http://www.webdirectory.com/Science/Agriculture/ Dialektika Pertanian Lahan Kering: Mengapa sektor pertanian lahan kering indentik dengan kemiskinan padahal terdapat sejumlah potensi yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan kesejahteraan?

Mengapa sektor pertanian lahan kering indentik dengan kemiskinan padahal terdapat sejumlah potensi yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan kesejahteraan?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Kita akan membahas faktor penyebab dari dua perspektif yaitu dari perspektif kedudukan petani lahan kering dalam peta persaingan global (faktor eksternal) dan dari perspektif konstruksi Sosial Budaya masyarakat tani lahan kering (faktor internal).

Perspektif Kedudukan Petani Lahan Kering
dalam Peta Persaingan Global
Dekade globalisasi ekonomi saat ini  menempatkan sektor finansial khususnya capital memainkan suatu peranan kunci.  Ada aliran modal yang sangat besar dari sejumlah besar negara-negara maju yang dipelopori oleh Amerika ke bebagai belahan dunia. Dan kaum kapitalis sepertinya menunjukkan suatu kemenangan besar .  Bukan saja kapitalisme berhasil mengalahkan komunisme, tetapi juga kapitalisme versi Amerikan (yang didasari pada prinsip individu mencari rasionalisasi keuntungan) mengalahkan versi lain kapitalisme yang sebenarnya lebih lunak dan halus.  Dunia memproklamirkan kemenangan kapitalisme, seiring dengan globalisasi menyebarkan kapitalisme gaya Amerika ke seluruh dunia (Joseph Stiglitz, 2003).
Di awal dekade 90an terjadi lonjakan pertumbuhan ekonomi yang tidak terkira sebelumnya, dan banyak pihak menduga saat itu dunia memasuki era pertumbuhan ekonomi baru yang dicoraki oleh perekonomian yang semakin meng-global.  Namun pada akhir dekade 90an ternyata pertumbuhan ekonomi yang begitu signifikan mengalami peluruhan (bust) karena resesi yang tidak terduga sebelumnya. Bahkan fenomena ini kembali terulang pada akhir 2008 dengan Amerika sebagai pemicu sekaligus sebagai korban yang paling menderita dan dampaknya masih terus dirasakan sampai sat ini. Semuanya karena pertumbuhan ekonomi global semula sebenarnya hanya semacam ”gelembung ”(bubble) sehingga terjadi semacam kamuflase  pada tingkat global.  Bubble economy karena kapitalisme terlalu mendominasi dinamika ekonomi global sehingga berkembang menjadi tidak terkontrol.  Kaum kapitalis yang semula sangat mengandalkan orientasi rasionalitas individu untuk memperoleh profit membangun suatu ”optimisme irasional” dengan menaikan harga saham sejumlah perusahan (property) yang tidak merefleksikan kinerja aktualnya.
Saya mengutip pendapat J. Stiglitz (2003) yang mempertegas pernyataan di atas:
”...Dari kapitalisme Amerika yang digdaya di seluruh dunia menjadi kapitalisme Amerika yang melambangkan segala kebejatan ekonomi pasar.  Dari globalisasi yang membawa manfaat tak terkira menjadi resesi pertama di era baru globalisasi.  Dari ekonomi baru yang menjanjikan menjadi ekonomi baru yang malah membuahkan kerugian jauh lebih besar”
Salah satu ciri dari kegagalan pembangunan ekonomi sejumlah negara pada era globalisasi ekonomi adalah kemiskinan.  Dan kemiskinan yang paling menonjol adalah kemiskinan yang diragakan oleh sejumlah negara yang paling sedikit  mendapat manfaat dari dinamika perputaran kapital. Sebaliknya sejumlah negara maju sebut saja Amerika dan negara-negara eropa justru menerima manfaat besar dari tinggi nya perputaran kapital global.  Bahkan demikian dinamisnya pergerakan kapital global ini menyebabkan beberaapa negara yang semula sangat mengidolakan manfaat kapital malah dilanda oleh “roda” kapitalisme. Amerika dan beberapa negara eropa justru mengalami goncangan ekonomi dengan dampak yang sangat besar akibat dilindas oleh roda kapitaklisme.  Beberapa negara maju ini bahkan dihantui oleh ancaman pengangguran dan kemiskinan yang diaalami oleh warga negaranya akibat ambruknya sejumlah perusahan berskala besar. Warga negara disejumlah negara berkembang, termaasuk para petani lahan kering yang paling sedikit menerima manfaat pergerakan kapital, juga mengalami masalah pelik kemiskiinan, karena kapitalisme  “membuat tembok pembatasbagi mereka untuk mengeksploitasi sumberdaya alam yang dimiliki.
George Soros (2006) mengatakan bahwa:
sistem kapitalisme saat ini terlalu banyak memberikan bobot pada motif profit dan persaingan, tapi gagal melindungi kepentingan umum. Hasilnya berupa sistem perputaran  raksasa yang menghisap modal ke lembaga-lembaga keuangan dan pasar di pusat kemudian memompanya ke luar, ke pinggiran”.
Paham kapitalisme juga mendeterminasi model penjajahan gaya baru, khususnya penjajahan hak cipta atau royalti yang harus ditanggung oleh masyarakat di negara-negara berkembang.  Termasuk didalamnya penjajahan atas nama royalti yang harus dipikul oleh para petani lahan kering di Indonesia.  
Laksamana Sukardi (208) memberikan cerita tentang:
”.....bagaimana anak-anak Indonesia yang senang memakan coklat Switzerland dipaksa harus membayar sejumlah Rupiah kepada Switzerland karena Royalti.
Padahal Zwitzerland sama sekali tidak memiliki perkebunan kakao dan mereka memperoleh coklat yang berasal dari para petani lahan kering di Sulawesi Tenggara dan mungkin NTT. Para petani lahan kering yang memiliki akses terbatas terhadap pasar harus menerima kenyataan menerima harga rendah yang ditentukan oleh mekanisme pasar global. Sebaliknya para pengusaha industri coklat di negara maju justru menikmati keuntungan besar dari bisnis coklat nya hanya karena mereka dilindungi oleh aopa yang disebut dengan “royalti”.  Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh para petani lahan kering kita dalam mengikuti dinamika pasar global.  Sekali lagi kemiskinan menjadi ancaman yang menhantui kehidupan para petani kita baik yang disebabkan oleh keadaan sumberdaya alam, keterbelakangan, keterbatasan akses, maupun mekanisme pasar global.

