mingguan tingkat desa atau kecamatan dengan hanya membawa sedikit hasil kebun mereka untuk dijual, tapi meluangkan waktu sampai selesainya waktu buka pasar, sambil ngobrol, merokok dan minum bersama dengan sejumlah pihak yang jarang dijumpai karena tinggalnya yang berjauhan maupun karena kesibukan masing-masing. Bahkan tidak jarang sejumlah permasalahan rumit ditingkat masyarakat lahan kering yang tidak dapat ditemukan jalan keluarnya ternyata dapat diselesaikan di pasar. Tidak dapat disangkal juga pasar malah dijadikan tempat untuk menemukan jodoh bagi para muda-mudi tani.
Sadar atau tidak fungsi sosial dimaksud turut menekan dinamika fungsi ekonomi yang menjadi tujuan awal kehadiran sebuah pasar secara fisik di tingkat desa.  Bersamaan dengan kehadiran pasar di tingkat desa ada pula sejumlah produk perkotaan yang masuk ke desa.  Dan daya expansi produk perkotaan ini nampaknya lebih besar dari pada expansi produk perdesaan, karena pertama, produsen perkotaan hadir dengan satu orientasi ekonomi yaitu pertukaran barang dan jasa.  Relatif tidak ada fungsi sosial yang diemban oleh produsen perkotaan, sehingga proses pertukaran produk perkotaan akan lebih efektif dan efisien. Kedua, Kehadiran pasar yang mendorong keterbukaan, tidak disertai dengan kesiapan  masyarakat tani lahan kering untuk menghadapi persaingan yang semakin tinggi.  Hal ini juga yang menyebabkan produk perdesaan harus kalah bersaing dengan produk perkotaan.  Sebut saja jagung, padi, pisang, ubi kayu, dll yang harus kalah bersaing dengan sabun mandi, shampo, lipstick, hair cream, bedak, bahkan sampai hand phone dan barang elektronik lainnya.  Ketiga, dorongan sikap konsumtif masyarakat perdesaan sebagai konsekwensi globalisasi. Masyarakat tani lahan kering perdesaan, sebagaimana juga masyarakat .....cenderung rentan terhadap invasi modernisasi produk masyarakat post modernisasi. Sikap ini pula pada akhirnya mendeterminasi pola hidup konsumtif dengan mengorbankan orientasi saving dan investasi untuk tujuan produktif expansi usaha.
Baca selengkapnya...

Mengapa akhir akhir ini para petani lahan kering sering didera ancaman kekurangan pangan padahal sebelumnya fenomena ini jarang terjadi?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Pemberitaan tentang krisis pangan global mendominasi  berita di sejumlah media masa nasional maupun international di akhir 2010 ini. Suatu isu yang kembali menghangat setelah pernah mencuat ke publik global sekitar dua tahun yang lalu. Kali ini pemicu ancaman kekurangan pangan tidak lagi karena kebijakan subsitusi komoditi pangan untuk tujuan biofuel, tapi karena keadaan iklim khususnya curah hujan global yang tidak menentu. Kedua faktor pemicu sebenarnya memiliki sumber masalah yang sama yaitu masalah pemanasan global (global warming).
Kita boleh membaca bahwa satu sumber masalah (global warming) mendeterminasi dua faktor pemicu untuk menghasilkan satu dampak besar ancaman suplai pangan global.  Dan kenyataan ini boleh dipahami bahwa masalah pemanasalan global dapat saja mendeterminasi sejumlah faktor pemicu yang kemudian akan berdampak terhadap kelangsungan hidup umat manusia di jagad ini.  Isu kelangkaan pangan hanya salah satu isu yang sedang menghantui umat manusia, tapi akan ada sejumlah isu lainnya yang akan muncul untuk mengganggu dominasi manusia terhadap makluk hidup lain di planet ini. 
Ancaman kelangkaan suplai pangan sebenarnya bukan ancaman baru bagi manusia.  Terhitung sejak Mathus mengeluarkan teorinya tentang pertambahan deret hitung (produksi pangan) dan deret ukur (pertumbuhan penduduk) pada tahun 1798, umat manusia sudah diperingati agar perlu mengantisipasi ketidak seimbangan antara suplai dan deman akan pangan. Cuma bedanya teori Malthus menelurkan faktor penentu kelangkaan suplai pangan adalah manusia, sehingga manusia memerlukan kearifan untuk mengelolanya. Dan terbukti bahwa manusia mampu untuk mengelola ancaman dimaksud dengan melakukan sejumlah rekayasa yang melipatgandakan produksi pangan dunia.  Teori Malthus kemudian untuk sementara dianggap gugur.  Pemerintah disejumlah negara, khususnya negara-negara maju mampu mematahkan teori Malthus melalui kebijakan produksi pangan yang tepat (termasuk Indonesia dengan program Intensifikasi dan Ekstensifikasi pertanian di akhir dekade 1970an). Keberhasilan pelipatgandaan produksi pangan pada tiga dekade terakhir tidak lepas dari adanya komitmen yang kuat dari pemerintah berbagai negara untuk meningkatkan produksi pangan disamping adanya daya tarik pasar komoditi pangan.  Pangan adalah suatu komoditi primer sehingga suplai nya relatif akan selalu direspon oleh pasar (global).  masalahnya akan muncul saat komoditi primer ini dipakai untuk tujuan sekunder bahkan tersier seperti yang terjadi dua tahun lalu dan memicu ancaman kelangkaan suplai pangan.
