http://www.webdirectory.com/Science/Agriculture/ Dialektika Pertanian Lahan Kering

Apakah peningkatan produksi pangan saja dapat menjamin ketahanan pangan bagi masyarakat?

Bookmark and Share

Fred L. Benu

Pada awal 2008, empat negara sub-regional Asean terdiri dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,dan Filipina yang menamakan diri East Asean Growth Area telah membangun komitmen bersama untuk menjadikan kawasan sub regional ini sebagai wilayah produksi pangan yang unggul. Kesepakatan ini dibangun mengingat  wilayah ini memiliki potensinya besar, banyak lahan yang subur, dan memiliki banyak pengetahuan di bidang pertanian. Indonesia memang memiliki potensi besar dalam kemampuan produksi pangan baik dengan memanfaatkan potensi lahan basah maupun lahan kering untuk memenuhi kebutuhan permintaan pangan domestik maupun kawasan Asia Tenggara. Tapi apakah potensi lahan dengan kemampuan produksi pangan yang memadai ini cukup untuk menjadi penyangga ketahanan pangan penduduk Indonesia yg saat ini berjumlah kurang lebih 237 juta jiwa?


Konsentrasi kebijakan pada subsistem produksi saja tidak menjadi jaminan strategis bagi ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Alih-alih memenuhi target pemasok pangan bagai kebutuhan pangan non-domestik.  Untuk memenuhi permintaan pangan penduduk Indonesia saja kita mengalami kesulitan yang tidak kecil.  Bahkan ditengah keberhasilan peningkatan kuantitas produksi pangan dalam dua tahun terakhir saja, kita masih didera dengan masalah kerawanan pangan di sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya wilahan yang didominasi oleh lahan kering. Pokok persoalan nya adalah kita kurang memiliki kebijakan yang strategis si sub-sistem distribusi dan konsumsi pangan nasional.  Awalnya kita menduga bahwa dengan menggenjot produksi pangan secara besar-besaran, maka dengan sendirinya masalah kerawanan pangan nasional dapat teratasi.  Memang betul bahwa persoalan kerawanan pangan dimulai dari simpul ketersediaan pangan sehingga pemerintah Indonesia memiliki kebijakan peningkatan produksi pangan.  Tapi masalah kerawanan pangan tidak berhenti pada simpul ketersediaan pangan saja, melainkan terkait erat dengan simpul distribusi dan simpul konsumsi pangan. Oleh karena itu, jika sekian lama kebijakan strategis ketahanan pangan hanya ada pada subsistem produksi, maka saat ini dua sub-sistem lainnya (distribusi dan konsumsi) harus juga menjadi perhatian serius semua pihak.

Krisis ekonomi pernah mendera dunia dengan dua faktor pemicu yaitu masalah keuangan global dan masalah ketersediaan bahan bakar.  Kita boleh memiliki ekspektasi bahwa faktor pemicu krisis ekonomi global berikutnya adalah masalah ketersediaan bahan pangan.  Dan indikasi ke arah itu sudah ada seiring dengan terjadinya fenomena perubahan iklim global yang menyebabkan Amerika dan China mencoba menimbun stok pangan nasionalnya untuk jangka waktu sekitar 10 – 15 tahun.  Berikut Rusia malah menutup keran export gandumnya juga untuk mengantisipasi penurunan stok pangan.  Selanjutnya saat ini Jepang sedang gencar melobi Indonesia melalui Kementrian Pertanian agar bersedia menyiapkan lahan bagi produksi pangan nasionalnya. Semua nya ini indikasi awal bahwa dunia global sudah membaca kemungkinan krisis ekonomi global berikut akan dideterminasi oleh faktor ketersediaan pangan.

Sistem Logistik dan Distribusi Pangan
Kita harus memberikan kritik terhadap kebijakan logistik pangan nasional yang berdimensi jangka pendek dengan penanganan yang bersifat ad hock. Saat sejumlah negara di dunia (Amerika, Rusia dan China) sudah memiliki strategi cadangan stok pangan berjangka panjang (15 - 20 tahun) sebagai bagian dari strategi menghadapi merupahan iklim global, kita masih berkutat dengan persoalan stok pangan musiman.

Perdebatan kita masih terbatas pada kemampuan produksi domestik musimam dan kemampuan Bulog membeli gabah hasil produksi, serta volume impor pangan tahun berjalan. Itupun lebih banyak dalam urusan soal pangan pokok beras. Kita masih berada pada ruang antisipasi cadangan stok pangan nasional sekitar 1.5 Juta ton yang hanya mampu bertahan untuk antisipasi suplai pangan nasional sekitar 8-10 bulan

Cadangan stok pangan jangka pendek seperti ini jelas tidak cukup strategis menghadapi gangguan produksi pangan domestik yang sering mendapat tekanan karena faktor bencana. Keterbatasan kemampuan pengadaan stok pangan berjangka panjang ini terkait dgn  kapasitas Perum Bulog.

Salah satu pilihan strategis untuk mengamankan ketahanan pangan masyarakat adalah kebijakan yang tepat dari sisi logistik dan distribusi pangan. Bahwa kebijakan pangan nasional sekian lama lebih memberikan bobot pada sub-sistem produksi, dan pilihan ini membawa konsekwensi pada resiko kerawanan pangan di sejumlah wilayah Indonesia, sekalipun produksi pangan nasional terus mengalami kenaikan.

Selanjutnya perlu pula dicatat bahwa hampir seluruh komoditi pangan adalah komoditi pemacu inflasi. Tapi kebijakan stabilitas harga pangan lebih ditujukkan bagi beras. Distribusi dan stabilisasi harga sejumlah komoditi pangan lahan kering seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, bahkan kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dll, memiliki kecenderungan harga yang bergerak secara bebas dgn pola distribusi yang kurang terpantau dengan baik. Semuanya ini akan berdampak pada rendahnya purchasing power masyarakat Indonesia terhadap pangan.

Kebijakan di sub-sistem distribusi tidak saja bersangkut paut dengan ruang dalam arti distribusi pangan antar wilayah, tapi juga strategi distribusi menurut waktu . Sebagai misal distribusi komoditi pangan pada hari raya keagamaan berbeda menurut wilayah target.  Harus ada perbedaan strategi prioritas distribusi pangan di Bagian Barat dan Timur Indonesia mengikuti perbedaan dominansi penyebaran dan dinamika konsumsi menurut waktu.