Perspektif Konstruksi Sosial Budaya
Masyarakat Tani Lahan Kering
Ada persoalan mendasar menyangkut budaya yang ‘mengurung’  para petani lahan kering.  Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi bagi para petani lahan kering baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar petani lahan kering masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka.  Selalu ada saja jarak antara kesadaran berpikir dengan relaitas perilaku nusaha para petani lahan kering.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri para petani kita. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku petani yang berhubungan dengan cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu program pemberdayaan ekonomi petani lahan kering, harus pula diintegrasikan dengan pendekatanan rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering). Strategi ini diperlukan untuk merubah inner life pelaku ekonomi rakyat sekaligus untuk mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan perubahan. 
Aspek konstruksi sosial budaya sangat kental mewarnai ragaan dunia usaha pertanian lahan kering. Konstruksi sosial-budaya masyarakat selalu menempatkan sektor pertanian lahan kering khususnya on-farm sebagai sektor yang inferior dibanding sektor-sektor lainnya? Masyarakat kita masih mengidentikan sektor pertanian lahan kering dengan kemiskinan. Mereka yang bekerja di sektor ini adalah orang-orang miskin. Para petani kita juga sadar, bahwa kenyataannya mereka miskin.
Diperlukan adanya terobosan rekayasa sosial-budaya dalam menghadapi konstruksi sosial-budaya masyarakat yang tidak cukup kondusif dalam mendorong pengembangan sektor pertanian lahan kering. Program pemberdayaan kondisi ekonomi di sektor on-farm dalam rangka “menggiring” para generasi muda produktif untuk mengambil peran sebagai aktor utama, tidak bisa hanya melalui pendekatan ekonomi semata. Tapi perlu dimulai dari pendekatan rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk mengubah etos kerja masyarakat tani kita. Jika tidak, maka program-program pemberdayaan ekonomi di sektor pertanian on-farm hanya bersifat hit and run. Begitu program pemberdayaan selesai, maka para petani lahan kering kita juga kembali terpuruk dalam  kemiskinan.



Tidak ada komentar:

Cari Informasi