Mari kita periksa ancaman kelangkaan suplai pangan saat ini. Sekali lagi pemicu kelangkaan pangan saat ini adalah masalah anomali iklim yang mendeterminasi kegagalan produksi pangan di sejumlah negara produsen pangan utama.  Sebut saja Rusia mengalami kekeringan hebat sehingga mempengaruhi kemampuan produksi pangannya. Sampai-sampai pemerintah Rusi terpaksa menutup keran ekspornya guna mengantisipasi pemenuhan permintaan pangan dalam negerinya. Sebaliknya China malah mengalami bencana banjir yang mengagalkan produksi pangan tahun ini. Dengan jumlah penduduk yang demikian besarnya, terpaksa China harus menambah volume impor pangannya, juga untuk mengantisipasi permintaan dalam negerinya.  Kebijakan yang di luar kelaziman kedua negara ini saja mampu mengganggu keseimbangan suplai dan demand pangan global.  Jadinya semua negara, termasuk negara-negara kecil  melakukan ancang-ancang kebijakan keamanan pangan yang sama. Suplai pangan global terganggu dan dampak nya  inflasi dan ancaman krisis pangan global.

Pergeseran Dimensi Krisis
Ada hal menarik dari isu krisis pangan kali ini.  Faktor pemicunya bukan saja akibat tekanan penduduk dan juga buka saja karena masalah pemanasan global.  Tapi malah terjadi kombinasi tekanan antara kedua faktor dimaksud dan memberikan tenanan baru dengan format yang lebih kompleks.  Cara menggantisipasinya juga tidak bisa lagi berupa kebijakan berdimensi tunggal seperti kebijakan pelipatgandaan produksi pangan yang terjadi dalam tiga dasawarsa terakhir. Sudah diperlukan adanya pendekatan kebijakan yang lebih kompleks dengan mempertimbangan faktor tekanan penduduk dan anomali iklim akibat pemansan global. Ini baru kombinasi dua faktor dengan tekanan yang lebih berat.  Dapat diibayangkan bagaimana rumitnya pemerintah berbagai negara di dunia harus melakukan format ulang kebijakan keamanan pangannya jika yang menjadi determinan faktornya adalah kombinasi dari tiga atau lebih faktor. Sebut saja bagaimana kalau ditambah dengan faktor krisis energi, faktor kelangkaan erable land, faktor munculnya sejumlah besar konsumen klas menengah dengan konsumsi tinggi, faktor peperangan (terorisme), dsb.
 Saya percaya sejumlah negara di dunia sudah melakukan ancang-ancang antisipasi krisis pangan jilid berikut nya.  Sejumlah negara Eropa dan Amerika sudah mengantisipasi nya dengan kebijakan biofuelnya, ditambah dengan upaya menimbun stok pangan dalam negerinya bahkan untuk beberapa tahun ke depan. China sudah lama menerapkan kebijakan satu anak dan sejauh ini tergolong berhasil. Disamping itu China saat ini juga dikenal sebagai salah satu negara lumbung pangan dunia. Israel telah lama menerapkan praktek pertanian dengan sistem pemanfaatan air yang sangat efisien bahkan pemanfaatan potensi air laut dan berhasil melakukan ekspor pangan.  Lantas bagaimana dengan Indonesia?.

Ancangan Kebijakan
Alih-alih mengantisipasi ancaman krisis pangan berdimensi kompleks dengan kebijakan yang tepat. Keberhasilan menekan pertambahan penduduk melalui program KB saat ini hanya meninggalkan cerita indah bagi gerenasi baru.  Ikut-ikutan mengagas pemanfaatan energi alternatif sejauh ini belum ada cerita keberhasilan yang menarik untuk didengar. Yang terakhir, saat menghadapi ancaman krisis pangan global kali ini pemerintah Indonesia menanggapi nya dengan menyatakan bahwa Indonesia berada dalam keadaan aman dilihat dari cadangan pangan nasional.  Walaupun keadaan aman dimaksud hanya mampu bertahan untuk paling lama 6 bulan ke depan dengan cadangan pangan sekitar 1.4 juta ton.  Pertanyaannya adalah apa sampai di situ saja ancangan kebijakan pangan kita untuk mengantisipasi persoalan yang berdimensi jangka panjang? Atau kalau dibalik, maka pertanyaannya adalah bagaimana strategi keamanan pangan kita dalam menghadapi perubahan-perubahan di tingkat global, di saat banyak negara lainnya sudah jauh hari memiliki ancangan kebijakan keamanan pangan?. Kebijakan yang dikemukakan oleh pemerintah dalam menghadapi ancaman krisis pangan kali ini juga harus diakui tidak cukup strategis dalam jangka pendek.
Memang pemerintah sedang mengembangkan program extensifikasi tanaman pangan secara besar-besaran, khususnya di Merauke dan daerah potensil lainnya. Pengembangan kawasan pangan dalam skala luas atau food estate di Kabupaten Merauke, Papua diperkirakan memerlukan investasi sekitar Rp50 triliun hingga Rp60 triliun dengan luas potensil sekitar 200.000 hektare dan tambahan produksi padi (beras) mencapai satu juta ton  Tapi sebagaimana dijelaskan di atas, ancangan kebijakan keamanan pangan tidak bisa hanya berdimensi tunggal, apa lagi itu ditangani secara sektoral.  Kita memerlukan adanya suatu ancangan kebijakan yang lebih komprehensif guna  mengatasi isu ancaman krisis pangan yang juga berdimensi jamak.
Baca selengkapnya...

Mengapa pada masa ekonomi liberal saat ini muncul fenomena bahwa harga sejumlah produk pertanian “import” (bunga, kopi luwak) cendrung memiliki daya atraksi permintaan yang luar biasa sekalipun memiliki harga yang sangat tinggi dengan mutu relatif sama dengan komoditi lokal tradisional?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Ekonomi-politik liberal percaya pada kebebasan, bahwa manusia mampu menemukan apa yang baik, mampu berpikir bagi dirinya sendiri dan dalam proses mengejar kepentingan bagi dirinya sendiri akan membawa manfaat bagi orang lain. Kehidupan ekonomi Indonesia pada awalnya lebih banyak diatur oleh gelora sosialisme dan nasionalisme.  Kemudian pada era 1980an terjadi perubahan kiblat ekonomi Indonesia.  Kita semakin terintegrasi dengan perdagangan dunia yang asas-asasnya liberal. 