Keberhasilan penanganan sub-sistem distribusi pangan nasional juga sangat tergantung pada dukungan infrastruktur dasar, khususnya transportasi, pelabuhan, gudang, sarana bongkar muat peti kemas, dsb. Fasilitas bongkar muat untuk distribusi pangan nasional di pelabuhan terbesar Tanjung Priok saja masih menjadi keluhan banyak pihak, termasuk akses masuk dan keluar yang sangat tidak efisien sehingga mendeterminasi high cost economy. Dan kenaikan biaya ini biasanya akan  ditransfer secara langsung dan sempurna ke tingkat harga pangan di pasar retail. Sebaliknya pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang mendeterminasi efisiensi di sub-sistem distribusi tidak akan langsung terefleksi di tingkat harga konsumen.

Kenyataan di atas mengindikasikan tentang kurangnya koordinasi yang integratif antara sub-sistem produksi, sub-sistem logistik dan distribusi, dan sub-sistem konsumsi.  Departemen Pertanian hanya mengurus soal produksi pangan dan kurang koordinasi dgn Bulog sebagi institusi yang memiliki otoritas soal logistik dan distribusi pangan, apalagi tidak ada yang memiliki otoritas dalam urusan soal konsumsi pangan nasional.

Kementerian Pertanian sering melempar tanggung jawab ke Bolog dengan mengatakan bahwa Bulog tidak mampu membeli beras secara maksimal pada saat panen raya. Akibatnya Bulog kurang mampu mengengendalikan harga beras yang terus mengalami kenaikan sekalipun telah dilakukan operasi pasar.  Sebaliknya Bulog berkilah bahwa justru Departemen pertanian yang tidak mampu meningkatkan kualitas gabah produksi petani yang memenuhi standard Impres 7/2009 tentang perberasan.

Kita berharap agar revisi Inpres No. 7/2009 yang mengharuskan Bulog untuk menyerap seluruh gabah produksi petani dan program pengadaan alat pengeringan gabah untuk meningkatkan kwalitas dapat terealisir. Jika Bulog tidak diberdayakan dalam hal fasilitas pengolahan gabah yang bermasalah agar mampu meningkatkan nilai tambah dari sistem distribusi nasional, maka sulit rasanya bagi Bulog untuk menyeimbangkan fungsi pelayanan publik bagi akses pangan masyarakat dengan orientasi bisnis sebagai sebuah Perum.

Selain itu Bulog juga menggunakan pendekatan Operasi Pasar (OP) yang diserahkan kepada pedagang yang memiliki kontrak distribusi.  Pendekatan distribusi seperti ini juga jelas rawan penyimpangan, karena justru persoalan Bulog selama ini ada pada aspek pengawasan. Kita menyadari bahwa terlalu berat tugas yang harus diemban oleh Bulog menyangkut distribusi pangan untuk wilayah Indonesia yang demikian luas. Tugas ini baru bisa efektif dijalankan jika ada kemitraan yang kuat dengan berbagai agen kepentingan lainnya, termasuk swasta pengelola, bahkan birokrat di tingkat bawah beserta masyarakat.

Tapi janganlah kemitraan yang sudah mulai dibangun antara Bulog dengan swasta penyalur ini mengabaikan aspek pengawasan secara efektif dari Bulog sebagai institusi yng memiliki kewenangan dalam urusan pendistribusian pangan. Sejauh catatan kami, sampai saat ini belum terbaca mekanisme standar pengawasan efektif (SOP) yang dijalankan oleh Bulog untuk mengantisipasi persoalan ini.

Rupanya persoalan nya bukan pada otoritas institusi tapi pada birokrat yang diserahi tugas untuk koordinasi dimaksud. Kita jelas memerlukan birokrat yang kuat dan tegas dengan visi yang luas tentang penanganan masalah pangan nasional sehingga mampu menjalankan tugas koordinasi yang lebih efektif. Dan tugas ini ada pada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Catatan tambahan lainnya adalah bahwa Bulog tidak dapat dipaksa untu menangani masalah logistik dan distribusi seluruh komoditi pangan bagi masyarakat.  Sangat tidak mungkin Bulog diserahi tugas berat dengan wilayah pelayanan demikian luasnya.  Oleh karena itu pemerintah harus berani menetapkan komoditi pangan apa saja yang dapat diserhakan kepada mekanisme pasar sebagai komoditi komersil, tetapi harus pula berani untuk menetapkan komoditi pangan apa saja (mis. beras dan jagung) yang mekanisme logistik dan distrubusinya diserahkan pada Bulog dengan penekanan pada fungsi pelayanan publik.

Karena alasan keterbatasan pula, maka pemerintah harus berkenan untuk mendorong proses desetralisasi urusan logistik dan distribusi pangan di tingkat daerah. Pemikiran ini muncul karena karakter produksi dan konsumsi pangan di setiap daerah sangat berbeda.  Pangan bagi sebagian besar masyarakat NTT adalah soal jagung.  Demikian pula Maluku adalah soal sagu, dan Papua adalah soal sagu dan ubi, dan produksi sejumlah komoditi  ini lebih banyak mengandalakan potensi lahan kering yang ada .  Persoalan pangan kita jelas berbeda antar daerah, tapi selama ini pendekatan strategis soal pangan bersifat sentralistisi (Jakarta) dan non-diversifikasi (beras).  Dan harus diakui bahwa pendekatan kebijakan seperti ini yang turut menyebabkan terjadinya kelangkaan pangan di daerah baik karena pergeseran pola produksi maupun pola konsumsi ke komoditi tunggal beras. 
Baca selengkapnya...

Apakah lahan kering adalah bencana atau sebenarnya justeru potensi yang seharusnya dioptimalkan untuk memitigasi bencana kekeringan?

Bookmark and Share

I W. Mudita

Pada setiap menjelang akhir tahun, ketika musim kemarau sedang pada puncaknya, kekeringan biasanya menjadi berita utama media masa. Koran berlomba-loba memberitakan orang-orang yang kesulitan memperoleh air bersih atau bahkan yang kekurangan bahan pangan. Demikian juga dengan televisi, berlomba-loba menayangkan gambar tanaman yang layu meranggas, sungai-sungai yang airnya menyusut atau bahkan mengering, dan orang yang berjalan jauh hanya untuk memperoleh air bersih. Kekeringan pun, disadari atau tidak, telah berubah dari penderitaan sekian banyak orang menjadi komoditas untuk meningkatkan rating dan mendatangkan lebih banyak iklan.


