http://www.webdirectory.com/Science/Agriculture/ Dialektika Pertanian Lahan Kering: Mengapa petani lahan kering tetap mengusahakan sejumlah komoditi lokal tradisional tanaman pangan (jagung dan ubi kayu) walaupun disadari bahwa ada sejumlah komoditi pangan lainya yang lebih prospektif memberikan keuntungan?

Mengapa petani lahan kering tetap mengusahakan sejumlah komoditi lokal tradisional tanaman pangan (jagung dan ubi kayu) walaupun disadari bahwa ada sejumlah komoditi pangan lainya yang lebih prospektif memberikan keuntungan?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Perlu dipahami bahwa pilihan bididaya tanaman pada lahan kering tidak semata pertimbangan aspek ekonomi semata. Aspek sosial budaya juga sangat dominan mendeterminasi ragaan usaha pertanian lahan kering, bahkan dalam banyak contoh aspek sosial budidaya ini lebih dominan mendeterminasi corak usaha pertanian lahan kering dibanding aspek ekonomi.  Sebut saja orang Timor yang tetap saja mempertahankan komoditi jagung dan ubikayu pada lahan usaha mereka walaupun disadari bahwa komoditi ini khususnya varietas lokal tidak memiliki prospek ekonomi yang cukup baik.  Orang Timor tetap mengusahakan komoditi jagung varietas lokal karena komoditi ini adalah komoditi pangan pokok bagi hampir semua petani lahan kering di Timor. Mereka tidak berpikir tentang bagaiman produksi jangung ini akan dijual, tapi mereka berpikir bagaimana produksi jagung dapat dipakai untuk konmsi keluarga mereka selama satu musim tanam.  Jadi keamaan pangan (food security) yang menjadi kepentingan utama.  Memang orang lain dapat saja mengatakan bahwa produksi jangung dapat dijual untu kemudian income yang diperoleh dari hasil penjualan dapat dipakai untuk membeli pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Tapi petani lahan kering kita tidak berpikir demikian. Mereka tidak mau mengambil risiko dua kali, yaitu risiko keberhasilan produksi dan risiko prospek harga.  Cukup mereka menghadapi risiko keberhasian produksi saja dan itu semata diserahkan pada kemurahan alam.  Dimensi berpikir mereka bersifat linear, yaitu deminsi “tangan ke mulut” atau mungkin sedikit lebih berorientasi pasar, maka dimensi yang digagas adalah “tangan – mulut – pasar”. Makasud nya mereka benar-benar mengutamakan food security dan kelebihan produksi baru dijual untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya.  Mereka belum mampu untuk dipaksa berpikir dalam dimensi “tangan – pasar – mulut”.  Pada saat pasar sekarang menuntut orang untuk ber-perspektif “produksi karena bisa dijual” dan tidak lagi “jual karena bisa diproduksi”, para petani lahan kering kita masih berperspektif “produksi karena bisa dimakan”.
Demikian pula cerita orang Papua yang selalu menanam ubi jalar pada lahan usaha mereka atau minimal membiarkan tanaman sagu tetap mendominasi lahan usaha yang ada.  Tujuan nya tidak lain adalah orientasi keamanan pangan dimaksud. Mereka tidak mungkin mengganti tanaman ubi dan sagu yang ada di lahan usaha mereka dengan komoditi modern yang lebih memiliki prospek keuntungan, karena disamping kurangnya akses terhadap sumber permodalan maupun akses pasar, kedua komoditi dimaksud sudah menjadi bagian dari budaya mereka. Kedua komoditi dimaksud akan selalu mendominasi pesta budaya yang dilakukan oleh masyarakat papua sehingga tidak mungkin disubsitusi dengan komoditi modern lainnya. Nilai ekonomi yang ditawarkan oleh komoditi modern tidak dapat dibandingkan dengan nilai sosial budaya yang melekat pada kedua komoditi lokal tradisional dimaksud.
Itulah tantangan terbesar yang dihadapi dalam pembangunan lahan kering. Tantangan untuk menggiring perilaku petani lahan kering yang masih bercorak subsisten ke arah yang lebih modern. Mengubah perilaku petani lahan kering yang demikian tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan, tidak seperti biasanya kita berpikir secara linear. Dibutuhkan waktu yang sangat panjang karena bersangkut paut dengan proses kesadaran berpikir, dimulai dari tahapan sosialisasi, membangun pengetahuan, memahami, melakukan percobaan dan yang terakhir mengadopsi.

Tidak ada komentar:

Cari Informasi