Saya membaca kumpulan Esai nya Rizal Mallarangeng (Dari Langit, 2008).  Dia mengatakan, negara-negara yang mulanya tertutup atau setengah tertutup, bahkan proteksional, saat ini cenderung membuka diri dan dengan mengintegrasikan diri ke dalam sistem perekonomian dunia saat ini, mereka mengalami kemajuan besar.  Mulai dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan. Hongkong, Malaysia, Thiland, Singapura, adalah contoh konkrit bahwa dengan membuka diri mereka mengalami kemajuan yang sangat besar.  Beliau mengatakan bahwa tanpa diperlukan teori yang canggih-canggih, akal sehat saja bisa menunjukkan bahwa kita menggunakan kebebasan (manusia) justru demi kesejahteraan manusia.  Mallarangeng ber-proposisi bahwa Indonesia tidak banyak mengalami kemajuan ekonomi karena kita setengah hati menganut paham liberal.  Mari kita debat apakah proposisi nya Rizal Mallarangeng benar.
Banyak ahli ekonomi yang berpendapat bahwa kesepakatan perdagangan bebas terlalu tergesa-gesa dilakukan pada saat negera berkembang belum siap untuk memulainya.  Akibatnya yang terjadi justru arus balik ekspansi dagang negara maju yang tidak dapat dibendung.  Penurunan angka kemiskinan di negara berkembang pun semakin jauh dari kenyataan.  Alih alih menurunkan angka kemiskinan, justru pemerintah negara berkembang semakin ”tertawan” oleh keterbatasan penganggaran yang disebabkan oleh penurunan pendapatan dari bea cukai yang sebenarnya sangat diperlukan untuk membiayai program-program penanggulangan kemiskinan.  Timothy Wise, ekonom dari Tufts University-Genewa, memperkirakan bahwa pemerintah negara miskin akan kehilangan empat kali lipat pendapatan bea cukai mereka dibanding yang diperoleh dari peningkatan perdagangan atau dari potensi ekspor yang akan dihasilkan dari kesepakatan WTO.  Demikian pula hasil kajian Sistem Riset dan Informasi Negara berkembang yang menyebutkan bahwa penghasilan negara miskin yang diperoleh dari kenaikan volume perdagangan dunia hanya akan mampu menutupi sekitar 25 % dari total kehilangan pendapatan dari bea masuk perdagangan sebesar 63 miliar  dollar AS.
Saya berpendapat bahwa memang paham neo-liberal dengan ciri perdagangan bebas secara teori dapat mendekatkan kesejahteraan umum melalui upaya menciptakan kesejahteraan individu. Tapi teori ini baru bisa berlaku jika dipenuhinya sejumlah asumsi dasar seperti perfect competition, perfect information, dsb.  Dalam banyak kasus asumsi dasar ini tidak terpenuhi, sehingga yang terjadi malah distorsi yang mendeterminasi ketimpangan dan kemiskinan.  Oleh karena itu diperlukan adanya campur tangan yang berimbang dari otoritas dalam hal ini pemerintah.  Persoalannya campur tangan pemerintah yang tidak berimbang dan salah alamat malah memberikan hasil yang lebih buruk dari pada membiarkan pasar bekerja”.
Jadi kita sebenarnya tidak perlu anti ideologi  liberal yang menekankan pada prinsip perdagangan bebas. Tapi kita perlu bangun pemahaman bahwa dalam perdagangan bebas tidak bisa kita terapkan prinsip pertarungan bebas.  Kita memerlukan otoritas yang mengatur agar pertarungan dagang berlangsung secara berimbang dan adil, walaupun keadilan dimaksud tidak harus diterjemahkan sama dan sebangun.  Bahkan kita memerlukan adanya tindakan keberpihakan (affirmative) dari pemerintah terhadap pelaku ekonomi rakyat yang kecil dan marginal agar dapat bertarung secara berimbang dalam perdagangan bebas.  Naibitt and Naisbitt (2010) dalam tulisan mereka tentang China,s Megatrends, mengatakan bahwa keberhasilan China dalam reformasi perekonomiannya yang mencengangkan buka terletak pada perubahan ideologi sosialis ke kapitalis.  China tidak pernah mengubah ideologi politik sosialis nya.  Jawaban keberhasilan reformasi ekonomi China bukan terletak pada ideologi tapi pada kinerja.
Di awal dekade 90an terjadi lonjakan pertumbuhan ekonomi yang tidak terkira sebelumnya, dan banyak pihak menduga saat itu dunia memasuki era pertumbuhan ekonomi baru yang dicoraki oleh perekonomian yang semakin meng-global.  Namun pada akhir dekade 90an ternyata pertumbuhan ekonomi yang begitu signifikan mengalami peluruhan (bust) karena resesi yang tidak terduga sebelumnya.  Semuanya karena pertumbuhan ekonomi global semula sebenarnya hanya semacam ”gelembung ” (bubble) sehingga terjadi semacam kamuflase  pada tingkat global.  Bubble economy karena kapitalisme terlalu mendominasi dinamika ekonomi global sehingga berkembang menjadi tidak terkontrol.  Kaum kapitalis yang semula sangat mengandalkan orientasi rasionalitas individu untuk memperoleh profit membangun suatu ”optimisme irasional” dengan menaikan harga saham sejumlah perusahan yang tidak merefleksikan kinerja aktualnya.
Sejak teori ekonomi klasik dipelopori oleh Adam Smith, para penganut paham neo-liberal menaruh harapan akan peningkatan kesejahteraan umum dengan membiarkan induvidu melakukan rasionalisasi perolehan profit tanpa perlu adanya campur tangan untuk membatasinya (liberal).  Tentunya paham ini didahului oleh adanya asumsi tentang “perfect information” dan berkerjanya “invisible hand”.  Saya berpendapat bahwa kaum neo-liberal dan fundamentalis pasar sebenarnya keliru karena tidak terpenuhinya asumsi dasar dimaksud. Pengejaran kepentingan diri sendiri telah dipromosikan menjadi ikon kesejahteraan universal bukan saja pada tingkat individu pada teori pasar, tetapi juga menjadi ikon sosial.  Fundamentali pasar adalah ancaman terbesar bagi masyarakat global dibanding komunisme.  “Komunisme dan bahkan sosialisme sudah bangkrut tetapi fundamentalisme pasar sedang naik daun” (Soros, 2000)
Saya membayangkan adanya kesulitan bagi kaum awam, saat menguraikan tentang fenomena harga sebagai dampak neo-liberalisme. Oleh karena itu saya ingin menjelaskan tentang “buble economy” karena didorong oleh sikap optimisme irasional dengan memberikan ilustrasi tentang fenomena bunga “Gelombang Cinta”.