Ketika media masa berlomba-lomba menjadikan kekeringan sebagai komoditas, banyak pihak justeru bingung, kekeringan itu sebenarnya apa dan mengapa sampai terjadi. Kebingunangan semacam itu tentu saja wajar apabila itu terjadi pada masyarakat kebanyakan. Yang kemudian menjadi ironis adalah apabila kemudian ada pihak-pihak yang seharusnya memahami permasalahan, entah karena pendidikannya atau karena jabatan publik yang diembannya, tetapi justeru ikut kebingungan dengan mengidentikkan lahan kering dengan bencana kekeringan. Misalnya saja, karena lahan di Provinsi NTT adalah lahan kering maka kekeringan dengan sendirinya harus menjadi bencana urutan paling atas. Padahal secara logika, mana yang sebenarnya lebih rentan bencana kekeringan, lahan kering atau justeru lahan basah? Mana yang lebih tahan kepanasan, orang yang dari tempat wisata Puncak di Jawa barat sana atau orang Kupang?

Di lahan kering, pertanian berkembang melalui proses adaptasi panjang sejak jaman nenek moyang. Adaptasi dilakukan antara lain melalui cara pembukaan dan penyiapan lahan, pemilihan tanaman yang dibudidayakan, pemilihan pola pertanaman, pemilihan cara menyimpan hasil, dan seterusnya. Pembukaan dan penyiapan lahan dengan cara tebas bakar yang dilakukan sangat luas di Provinsi NTT misalnya, tidak mungkin bisa dilakukan kalau saja lahan yang ada bukan lahan kering. Demikian juga dengan jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan, orang pasti akan memilih jenis tanaman lain yang lebih bernilai ekonomis daripada menanam jagung, kalau saja lahan yang ada bukan lahan kering. Dan melalui proses pemilihan yang telah dilakukan secara turun temurun itulah maka, dari setiap jenis tanaman yang lazim dibudidayakan di lahan kering, berkembang galur-galur yang justeru tahan terhadap kekeringan.

Pola pertanaman yang lazim dilakukan di lahan kering sebenarnya juga berkembang melalui proses adaptasi panjang yang sama. Di lahan kering orang biasanya membudidayakan berbagai jenis tanaman dalam satu bidang lahan garapan, entah itu dalam pola tumpangsari, tanam lorong, atau apapun namanya. Bahkan di Pulau Timor, orang biasa menanam secara campuran bukan hanya dalam satu bidang lahan melainkan juga dalam satu lubang tanam dengan cara memasukkan bersama-sama benih jagung, kacang nasi, dan labu. Semua ini dilakukan tentu bukannya tanpa maksud tertentu, melainkan untuk dapat bertahan dalam menghadapi bencana kekeringan. Ketika jagung mengalami gagal panen, misalnya saja, orang masih bisa datang ke ladang untuk mengambil ubi kayu atau talas yang tersimpan di sana, sehingga Dr. William Ruscoe, seorang pakar agronomi Amerika yang tinggal Kupang mengatakan, orang Timor bukan hanya mempunyai lumbung rumah bulat (‘ume kbubu’) di rumah, tetapi juga di ladang.

Semua ini memungkinkan, secara logika saja, lahan kering sebenarnya lebih tahan menghadapi bencana kekeringan daripada lahan basah. Sederhananya, pengalaman panjang (adaptasi ekologis dalam waktu sangat panjang) menjadikan lahan kering sebenarnya lebih tahanan menghadapi bencana kekeringan daripada lahan basah. Bayangkan saja misalnya, apa yang akan terjadi di lahan basah jika sampai hujan tidak turun selama hampir 9 bulan? Di manakah tanaman akan lebih banyak layu dan kemudian mati, apakah di lahan kering atau di lahan basah? Di mana pula hama dan penyakit tanaman lebih mudah berkembang, di lahan kering atau di lahan basah? Apakah ada orang di lahan basah yang mempunyai lumbung di ladang seperti misalnya orang Timor?

Sesungguhnya, bila saja kita mampu berpikir sedikit lebih kritis, kita seharusnya menempatkan lahan kering sebagai potensi dan bukannya mengidentikannya dengan bencana kekeringan. Bayangkan saja misalnya, apakah Provinsi NTT akan mempunyai cendana (Santalum album) kalau seandainya lahan di NTT bukan lahan kering? Apakah akan ada jeruk keprok soe kalau seandainya lahan di Pulau Timor bukan lahan kering? Bagaimana pula dengan lontar (Borassus flabelifer), apakah orang Rote akan mempunyai sasando kalau saja lahan di Pulau Rote bukan lahan kering yang memungkinkan lontar sedemikian dominan di sana sampai-sampai membuat, sebagaimana dikutip oleh Prof. James Fox dari Australian National University, orang Rote meminum daripada memakan makanannya?

Dahulu pada era Orde Baru, ketika pemerintahan masih sangat sentralistik, kita mengeluh bahwa kebijakan pembangunan pertanian diseragamkan oleh pemerintah pusat. Kini, ketika otonomi telah diserahkan ke daerah, apakah kita mampu mengembangkan kebijakan pembangunan pertanian yang benar-benar sesuai dengan potensi daerah? Kalau jawabannya ya maka mari, jangan lagi samakan lahan kering dengan bencana kekeringan, melainkan jadikan potensi yang perlu dikembangkan. Kalau jawabannya ya maka mari jangan justeru kita menyerempet-nyerempet bencana kekeringan dengan membudidayakan tanaman yang tidak “berpengalaman” (mampu beradaptasi) menghadapi kekeringan. Mari kita kembangkan pola pertanaman campuran agar orang-orang masih mempunyai lumbung di ladang ketika bencana kekeringan tiba.

Jagung komposit dan hibrida yang kini digalakkan melalui program “jagungisasi” pemerintah Provinsi NTT bukanlah tipe tanaman yang “berpengalaman” menghadapi kekeringan, sebagaimana halnya jagung lokal. Sebagai tanaman unggul, jagung ini memang mempunyai potensi produksi yang jauh lebih tinggi daripada produksi jagung lokal. Tetapi itu baru potensi, untuk menjadikannya sebuah realitas diperlukan banyak persyaratan agronomis: ditanam secara monokultur dengan jarak teratur untuk meminimalkan persaingan, dipupuk lengkap secara berimbang, diairi sesuai kebutuhan, dikendalikan gulmanya tepat waktu, dan seterusnya. Bayangkan saja, dengan persyaratan seperti ini, bagaimana bila tiba-tiba terjadi kekeringan, apakah potensi produksi yang tinggi akan dapat diwujudkan?