Hampir setiap kita, khususnya para ibu tentunya mengetahui tentang bunga gelombang cinta.  Masih ingatkah kita betapa tingginya harga sebuah bunga gelombang cinta saat pertama kali memasuki pasar bunga dan dikenal luas oleh publik.  Harganya begitu melangit bahkan ada yang menjadi ratusan juta rupiah untuk ukuran sedang.  Dan kita semua tidak mempunyai dasar rasionalisasi yang baik, mengapa harga bungan itu mbgitu melangit saat itu.  Yang jelas karena permintaannya yang begitu tinggi disamping suplainya sangat terbatas menyebabkan hampir semua Ibu ingin memilikinya.  Tapi saya menduga harga yang sangat tinggi saat itu juga tidak lepas dari faktor pembentukan opini yang menempatkan bunga dimaksud menjadi suatu barang mewah (luxury good). 
Sekarang harga bunga gelombang cinta dimaksud dengan ukuran, bentuk dan warna yang sama turun begitu drastis dari ratusan juta rupiah menjadi hanya belasan ribu rupiah.  Kita lalu bertanya tanya apa lebihnya bunga dimaksud sehingga harganya beberapa waktu lalu begitu melangit? Apa lebihnya benda itu dibanding saat ini? Padahal barangnya tetap sama, manfaatnya juga sama, keindahannya juga tidak berubah.
Cerita di atas memberikan ilustrasi tentang apa yang disebut sebagai “gelembung ekonomi (buble economy).  Harga bunga yang tinggi saat itu hanya seperti gelembung harga saja. Tidak menggambarkan nilai sebenarnya dari benda dimaksud.  Begitu gelembung harga itu pecah, baru orang menyadari bahwa bunga itu sebenarnya bunga biasa seperti bunga hias lainnya.  Harganya tidak perlu tinggi.  Tapi orang sudah terlanjur membelinya. Bila perlu saat itu kita meminjam uang (hutang) hanya untuk memilikinya.  Sudah terlanjur rugi, tapi mau bilang apa hutang harus tetap dibayar.  Kita baru sadari bahwa saat itu kita sangat tidak rasional dengan membangun optimisme bahwa ini barang mewah yang perlu dimiliki.  Optimisme seperti ini yang saya sebut dengan optimisme irasional.  Oleh karena itu kita percaya bahwa kalau harga suatu barang hanya diserahkan pada mekanisme pasar, maka kita semua bisa tertipu.  Itu yang disebut sebagai bias pasar. Jadi kita memerlukan orang lain yang mengontrol mekanisme pasar bunga gelombang cinta agar harganya rasional.  Dan dalam hal mengontrol pasar maka yang memiliki otoritas dalam hal ini adalah pemerintah
Nah sekarang coba kalau pemahaman ini kita bawakan pada pasar barang dan jasa dunia yang menganut paham neo-liberal dengan prinsip perdagangan bebas.  Tidak ada capur tangan pemerintah ataupun kalau ada harus seminim mungkin.  Bagaimana kalau terjadi bias pasar seperti cerita di atas.  Berapa banyak orang yang akan mengalami kerugian? Berapa banyak Bank yang ambruk karena para nasabah tidak mampu membayar bunga kredit? Selanjutnya berapa banyak orang di dunia yang akan terpuruk dalm kemiskinan? dsb.  Dan fenomena yang sama itulah yang terjadi dengan krisis finansial tahun 2008 lalu dimulai di Amerika.  Cuma barangnya bukan lagi bunga gelombang cinta tapi properti.  Kehancuran sektor properti ini akhirnya menyebabkan ambruknya Bank-Bank besar di negara-negara maju sekaligus pengangguran dan kemiskinan tidak saja di Amerika tapi bahkan hampir di seluruh dunia.  Inilah dampak buruk mekanisme ekonomi pasar bebas tanpa campur tangan otoritas pemerintah yang berimbang.
Buah dari kemerosotan ekonomi pada era perdagangan bebas adalah kemiskinan yang melanda  sejumlah negara periferi dari pusat kapitalismes yang dipelopori Amerika.  George Soros (2006) mengatakan bahwa sistem kapitalisme saat ini terlalu banyak memberikan bobot pada motif profit dan persaingan, tapi gagal melindungi kepentingan umum. Inilah dampak buruk dari neo-liberalisme ekonomi yang menggiring pada radikalisme pasar tanpa dan tidak memberikan ruang sedikitpun bagi otoritas untuk melakukan intervensi.  Sekali lagi kita masih memerlukan campur tangan pemerintah dalam mengatur mekanisme prdagangan bebas dalam sistem ekonomi-politik liberal.  Tapi capur tangan pemerintah juga harus berimbang dan tidak boleh salah alamat agar hasilnya bisa lebih baik dari bekerjanya mekanisme pasar bebas. 
Baca selengkapnya...

Mengapa ternjadi fenomena “loncatan” tenaga kerja muda dari sektor pertanian berbasis lahan ke sektor informal perkotaan dalam 10 tahun terakhir?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Data publikasi BPS menunjukkan bahwa sektor primer pertanian mengalami pertumbuhan dengan laju yang konstant, bahkan berkecenderungan menurun dari tahun ke tahun.  Hasil analisis produktivitas tenaga kerja yang diukur dari rasio PDRB sektor (harga konstant 1993) dengan jumlah tenaga kerja pada sektor yang bersangkutan menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian di bawah Rp. 1 juta, sedangkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertambangan hampir mencapai Rp.5 juta, dan sektor jasa-jasa kemasyarakatan  hampir mencapai Rp. 8 juta.  Jumlah daya tampung sektor pertanian juga cenderung semakin menurun dari tahun ke tahun.