Kalaupun tidak terjadi kekeringan dan potensi produksi tinggi berhasil diwujudkan, bukan berarti “jagungisasi” sudah jauh dari menyerempet-nyerempet bencana. Bukannya dengan sendirinya menjadi upaya untuk memitigasi bencana, tetapi juteru diintai oleh bencana lain, yaitu kumbang bubuk yang di Pulau Timor biasa disebut ‘fufuk’. Kumbang bubuk ini sebenarnya juga memakan jagung lokal, tetapi kalau ada jagung komposit dan hibrida maka ibaratnya orang yang lebih menyukai barang impor, dia akan memilih lebih memakan jagung komposit dan hibrida daripada jagung lokal. Jagung lokal akan menjadi semakin kurang disukai bila pada 3 bulan pertama disimpan dengan api terus menyala di bawahnya dalam rumah bulat, tetapi tidak demikian dengan jagung komposit dan jagung hibrida, ‘fufuk’ akan tetap menyantapnya sampai hanya tinggal remah-remahnya saja. Sayangnya lagi, jagung komposit dan hibrida ini diintroduksi tanpa disertai upaya perbaikan teknologi penyimpannya. Alih-alih memperbaiki teknologi penyimpanan di tingkat petani, pemerintah justeru membangun silo di ibukota kabupaten, yang tentunya jauh dari jangkauan petani.

Pada akhirnya, yang menjadikan lahan kering menjadi rentan terhadap bencana kekeringan bukanlah lahan kering itu sendiri. Sesungguhnya, secara intrinsik, lahan kering sebenarnya lebih tahan menghadapi bencana kekeringan karena telah “berpengalaman” melalui proses adaptasi ekologis yang panjang. Yang kemudian menjadikan lahan kering menjadi menyerempet-nyerempet bencana kekeringan adalah keserakahan kita untuk selalu memperoleh lebih banyak dari alam, bahkan bila perlu merampok alam, tanpa pernah memikirkan untuk menyisakan sedikit saja, apalagi memberi. Bila kita terus berperilaku demikian maka pada akhirnya lahan kering memang akan menjadi identik dengan bencana kekeringan.

Referensi:
Crippen International (1980a). Timor Island water resources development study, Final Report Vol. 4: Climate. Ottawa and Jakarta: Canadian International Development Agency and Directorate General of Water Resources Development, Ministry of Public Works.
Crippen International (1980b). Timor Island water resources development study, Final Report, Vol. 9: Agricultural soils. Ottawa and Jakarta: Canadian International Development Agency and Directorate General of Water Resources Development, Ministry of Public Works.
Fox, J. (1977) Harvest of the palm: Ecological change in Eastern Indonesia. Cambridge: Harvard University Press.

Pengutipan:
Mudita, I W. (2010) Apakah lahan kering adalah bencana atau sebenarnya justeru potensi yang seharusnya dioptimalkan untuk memitigasi bencana kekeringan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: www.drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun).


Kupang, Timor Climate graph contributed by climatetemp.info
Baca selengkapnya...

Apa sebenarnya arti kata “kering” dalam pertanian lahan kering dan bagaimana kaitannya dengan bencana kekeringan?

Bookmark and Share

I W. Mudita

Menanggapi hasil penelitian Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menyimpulkan bahwa Provinsi NTT tidak termasuk daerah rawan bencana kekeringan, seorang dosen Program Studi Agribisnis Universitas Nusa Cendana mengatakan, “Sebagian besar daerah NTT adalah lahan kering atau yang disebut dengan iklim semiarit [sic!]... Karena itu pemerintah harus segera bersikap. Sebab kondisi riil kita di NTT ini adalah daerah kering, 60 sampai 70 persen itu lahan kering”. Menyikapi tanggapan tersebut, seorang dosen Program Studi Agroteknologi universitas yang sama dengan bergurau mengatakan bahwa itu namanya tidak bisa bersyukur karena kalau sudah mengatakan bahwa NTT termasuk wilayah semi-ringkai (semi-arid) maka tidak seharusnya mengkategorikan kekeringan sebagai bencana.


Polemik di atas sebenarnya tidak perlu terjadi manakala dipahami apa yang dimaksud dengan kering dalam konteks iklim, dalam konteks pertanian, dan dalam konteks bencana. Di sini semuanya menggunakan kata kering, mungkin karena bahasa Indonesia tidak mempunyai kata yang tepat untuk membedakan makna kata-kata berbeda dalam bahasa Inggris, yaitu arid, dry, dan drought. Dalam konteks iklim, kata arid digunakan untuk menyatakan keadaan yang merujuk kepada suatu kontinuum nisbah (ratio) rerata presipitasi tahunan (meliputi curah hujan, embun, salju) terhadap evapotranspirasi potensial tahunan (meliputi penguapan dari badan perairan terbuka dan penguapan dari mahluk hidup) sebagaimana telah diuraikan oleh Mudita (2010) (dalam blog ini). Kata bahasa Indonesia yang digunakan secara teknis sebagai padanan kata arid adalah ringkai sehingga semi-arid menjadi semi-ringkai.

Kata kering dalam pertanian lahan kering mempunyai makna yang tidak sama dengan kata arid dalam konteks iklim. Pertama, pertanian lahan kering tidak hanya dilakukan di wilayah yang secara iklim termasuk dalam kategori ringkai, tetapi juga di wilayah yang termasuk dalam kategori lembab (humid). Di pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan juga terdapat pertanian lahan kering, padahal wilayah di pulau-pulau tersebut sebagian besar termasuk dalam kategori zona lembab. Kedua, prasarana pengairan seperti embung, bendungan, bendung, dan waduk dapat dibangun untuk mengubah pertanian lahan kering menjadi pertanian lahan basah di wilayah dalam kategori ringkai. Misalnya, bendungan Benain di Kabupaten Belu telah mengubah pertanian di wilayah pesisir Belu Selatan menjadi pertanian lahan basah, meskipun dalam kategori zona keringkaian, wilayah tersebut termasuk semi-ringkai. Ketiga, pertanian tidak hanya menyangkut persoalan teknis (dalam hal ini iklim tercakup di dalamnya), tetapi juga sosial-ekonomi dan sosial-budaya sebagaimana telah diulas oleh Prof. Fred Benu (dalam blog ini). Dalam pertanian tidak hanya ada lahan, tanaman, dan ternak, tetapi harus ada manusia yang hidup saling berinteraksi antar sesamanya membentuk masyarakat yang diikat oleh nilai-nilai ekonomis, politis, dan budaya bersama. Dari sinilah maka perlu dibedakan antara petani dalam pengertian farmer dan petani dalam pengertian peasant.