Deskripsi data di atas secara keseluruhan menunjukkan bahwa kinerja sektor pertanian saat ini sudah semakin menurun.  Dapat dikatakan bahwa jumlah rupiah yang digunakan sebagai input di sektor ini akan menghasilkan nilai tambah dengan margin kenaikan yang semakin lama semakin menurun.  Sektor pertanian khususnya lahan (land based economy) telah mencapai fase pertumbuhan dengan kecepatan yang semakin menurun (decreasing rate of growth).  Jelas bahwa sektor ini meragakan tingkat efisiensi penggunaan input khususnya input tenaga kerja yang rendah dibanding sektor-sektor lainnya. 
Secara agregat dapat dikatakan bahwa tingkat kompetisi di sektor pertanian lahan ini sudah semakin tinggi, walaupun secara parsial masih ditemukan sebaran tenaga kerja yang tidak merata antar wilayah.  Demikian tingginya tingkat kompetisi di sektor pertanian lahan ini menyebabkan sebagian tenaga kerja harus “terdepak” ke luar sektor ini yang ditandai dari semakin menurunnya besaran persentase tenaga kerja yang  bekerja di sektor ini dari waktu ke waktu.  Secara struktur kita juga mengharapkan adanya penurunan jumlah tampungan tenaga kerja di sektor ini untuk kemudian diikuti oleh kenaikan proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor sekunder (industri). Penurunan proporsi tampung tenaga kerja oleh sektor pertanian diharapkan akan kembali memacu produktivitas per kaputa.  Tapi sayangnya, pergerakan keluar sejumlah tenaga kerja dari sektor pertanian lahan ini bukan merupakan suatu hasil dari program perencanaan pengembangan tenaga kerja yang mantap dalam upaya mempersiapkan tenaga kerja yang siap memasuki sektor sekunder atau sektor tersier dengan skill yang memadai.  Atau setidaknya dapat mempersiapkan tenaga kerja yang sebagian besar menumpuk di sektor pertanian lahan ini, untuk mampu memanfaatkan sumberdaya non-lahan lainnya seperti laut dan pesisir yang belum dikelola secara optimal, atau kegiatan off-farm yang  belum banyak mendapat sentuhan kebijakan.
Jadi sebenarnya pergerakan keluar sejumlah tenaga kerja dari sektor pertanian lahan ke sektor sekunder dan/atau jasa khususnya di perkotaan hanya soal justifikasi persaingan pasar yang terjadi antar sektor, tanpa adanya campur tangan kebijakan pemerintah yang proporsional dan terarah.  Akibatnya, keluarnya sejumlah tenaga kerja dari sektor pertanian lahan ini hanya meragakan suatu pergeseran situasi marginal dari sektor  pertanian lahan ke sektor lainnya.  Tapi kemiskinan tetap saja mengikuti mereka ke mana pun perginya.  Karena pada prinsipnya mereka keluar dengan skill seadanya, sehingga tidak juga mampu untuk bersaing di sektor non-pertanian lahan, khususnya sektor industri yang membutuhkan kualifikasi skill yang tinggi.
Baca selengkapnya...

Petani cukup memahami bahwa kebutuhan pangannya dapat dipenuhi dengan melakukan strategi pemasaran yang baik, tanpa harus menyimpan komoditi pangan nya untuk satu musim tanam. Tetapi mengapa hal tersebut tidak dilakukan?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Perlu disadari bahwa hampir sebagian besar petani lahan kering adalah petani subsisten.  Pada semua tipe dan tingkatan perkembangan masyarakat, termasuk masyarakat tani yang subsisten, maka orientasi keamanan pangan menjadi prioritas dibanding orientasi ekonomi uang.  Oleh karena itu petani lahan kering lebih memilih untuk menyimpan cadangan pangannya dengan cara paling aman menurut nya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarga nya selama satu tahun (satu musim tanam).  Dihadapkan dengan kenyataan keterbatasan akses modal, keterbatasan akses asuransi, keterbatasan akses pasar, dsb., maka para petani jelas tidak berani mengambil risiko untuk menjuang cadangan pangannya sekalipun dengan opsi harga yang sangat tinggi.  Terlalu mahal harga keamanan pangan selama satu tahun dibandingkan dengan jumlah uang yang ditawarkan. Jadi kalaupun para petani lahan kering harus menjual komoditi pangannya untuk tujuan memperoleh cash money bagi pemenuhan kebutuhan hidup lainnya, maka harus ada kompensasi keamanan pangan bagi dirinya beserta kleluarga.Para petani lahan kering lebih memilih untuk menjual komoditi lain selain komoditi pangan guna memperoleh cash money, dibanding harus menjual stok pangan nya.
Demikianlah teori ekonomi modern memandang tentang kecilnya risiko yang diambil berbanding lurus dengan manfaat ekonomi yang akan diperoleh. Yang jelas petani tidak melakukan kalkulasi dengan dasar rasionalisasi ekonomi modern jika itu menyangkut hidup-mati diri dan keluarganya. Tapi perilaku savety first para petani lahan kering, tidak bisa diukur dengan dasar rasionalisasi ekonomi, karena hal ini terkait erat dengan nilai budaya yang menjadi orientasi para petani lahan kering.  Secara kultur, tabu hukumnya bagi kebanyakan para petani lahan kering untuk menjual komoditi pangan pokokny.  Apalagi risiko menjual komoditi pangan pokoknya harus dihadapkan dengan kerawanan pangan bagi diri dan keluarga selama satu musim.  Biaya  sosial nya terlalu mahal untuk ditanggung oleh seorang petani lahan kering. Kejadian seperti ini merupakan suatu situasi  disorientasi kultural yang harus  dicegah oleh kebanyakan masyarakat tani lahan kering.
Baca selengkapnya...

Asumsi awal mengatakan bahwa kemiskinan pada daerah dengan tipe pertanian lahan kering disebabkan oleh keterisolasian wilayah. Tapi mengapa setelah dilakukan pembangunan infrastruktur untuk membuka isolasi wilayah termasuk jalan dan moda transportasi, ternyata tidak mampu mendongkrat kinerja pembangunan pertanian lahan kering?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Transportasi merupakan salah satu mata rantai jaringan distribusi barang dan mobilitas penumpang yang berkembang sangat dinamis, serta berperan dalam mendukung, mendorong dan menunjang pembangunan (politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan).  Pada saat yang sama bidang infrastruktur transportasi masih banyak bersifat non cost recovery yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pengalaman pembangunan pertanian lahan kering yang didorong oleh ketersediaan infrastruktur untuk membuka isolasi wilayah dapat diikuti dari telahan pembangunan pertanian Bali, NTB dan NTT yang memiliki potensi lahan kering yang cukup luas.  Saat   masih menjadi satu kesatuan wilayah administratif Provinsi Sunda Kecil, ketiga wilayah memiliki infrastruktur jalan dan akses transportasi serta kondisi perekonomian wilayah yang relatif sama.  Ketimpangan pembangunan ekonomi ketiga wilayah mulai muncul seiring dengan dibubarkannya Provinsi Sunda Kecil atas prakarsa NTT pada tanggal 11 September 1958 dengan UU no.64 Thn 1958 (Ben Mboi, Pers. Com, 2008).
Perekonomian Bali tumbuh melejit sendiri meninggalkan dua saudaranya.  Data BPS (2007) menyebutkan bahwa pendapatan perkapita Bali saat ini mencapai Rp.11.18 juta/thn atau kurang lebih sama dengan rerata pendapatan perkapita nasional.  Pada saat yang sama NTB memiliki pendapatan perkapita sekitar Rp.7.3 juta/thn sedangkan NTT terpuruk pada angka Rp. 3.8 Juta/thn. 
Cerita tentang efek Triple-T Revolution (Kontjoro jakti, 2004) yang mendeterminasi dinamika pembangunan suatu wilayah sangat jelas terjadi di Bali, khususnya transportasi dan travel yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengembangan sektor pariwisata sebagai andalan perekonomian daerah.  Secara relatif kita boleh katakan bahwa dibanding dua wilayah lainnya, Bali sangat jauh meninggalkan NTB apalagi NTT dalam hal pengembangan sektor pariwisata sebagai andalan perekonomian daerah, bahkan mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya.
Walaupun pemicu pengembangan sektor pariwisata Bali sejatinya bukan disebabkan oleh telekomunikasi, transportasi dan travel  (3-T), tetapi dalam perkembangan sektor pariwisata Bali yang dipicu oleh konstruksi budaya lokal, mendapat penguatan akselerasi (pemacu) dari kemajuan dan perkembangan 3-T yang sangat pesat, khususnya T-transportasi.
mengapa saya berani katakan bahwa ketiga faktor-T dimaksud bukan sebagai pemicu perkembangan perekonomian Bali melalui sektor pariwisata daerahnya? Karena pada awalnya ketiga wilayah ini memiliki akses infrastruktur transportasi yang relatif tidak jauh berbeda saat ketiganya masih tergabung dalam satu Provinsi Sunda Kecil.  Tapi setelah ketiganya dipisahkan ke dalam tiga wilayah administratif (1958), maka secara tidak sengaja Bali memilih pengembangan sektor pariwisata sebagai basis pengembangan perekonomian daerahnya dengan mengandalkan daya dorong kebudayaan daerah ditunjang oleh pesona alamnya.  Dan ternyata pilihan Bali saat itu tidak salah, terbukti dari kemajuan ekonomi Bali yang melampaui kinerja pembangunan ekonomi kedua daerah lainnya bahkan melampaui daerah lainnya di Indonesia.
NTB dan NTT bukannya sama sekali tidak melirik atau tidak memiliki ekspektasi tentang kekuatan daya dorong sektor pariwisata daerah. Tapi nampaknya pengembangan sektor pariwisata daerah tidak bersinergi secara konstruktif dengan pengembangan infrastruktur dasar khususnya transportasi di kedua wilayah ini. Atau minimal pengembangan infrastruktur transportasi, lambat mengalami integrasi yang kuat dengan pengembangan sektor pariwisata daerah seperti yang terjadi di NTB.  Atau pengembangan infrastruktur dimaksud yang lebih diarahkan untuk diintegrasikan dengan pengembangan sektor non-pariwisata, khususnya sektor pertanian lahan kering seperti yang terjadi di NTT. 
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pilihan pengembangan infrastruktur transportasi yang diitegrasikan secara kuat dengan sektor pertanian daerah.  Pilihan seperti itu memang sesuai dengan kenyataan basis ekonomi masing-masing daerah.  Persoalannya adalah pembangunan infrastruktur dasar kurang bersinergi secara kuat dengan sektor pertanian itu sendiri, karena konstruksi sosial budaya masyarakat tani yang kurang akomodatif terhadap tuntutan perubahan.
Sebagai contoh, pada dekade 1970an sampai 1980an, keterisolasian wilayah menjadi faktor penyebab kemiskinan, khususnya di NTT.  Oleh karena itu pada periode 1978 -1988, pemerintah melakukan investasi publik besar-besaran dengan pembangunan jalan dan pelabuhan sebagai upaya kuat membuka keterisolasian wilayah NTT yang terkenal cukup extrim baik dalam hal topografi maupun geologinya.  
Sejumlah besar daerah terpencil di buka untuk akses masyarakat terhadap dinamika pembangunan ekonomi maupun sosial.  Walaupun pemerintah telah mengeluarkan anggaran pembangunan yang cukup besar bagi investasi publik di sektor infrastruktur transportasi, tapi pengamatan empirik menunjukkan bahwa hal tersebut tidak sebanding dengan nilai tambah ekonomi yang seharusnya dinikmati oleh masyarfakat perdesaan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan.  Justru yang terjadi adalah eksploitasi sektor ekonomi perkotaan terhadap perekonomian desa melalui ekspansi pasar produk-produk perkotaan dan memicu perilaku konsumtif masyarakat perdesaan. 