Lalau bagaimana dengan bencana kekeringan? Rupanya istilah ini diindonesiakan dari kata dalam bahasa Inggris drought. Tentu saja ini tidak salah, hanya saja perlu dipahami, sebagaimana dengan gamblang diuraikan oleh NASA (2010), bahwa istilah drought mempunyai makna yang berbeda-beda dalam konteks meteorologis, hidrologis, dan pertanian. Secara meteorologis, drought merupakan keadaan menyimpang dalam waktu lama terhadap keadaan presipitasi normal. Secara hidrologis drought bermakna defisiensi pasokan air permukaan dan air tanah dangkal, diukur dalam debit aliran air. Dalam konteks pertanian drought bermakna suatu keadaan di mana tanah mengalami keadaan lengas (soil moisture) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan jenis tanaman tertentu pada suatu musim tanam. Drought dalam konteks pertanian ini berada di antara drought dalam konteks meteorologis dan hidrologis.

Penggunaan istilah bencana kekeringan tentu akan tidak bermasalah bila saja telah ada kriteria maupun indikator yang jelas untuk mengukur keadaan yang dapat dikategorikan sebagai drought. Menurut NASA (2010), kesulitannya justeru terletak di sini karena memang belum terdapat kesepakatan mengenai menyimpang seberapa lama dan seberapa jauh dari keadaan meteorologis, hidrologis, dan lengas tanah normal seperti apa, baru dapat dikatakan sebagai drought. Kembali kepada hasil penelitian Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB), jika bencana kekeringan yang dimaksudkan adalah drougt, maka kemudian yang menjadi persoalan adalah kriteria dan indikator apa saja yang digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa Provinsi NTT tidak termasuk daerah bencana kekeringan (dalam hal ini bencana kekeringan tidak identik dengan daerah kering). Dan ini tidaklah mudah, sebagaimana coba diurai oleh seorang mahasiswa kandidat doktor, Sebastian Jülich, bersama pembimbingnya, Prof. Dr. Hans-Georg Bohle, di Jurusan Geografi Universitas Bonn, Jerman.

Manakala kemudian kriteria dan indikator yang digunakan tidak jelas maka mengidentikkan pertanian lahan kering dengan bahaya kekeringan itulah yang justeru berbahaya. Mengapa demikian? Pertama, lahan kering adalah karunia Tuhan Yang Mahaesa, yang patut disyukuri dan bukannya malah dikategorikan sebagai bencana. Dari generasi ke generasi petani lahan kering sudah mempolakan usahatani mereka untuk mengikuti pola musim hujan dan musim kemarau sehingga justeru hujan berkepanjangan sebagaimana yang terjadi di NTT pada tahun 2010 ini yang sama berpotensinya, atau bahkan lebih, untuk menjadi bencana. Kedua, mengartikan lahan kering secara salah seakan-akan identik dengan bencana kekeringan (drought) hanya untuk mengharapkan kucuran dana bantuan darurat bencana alam justeru menunjukkan mental untuk selalu meminta dibelaskasihani, mentalitas yang seharusnya mulai dikurangi pada saat otonomi telah diserahkan ke daerah. Ketiga, memaknai lahan kering sebagai identik dengan bencana kekeringan akan mengancam pengembangan pertanian lahan kering menjadi pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Dan ini justeru lebih berbahaya daripada bencana kekeringan itu sendiri.

Pemaknaan lahan kering sebagai identik dengan bencana kekeringan telah melahirkan program pembangunan pertanian yang sangat kental bernuansa revolusi hijau. Kebijakan dirumuskan melalui penalaran jalan pintas “tangan ke mulut”, sebagaimana diistilahkan oleh Prof. Fred Benu (dalam blog ini), bahwa kekeringan sebagai bencana akan dapat diatasi melalui intensifikasi pertanian dalam bentuk program “jagungisasi” untuk menjadikan Provinsi NTT sebagai “gudang jagung”. Tentu saja tidak ada yang keliru dengan program “jagungisasi” tersebut kalau saja dilakukan dengan menggunakan jagung lokal yang telah terbukti beradaptasi dengan kekeringan berkepanjangan (drought) melalui penyesuaian terhadap pola pertanaman tradisional yang telah ada. Program “jagungisasi” tersebut justeru akan memperburuk dampak bencana kekeringan bila dilakukan dengan menggunakan bibit unggul (tidak ada bedanya hibrida maupun komposit) secara monokultur dengan menguras air tanah untuk irigasi. Mengenai hal ini, paparan sudah disampaikan oleh Mudita (dalam blog ini).

Program “jagungisasi” tersebut tentu akan dapat menjadi bernuansa penanggulangan bencana kekeringan bila saja dibarengi dengan pengadaan peralatan penakar hujan dan pemanfaatan datanya untuk memperbaiki prakiraan cuaca. Mengenai hal ini sungguh sangat memprihatinkan bila sampai ada bupati yang dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan pertanian di daerahnya tidak menggunakan data klimatologi setempat sebagai salah satu rujukan. Bagaimana mungkin, misalnya, pergeseran musim hujan di Kabupaten Sumba Timur bisa diprakirakan dengan tepat bila data yang digunakan untuk melakukan prakiraan bersumber dari Stasiun Klimatologi Kelas II Lasiana yang notabene berada ratusan kilometer di luar wilayah. Rupanya, pada era otonomi daerah ini, yang bisa mekar beranak pianak hanyalah provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan yang katanya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan, stasiun penakar hujan, jangankan dimekarkan, justeru peralatannya banyak yang tidak berfungsi. Entah kepada siapa pelayanan harus diberikan kalau bukan kepada petani, yang dari segi jumlah penduduk, adalah nyata-nyata yang terbanyak di provinsi dan negeri ini.

Referensi:
Jülich, S. (2010) Drought risk indicator for assessing rural households. Presentasi PowerPoint. Diakses dari: www.ehs.unu.edu/file/get/4197+drought+disaster+definition+criteria+indicators&cd=7&hl=en&ct=clnk&gl=id pada 25 Oktober 2010.
NASA (2010). Drought: The creeping disaster. Earth Observatory. Diakses dari: http://earthobservatory.nasa.gov/Features/DroughtFacts/ pada 25 Oktober 2010.

Pengutipan:
Mudita, I W. (2010) Apa sebenarnya arti kata “kering” dalam pertanian lahan kering dan bagaimana kaitannya dengan bencana kekeringan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun)
Baca selengkapnya...

Apakah perladangan tebas bakar memang merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif atau justeru memberikan banyak manfaat lain yang tidak dapat diberikan oleh pola-pola lain yang lebih intensif?

Bookmark and Share

I W. Mudita

Seorang mahasiswa sebuah fakultas pertanian dengan sangat bersemangat berargumentasi dalam proposal penelitian skripsinya, bahwa produksi jagung di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan pemupukan lengkap secara berimbang untuk meningkatkan produksi. Untuk memperkuat argumentasinya, mahasiswa tersebut mengutip data BPS yang memang menunjukkan bahwa produksi jagung Provinsi NTT memang masih jauh di bawah produksi jagung Provinsi Jawa Timur maupun produksi jagung Provinsi Gorontalo. Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis mengingat jagung merupakan bahan pangan pokok penduduk Provinsi NTT, sedangkan di Provinsi Jawa Timur dan Gorontalo hanya sebagai bahan pakan ternak. Bukan hanya itu, jagung mempunyai sejarah yang panjang di Provinsi NTT, tetapi tidak demikian halnya di Provinsi Gorontalo. Dilihat dari perspektif ini maka tidaklah salah ketika kemudian Gubernur NTT mencanangkan program jagungisasi untuk mengembalikan kejayaan Provinsi NTT sebagai “gudang jagung”.


Jagung merupakan tanaman utama dalam pertanian lahan kering di Provinsi NTT, terutama di Timor Barat. Sebagai tanaman utama pertanian lahan kering, jagung dibudidayakan terutama dalam pola perladangan tebas bakar. Sebagai tanaman pada pola perladangan tebas bakar, jagung hampir tidak pernah ditanam secara monokultur, melainkan sebagian besar secara campuran dengan berbagai jenis tanaman lain. Di Timor Barat bahkan benih jagung dicapur pada saat menugal dan satu lubang tugal diisi sekaligus dengan benih jagung, kacang nasi, dan labu kuning sehingga muncul istilah cara menanam “salome”, satu lobang rame-rame. Akibatnya dengan mudah dapat diketahui, bahkan oleh orang yang tidak pernah kuliah di fakultas pertanian sekalipun, produksi jagung per satuan luas lahan (produktivitas) pasti akan rendah. Tetapi karena BPS menggunakan cara menyajikan data yang harus seragam secara nasional maka produksi jagung Provinsi NTT pun disajikan dengan cara yang sama dengan menyajikan data produksi jagung di provinsi-provinsi lainnya. Maka, seorang mahasiswa yang memang belum mampu untuk berpikir sejauh ini, dengan gampang menyimpulkan bahwa produksi jagung di Provinsi NTT rendah karena kurang dipupuk.

Berbeda halnya dengan mahasiswa, seorang gubernur tentu tidak boleh terjebak dalam pengambilan kesimpulan yang terlalu sederhana. Oleh karena itu, gubernur mengatakan pola pertanaman tebas bakar tidak produktif. Artinya, produksi jagung di Provinsi NTT rendah karena dibudidayakan dalam pola perladangan tebas bakar yang menggunakan jagung lokal dan tidak pernah dipupuk. Untuk itulah maka kemudian gubernur mencanangkan program “jagungisasi” untuk “memodernisasi” budidaya jagung di Provinsi NTT. Masyarakat dianjurkan untuk menanam jagung komposit dan hibrida unggul secara intensif dengan disertai pemupukan lengkap secara berimbang untuk mengejar ketinggalan produksi dari provinsi lain. Untuk mengurangi kehilangan hasil selama dalam penyimpanan maka silo pun di bangun di ibukota kabupaten. Sungguh sebuah program luar biasa yang menyentuh kepentingan sebagian besar masyarakat, tetapi apakah memang demikian?

Modernisasi produksi sebenarnya adalah paradigma revolusi hijau yang kini sudah mulai ditinggalkan. Paradigma revolusi hijau memandang proses produksi pertanian identik dengan proses produksi di pabrik-pabrik, yang produktivitasnya (output) dengan sendirinya akan meningkat bila kapasitas mesin dan masukannya (input) ditingkatkan. Kini, pada era pasca-revolusi hijau, orang sudah mulai meninggalkan cara berpikir seperti ini karena sesungguhnya pertanian tidak sesederhana sebuah pabrik. Kini semakin disadari bahwa proses produksi pertanian sesungguhnya lebih menyerupai sebuah ekosistem. Istilah ekosistem pertanian dan agro-ekosistem pun menjadi semakin banyak muncul dalam berbagai wacana, sebelum kemudian berkulminasi dalam wacana pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).

Lalu apakah sebenarnya pertanian berkelanjutan itu? Meminjam definisi Marten (1988), dan juga Conway (1987), keberlanjutan dalam pertanian berarti kemampuan untuk mempertahankan produktivitas pada taraf tertentu dalam jangka waktu panjang. Difinisi demikian sesuai dengan konsep bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, produksi yang dicapai sekarang tidak boleh sampai mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk dapat memperoleh produksi pada tingkat yang sama. Tantangannya kemudian adalah, bagaimana produktivitas dapat dipertahankan terus menerus dari generasi ke generasi? Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah. Meskipun demikian, harus disadari bahwa pertanian sesungguhnya dikendalikan oleh berbagai proses ekologis. Di dalam proses ekologis itu ada konsep faktor pembatas (limitting factor), ada konsep jejaring makanan (food web). Dengan adanya faktor pembatas dan jejaring makanan maka produksi tinggi sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan untuk dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Dengan kata lain, bila pertanian harus berkelanjutan maka produktivitas tinggi tidak boleh digunakan sebagai satu-satunya ukuran.

Penggunaan benih unggul, pupuk, pestisida, dan sarana produksi lainnya untuk mencapai produksi tinggi, tidak hanya akan bermasalah dengan faktor pembatas, tetapi juga akan berhadapan dengan berbagai kendala yang timbul dari jejaring makanan sendiri. Berbagai jenis organisme yang menggunakan tanaman sebagai bahan makanannya akan meningkat populasinya menjadi organisme pengganggu yang semakin merusak dan merugikan. Sebagai akibatnya, produksi pun akan terus berfluktuasi ke arah yang semakin rendah. Di sini muncul persoalan stabilitas, bahwa produktivitas tinggi akan menyebabkan stabilitas menjadi terus semakin berkurang. Selain itu juga akan timbul persoalan kemerataan karena untuk berproduksi tinggi tidak semua petani mampu membeli sarana produksi, kecuali bila pemerintah mempu terus memberikan subsidi (yang kenyataannya tidak selalu demikian). Petani pun akan semakin tergantung, bukan hanya pada para pengijon yang akan bermurah hati meminjamkan uang untuk membeli sarana produksi, tetapi pada konglomerasi internasional yang dari dahulu sudah membidik sektor pertanian sebagai wahana penjajahan era globalisasi. Maka, bila demikian, petani di negeri merdeka pun terpaksa harus kehilangan kedaulatan atas sumberdaya miliknya sendiri. Benih yang dahulu disiapkan sendiri kini harus dibeli karena benih unggul tidak boleh diproduksi sendiri.