Seharusnya pembukaan isolasi wilayah melalui pembangunan infrstruktur transportasi dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh masyarakat tani perdesaan untuk akses pasar input sarana produksi dan terutama pemasaran produk pertanian lahan kering.  Pada prinsipnya memang pembangunan infrastruktur transportasi telah memperlancar arus input sarana produksi dan pemasaran hasil pertanian, tetapi daya ekspansi dimaksud masih terlalu kecil dibanding ekspansi sektor perkotaan. Sehingga secara marginal sebenarnya desa dengan sektor ekonominya justru mengalami kooptasi oleh sektor ekonomi perkotaan.  Fenomena ini disebabkan oleh karena masyarakat perdesaan khususnya di sektor pertanian lahan kering kurang siap menghadapi keterbukaan ekonomi wilayah melalui pembangunan infrastruktur jalan  dan akses transportasi yang berkonsekwensi pada tingginya persaingan pasar.
Pembangunan infrastruktur jalan dan akses transportasi memang merupakan syarat harus (the first order condition) bagi dinamika ekonomi melalui pembangunan sektor pertanian suatu wilayah.  Tapi pendekatan kebijakan ini saja tidaklah cukup.  Masih diperlukan syarat cukup (the second order condition) berupa kebijakan penguatan sumberdaya manusia beserta potensi sumberdaya lahan kering yang dimiliki untuk siap menghadapi keterbukaan  pasar dan persaingan yang tinggi.  Konsistensi pendekatan seperti ini yang kurang dilakukan oleh pemerintah beserta seluruh pemangku kepentingan lainnya dalam mengkonstruksi suatu tatanan sosial-ekonomi masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan perubahan.
Berbeda halnya dengan Bali yang memilih sektor pariwisata daerah sebagai lokomotif pengembangan ekonominya.  Tatanan sosial budaya masyarakat Bali dan potensi sumberdaya alamnya memang sangat akomodatif terhadap pengembangan sektor ini.  Dengan kedua faktor pemicu ini, maka pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi di Bali tinggal berintegrasi secara konstruktif untuk memacu pengembangan sektor pariwisata daerah sebagai basis pengembangan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat nya.
NTB memiliki cerita tersendiri.  Semula NTB memilih pengembangan infrastruktur pertanian untuk pengembangan ekonomi wilayahnya.  Namun sebagaimana ceritanya di NTT, sektor pertanian perdesaan, khususnya pertanian lahan kering juga tidak berkinerja cukup baik untuk mendongkrak perekonomian wilayahnya.  Menyadari kenyataan ini NTB saat ini cenderung memacu pengembangan ekonomi wilayah melalui sektor pariwisatanya.  Memang kelihatannya terlambat, tetapi minimal infrastruktur dan sarana transportasi NTB sudah dikembangkan untuk mendukung pengembangan sektor pariwisata daerah, khususnya NTB bagian Barat.  Kebetulan wilayahnya yang berbatasan langsung dengan Bali dan sebagian tatanan sosial-budaya masyarakat NTB bagian Barat mendapat pengaruh kuat budaya Bali, menyebabkan daerah ini sangat dimungkinkan untuk mendapat imbas positif dinamika pengembangan sektor pariwisata Bali.  Sebaliknya NTT sampai saat ini masih belum nampak strategi khusus pengembangan infrastruktur dasar yang dihubungkan secara kuat dengan sektor ekonomi basis yang telah mendapat penguatan di daerah.

Baca selengkapnya...

Mengapa sektor pertanian lahan kering indentik dengan kemiskinan padahal terdapat sejumlah potensi yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan kesejahteraan?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Kita akan membahas faktor penyebab dari dua perspektif yaitu dari perspektif kedudukan petani lahan kering dalam peta persaingan global (faktor eksternal) dan dari perspektif konstruksi Sosial Budaya masyarakat tani lahan kering (faktor internal).

Perspektif Kedudukan Petani Lahan Kering
dalam Peta Persaingan Global
Dekade globalisasi ekonomi saat ini  menempatkan sektor finansial khususnya capital memainkan suatu peranan kunci.  Ada aliran modal yang sangat besar dari sejumlah besar negara-negara maju yang dipelopori oleh Amerika ke bebagai belahan dunia. Dan kaum kapitalis sepertinya menunjukkan suatu kemenangan besar .  Bukan saja kapitalisme berhasil mengalahkan komunisme, tetapi juga kapitalisme versi Amerikan (yang didasari pada prinsip individu mencari rasionalisasi keuntungan) mengalahkan versi lain kapitalisme yang sebenarnya lebih lunak dan halus.  Dunia memproklamirkan kemenangan kapitalisme, seiring dengan globalisasi menyebarkan kapitalisme gaya Amerika ke seluruh dunia (Joseph Stiglitz, 2003).
Di awal dekade 90an terjadi lonjakan pertumbuhan ekonomi yang tidak terkira sebelumnya, dan banyak pihak menduga saat itu dunia memasuki era pertumbuhan ekonomi baru yang dicoraki oleh perekonomian yang semakin meng-global.  Namun pada akhir dekade 90an ternyata pertumbuhan ekonomi yang begitu signifikan mengalami peluruhan (bust) karena resesi yang tidak terduga sebelumnya. Bahkan fenomena ini kembali terulang pada akhir 2008 dengan Amerika sebagai pemicu sekaligus sebagai korban yang paling menderita dan dampaknya masih terus dirasakan sampai sat ini. Semuanya karena pertumbuhan ekonomi global semula sebenarnya hanya semacam ”gelembung ”(bubble) sehingga terjadi semacam kamuflase  pada tingkat global.  Bubble economy karena kapitalisme terlalu mendominasi dinamika ekonomi global sehingga berkembang menjadi tidak terkontrol.  Kaum kapitalis yang semula sangat mengandalkan orientasi rasionalitas individu untuk memperoleh profit membangun suatu ”optimisme irasional” dengan menaikan harga saham sejumlah perusahan (property) yang tidak merefleksikan kinerja aktualnya.