Di sinilah kemudian perladangan tebas bakar mampu memberikan lebih. Perladangan tebas bakar memang tidak produktif, sebagaimana dikatakan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Tetapi dengan produksi yang tidak tinggi tersebut perladangan tebas bakar menyediakan asuransi terhadap gejolak stabilitas produksi. Dari pengalamannya sendiri dan pengalaman leluhur yang diwarisinya, petani perladangan tebas bakar memahami betul bahwa kekeringan, angin kencang, banjir, dan bahkan belalang kembara setiap saat dapat menyebabkan jagung mengalami gagal panen. Karena itu mereka menanam berbagai jenis tanaman lain bersama dengan jagung, meskipun sebagai konsekuensinya produksi jagung menjadi tidak tinggi. Mereka juga tahu betul bahwa benih, pupuk, pestisida, dan sarana produksi lainnya tidak akan dapat terus dibagikan secara gratis oleh pemerintah. Lebih dari itu, meraka tahu betul bahwa mereka melakukan perladangan tebas bakar lebih daripada sekedar untuk untuk memperoleh hasil. Di dalamnya bukan hanya ada ikatan dengan lahan dan tanaman yang dibudidayakan, tetapi juga ikatan dengan keluarga dan dengan tetangga sebagaimana diurai dengan gamblang oleh Marten (2001). Semua ini, bagi petani subsisten, tidak dapat disamakan dengan memperoleh produksi yang lebih tinggi.

Referensi:
Conway, G.R. (1987) The properties of agroecosystems. Agricultural Systems 24 (2), 95-117
Marten, G.G. (1986) Traditional Agriculture in Southeast Asia: A Human Ecology Perspective. Boulder, Colorado: Westview Press. Diakses dari: http://www.gerrymarten.com/traditional-agriculture/tableofcontents.html terakhir pada: 24 Oktober 2010.
Marten, G.G. (1988) Productivity, stability, sustainability, equitability and autonomy as properties for agroecosystem assessment. Agricultural Systems 26, 291-316. Diakses dari: http://www.gerrymarten.com/publicatons/agroecosystem-assessment.html terakhir pada: 24 Oktober 2010.
Marten, G.G. (2001) Human Ecology - Basic Concepts for Sustainable Development. Earthscan Publications. Diakses dari: http://www.gerrymarten.com/human-ecology/tableofcontents.html terakhir pada 24 Oktober 2010.

Tautan untuk Program Agroekologi:

Pengutipan:

Mudita. I W. (2010) Apakah perladangan tebas bakar memang merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif atau justeru memberikan banyak manfaat lain yang tidak dapat diberikan oleh pola-pola lain yang lebih intensif? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun saat diunduh).
Baca selengkapnya...

Bila perladangan tebas bakar merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif dan merusak lingkungan hidup, mengapa belum juga dapat dihentikan meskipun berbagai upaya telah dilakukan?

Bookmark and Share

I W. Mudita

Saat berkunjung ke Desa Kaen Baun, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Frans Lebu Raya, meminta petani untuk meninggalkan pola perladangan tebas bakar karena selain tidak produktif juga merusak lingkungan. "Saya melihat masih banyak warga yang menerapkan pola bertani yang keliru itu, sebaiknya ditinggalkan”, pinta Gubernur. Frans Lebu Raya bukanlah gubernur yang pertama kali meminta agar perladangan tebas bakar ditinggalkan, gubernur-gubernur sebelumnya juga sudah melakukan itu. Tetapi kenyataannya, setiap bulan-bulan September-November, bentangan Pegunungan Fatuleu yang pada bulan-bulan sebelumnya tampak dari Kota Kupang kokoh menjulang di seberang teluk, seakan-akan begitu saja lenyap tertutup kabut asap. Tetapi kabut asap tebas bakar musim kemarau bukanlah hanya persoalan Provinsi NTT. Kabut asap tebas bakar dari provinsi-provinsi di Pulau Sumatera dan Kalimantan bahkan telah terekspor ke negara tetangga Malaysia dan Singapura.


Perladangan tebas bakar merupakan persoalan yang sesungguhnya tidak sederhana. Bagi kebanyakan petani subsisten, perladangan tebas bakar adalah harapan untuk bisa bertahan hidup. "Kami harus bekerja seperti ini untuk bisa bertahan hidup. Tebas dan bakar kami lakukan tiap tahun. Sebagai petani di Timor kami sengsara, tapi lebih baik sengsara daripada mati kelaparan," ujar Yosef Kefi, seorang pria ubanan, sebagaimana dikutip dalam artikel Tebas Bakar, Bumi Timor Kian Merana. Ada banyak persoalan lain yang menjadi sebab mengapa petani subsisten sulit dapat diajak beranjak meninggalkan perladangan tebas bakar. Bagi petani subsisten di Timor Barat, dan juga petani-petani subsisten lainnya di berbagai tempat di pelosok Indonesia dan dunia, perladangan tebas bakar sudah menjadi tradisi yang diwarisi dan diwariskan secara turun temurun. Sebagai sebuah tradisi, sebagaimana halnya tradisi-tradisi lainnya, perladangan tebas bakar tentu tidak mudah untuk ditinggalkan, meskipun telah diminta oleh seorang gubernur. Lebih-lebih lagi bila permintaan itu disertai dengan “dakwaan yang dapat mengusik bawah sadar” bahwa perladangan tebas bakar yang adalah sebuah tradisi pemberi kehidupan, justeru dituding sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup.