Saya mengutip pendapat J. Stiglitz (2003) yang mempertegas pernyataan di atas:
”...Dari kapitalisme Amerika yang digdaya di seluruh dunia menjadi kapitalisme Amerika yang melambangkan segala kebejatan ekonomi pasar.  Dari globalisasi yang membawa manfaat tak terkira menjadi resesi pertama di era baru globalisasi.  Dari ekonomi baru yang menjanjikan menjadi ekonomi baru yang malah membuahkan kerugian jauh lebih besar”
Salah satu ciri dari kegagalan pembangunan ekonomi sejumlah negara pada era globalisasi ekonomi adalah kemiskinan.  Dan kemiskinan yang paling menonjol adalah kemiskinan yang diragakan oleh sejumlah negara yang paling sedikit  mendapat manfaat dari dinamika perputaran kapital. Sebaliknya sejumlah negara maju sebut saja Amerika dan negara-negara eropa justru menerima manfaat besar dari tinggi nya perputaran kapital global.  Bahkan demikian dinamisnya pergerakan kapital global ini menyebabkan beberaapa negara yang semula sangat mengidolakan manfaat kapital malah dilanda oleh “roda” kapitalisme. Amerika dan beberapa negara eropa justru mengalami goncangan ekonomi dengan dampak yang sangat besar akibat dilindas oleh roda kapitaklisme.  Beberapa negara maju ini bahkan dihantui oleh ancaman pengangguran dan kemiskinan yang diaalami oleh warga negaranya akibat ambruknya sejumlah perusahan berskala besar. Warga negara disejumlah negara berkembang, termaasuk para petani lahan kering yang paling sedikit menerima manfaat pergerakan kapital, juga mengalami masalah pelik kemiskiinan, karena kapitalisme  “membuat tembok pembatasbagi mereka untuk mengeksploitasi sumberdaya alam yang dimiliki.
George Soros (2006) mengatakan bahwa:
sistem kapitalisme saat ini terlalu banyak memberikan bobot pada motif profit dan persaingan, tapi gagal melindungi kepentingan umum. Hasilnya berupa sistem perputaran  raksasa yang menghisap modal ke lembaga-lembaga keuangan dan pasar di pusat kemudian memompanya ke luar, ke pinggiran”.
Paham kapitalisme juga mendeterminasi model penjajahan gaya baru, khususnya penjajahan hak cipta atau royalti yang harus ditanggung oleh masyarakat di negara-negara berkembang.  Termasuk didalamnya penjajahan atas nama royalti yang harus dipikul oleh para petani lahan kering di Indonesia.  
Laksamana Sukardi (208) memberikan cerita tentang:
”.....bagaimana anak-anak Indonesia yang senang memakan coklat Switzerland dipaksa harus membayar sejumlah Rupiah kepada Switzerland karena Royalti.
Padahal Zwitzerland sama sekali tidak memiliki perkebunan kakao dan mereka memperoleh coklat yang berasal dari para petani lahan kering di Sulawesi Tenggara dan mungkin NTT. Para petani lahan kering yang memiliki akses terbatas terhadap pasar harus menerima kenyataan menerima harga rendah yang ditentukan oleh mekanisme pasar global. Sebaliknya para pengusaha industri coklat di negara maju justru menikmati keuntungan besar dari bisnis coklat nya hanya karena mereka dilindungi oleh aopa yang disebut dengan “royalti”.  Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh para petani lahan kering kita dalam mengikuti dinamika pasar global.  Sekali lagi kemiskinan menjadi ancaman yang menhantui kehidupan para petani kita baik yang disebabkan oleh keadaan sumberdaya alam, keterbelakangan, keterbatasan akses, maupun mekanisme pasar global.

Perspektif Konstruksi Sosial Budaya
Masyarakat Tani Lahan Kering
Ada persoalan mendasar menyangkut budaya yang ‘mengurung’  para petani lahan kering.  Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi bagi para petani lahan kering baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar petani lahan kering masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka.  Selalu ada saja jarak antara kesadaran berpikir dengan relaitas perilaku nusaha para petani lahan kering.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri para petani kita. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku petani yang berhubungan dengan cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu program pemberdayaan ekonomi petani lahan kering, harus pula diintegrasikan dengan pendekatanan rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering). Strategi ini diperlukan untuk merubah inner life pelaku ekonomi rakyat sekaligus untuk mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan perubahan. 
Aspek konstruksi sosial budaya sangat kental mewarnai ragaan dunia usaha pertanian lahan kering. Konstruksi sosial-budaya masyarakat selalu menempatkan sektor pertanian lahan kering khususnya on-farm sebagai sektor yang inferior dibanding sektor-sektor lainnya? Masyarakat kita masih mengidentikan sektor pertanian lahan kering dengan kemiskinan. Mereka yang bekerja di sektor ini adalah orang-orang miskin. Para petani kita juga sadar, bahwa kenyataannya mereka miskin.
Diperlukan adanya terobosan rekayasa sosial-budaya dalam menghadapi konstruksi sosial-budaya masyarakat yang tidak cukup kondusif dalam mendorong pengembangan sektor pertanian lahan kering. Program pemberdayaan kondisi ekonomi di sektor on-farm dalam rangka “menggiring” para generasi muda produktif untuk mengambil peran sebagai aktor utama, tidak bisa hanya melalui pendekatan ekonomi semata. Tapi perlu dimulai dari pendekatan rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk mengubah etos kerja masyarakat tani kita. Jika tidak, maka program-program pemberdayaan ekonomi di sektor pertanian on-farm hanya bersifat hit and run. Begitu program pemberdayaan selesai, maka para petani lahan kering kita juga kembali terpuruk dalam  kemiskinan.



Baca selengkapnya...

Cari Informasi