Perladangan sendiri merupakan terminologi yang dipahami berbeda-beda oleh berbagai pihak. Perladangan merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris shifting cultivation yang berarti kegiatan budidaya tanaman secara berpindah sehingga penambahan kata berpindah pada kata perladangan menjadi rancu. Tidak semua perladangan dilakukan dengan melibatkan api, tetapi karena peranan api sedemikian dominan maka perladangan menjadi identik dengan perladangan tebas bakar (slash-and-burn shifting cultivation). Perladangan tebas bakar disebun swidden cultivation bila yang ditebas dan dibakar adalah hutan belantara lebat sebagaimana yang dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Lebih daripada sekedar istilah, praktik perladangan tebas bakar memang sesungguhnya tidak sama di semua tempat. Ada berbagai tipologi perladangan tebas bakar yang tidak dapat begitu saja diseragamkan untuk didakwa sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Menurut Monk et al. (1997), setidak-tidaknya terdapat dua tipe perladangan, yaitu tipe berpindah rotasi dan tipe berpindah sembarang. Pada tipe yang pertama, pembukaan lahan dilakukan dengan mengikuti pola berotasi pada hutan sekunder yang, jauh pada tahun-tahun sebelumnya, telah pernah dibuka sebagai lokasi perladangan. Sebaliknya pada tipe bepindah sembarang, pembukaan lahan dilakukan pada kawasan hutan primer yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah dibuka sebagai lokasi perladangan.

Terlepas dari dampak buruk yang ditimbulkan dalam jangka panjang terhadap lingkungan, dalam jangka pendek perladangan tebas bakar memberikan beragam kemudahan, bahkan justeru keuntungan, bagi petani subsisten yang terisolasi bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara politik, ekonomi, dan informasi. Bagi petani peladang, sebagaimana telah dibahas oleh Mudita (2000a) dan Wilson & Mudita (2000), tebas bakar merupakan cara yang paling dapat dijangkau untuk membuka lahan dengan cepat, memperoleh abu yang diperlukan dapat menyuburkan tanaman, dan memperoleh cara paling efisien untuk mengendalikan gulma dan organisme pengganggu lainnya. Lebih daripada itu, sebagaimana dikemukakan oleh Ormeling (1955) lebih dari setengah abad yang lalu, sampai kini api yang menyala tinggi dengan percikan bunga api di kegelapan malam masih memberikan hiburan semacam pesta kembang api bagi masyarakat pedalaman yang jarang tersentuh hiburan. Jangankan bagi masyarakat petani di pedalaman, bahkan di kota sebesar Kota Kupang pun masih ada orang membakar padang hanya untuk mendapat beberapa ekor burung puyuh liar yang terparangkap asap dan api.

Ketika berbicara soal dampak buruk perladangan terhadap lingkungan hidup, orang hanya bisa mengambil kesimpulan dengan cara berpikir sangat linier. Orang lupa, bahwa ada banyak hal yang berkaitan erat dengan perladangan tebas bakar dan justeru berkontribusi lebih banyak terhadap dampak buruk yang terjadi. Ambil sebagai contoh pemeliharaan ternak sapi secara lepas di Timor Barat. Ternak sapi lepas tersebut hampir tidak pernah dituding sedemikian gencar sebagai perusak lingkungan sebagaimana halnya perladangan tebas bakar, padahal dalam banyak kasus, pembakaran juga dilakukan untuk memicu dan memacu pertumbuhan rumput (Mudita, 2000b). Padahal, pergerakan gerombolan puluhan ekor sapi tidak hanya menyebabkan berbagai jenis tumbuhan yang seharusnya mengembalikan kawasan perladangan menjadi hutan akan hancur terinjak-injak, melainkan pijakan kaki puluhan ekor sapi menjadikan tanah pada lahan berkelerengan tinggi menjadi mudah tererosi. Tetapi yang kemudian menjadikan sapi tidak dituduh sebagai perusak lingkungan adalah karena sapi menghasilkan uang jauh lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh satu hektar jagung dari perladangan tebas bakar. Dan ironisnya, ketika meminta masyarakat untuk berhenti mempraktikkan perladangan tebas bakar, Gubernur NTT justeru berniat menjadikan Provinsi NTT sebagai “gudang ternak”. Memang tidak semua ternak sapi dibiarkan lepas merumput di padang-padang rumput tak bertuan (common access property), tetapi orang-orang yang mampu berpikir jernih pasti tahu, bahwa penyebab terjadinya bencana untuk semua (tragedy of the common) di Timor Barat adalah juga sapi.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi dengan ekspor kabut asap ke negara tetangga Malaysia dan Singapura. Sesungguhnya yang berkontribusi lebih banyak terhadap ekspor kabut asap itu bukanlah petani subsisten, melainkan petani berdasi pemilik konglomerasi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Hanya saja, karena petani berdasi semacam itu berpendidikan tinggi dan memiliki uang, maka mereka dengan pintar “memberikan kesempatan kerja” kepada petani subsisten untuk melakukan tebas bakar. Dengan begitu, para petani berdasi itu bukan hanya berjasa mengatasi persoalan pengangguran, tetapi juga menyumbang devisa yang besar kepada negara. Karena para petani berdasi itu berpendidikan tinggi maka mereka pun tidak berhenti hanya sampai di situ, melainkan melobi para pembuat undang-undang supaya sangsi pidana terhadap pembakaran hutan dikenakan hanya kepada mereka yang tertangkap tangan melakukan pembakaran, bukan kepada yang mempekerjakan.

Referensi:
Monk, K.A., de Fretes, Y., & Reksodihardjo-Lilley, G. (1997). The Ecology of Indonesia Series Vol. V: The ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Hong Kong: Periplus Editions.
Mudita, I W. 2000a. Fire and the management of agricultural systems in East Nusa Tenggara. In: J. Russell-Smith, G. Hill, S. Djoeroemana, and B. Myers. Pp. 62-64. ACIAR Proc. 91: Fire and Sustainable Agricultural dan Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia (ISBN: 1-86320-275-7)
Mudita, I W., 2000b. Pengelolaan api di Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Makalah dipresentasikan pada Diskusi Pengembangan Program Penelitian Pengelolaan Api Kerjasama ACIAR dan Pemda NTT, diselenggarakan di Kupang pada 7-10 Jun. 2000.
Ormeling, F.J. 1955. The Timor Problem: A geographical interpretation of an underdeveloped island. Djakarta & Groningen: J.B. Wolters.
Wilson, C.G., & Mudita, I W. 2000. Fire and weeds: interactions and management implications. In: J. Russell-Smith, G. Hill, S. Djoeroemana, and B. Myers. Pp. 65-68. ACIAR Proc. 91: Fire and Sustainable Agricultural dan Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia (ISBN: 1-86320-275-7)

Pengutipan:
Mudita. I W. (2010) Bila perladangan tebas bakar merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif dan merusak lingkungan hidup, mengapa belum juga dapat dihentikan meskipun berbagai upaya telah dilakukan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses dari: http://drylandagriculture.blogspot.com pada (isi tanggal, bulan, tahun saat diunduh).
Baca selengkapnya...

Cari Informasi